06 Oktober 2009

» Home » Kompas » Pemulihan Ekonomi Dimulai

Pemulihan Ekonomi Dimulai

Benarkah krisis ekonomi global sudah menunjukkan tanda-tanda berakhir dan pemulihan ekonomi bisa dimulai? Apakah perekonomian Indonesia dapat memanfaatkan momentum pemulihan ini?
Meski harus disertai sejumlah syarat, saya berani berspekulasi, gejala pemulihan ekonomi sudah tampak. Semula dikhawatirkan krisis ekonomi global akan menyerupai kurva ”U” seperti terjadi saat depresi dunia pada 1930-an. Namun, tampaknya krisis kali ini lebih menyerupai huruf ”V”. Artinya, periode terburuk krisis kali ini berlalu jauh lebih cepat.


Kurva ”U” dengan alas panjang depresi dunia terjadi saat perekonomian menghunjam ke bawah pada 1929 dan tampak mulai pulih setelah 1936. Artinya, selama tujuh tahun, perekonomian ada di dasar. Pada krisis global kali ini, perekonomian menghunjam tajam pertengahan September 2008 (ditandai bangkrutnya Lehman Brothers) dan mencapai kondisi terburuk pada semester I/2009. Banyak pakar ekonomi meyakini pada triwulan III/2009 ini kondisi terburuk sudah terlewati.
Koran Wall Street Journal (4/8/2009) berani berspekulasi, situasi terburuk di Inggris telah berlalu, dibuktikan oleh dua bank terkemuka, HSBC (Hong Kong Shanghai Banking Corporations) dan Barclays, sudah kembali menuai jumlah laba signifikan. Chairman HSBC Stephen Green yakin kondisi terjelek sudah atau setidaknya sedang dalam proses dilalui.
Sedangkan di AS, televisi CNN sudah menayangkan program-program ekonomi berjudul Road to Recovery. Ini sejalan dengan pernyataan Ben S Bernanke, Kepala Bank Sentral AS, bahwa gejala krisis sudah mereda.
Meski demikian, di AS kini timbul polemik, berandai-andai, jika pemerintah menalangi atau menyelamatkan Lehman Brothers, bisa jadi krisis global tidak separah sekarang. Pendapat ini, antara lain, dikemukakan pakar keuangan Wharton School, Jeremy Siegel; profesor dari Harvard, Elizabeth Warren; dan Kepala Lembaga Penjaminan Simpanan AS (Federal Deposit Insurance Corporation) Sheila Blair (Business Week, 21/9/2009).
Pendapat itu ditolak Lawrence Summers, penasihat ekonomi kabinet Presiden Barack Obama. Katanya kepada Financial Times, ”Para ekonom biasanya baru bisa menjelaskan semuanya dengan jernih jika sudah terjadi, bukan jauh-jauh hari sebelumnya” (The Economist, 18/9/2009).
Momentum ekonomi Indonesia
Kini, perekonomian Indonesia mendapat momentum bagus untuk pulih. Dalam beberapa hari ini, rupiah terus ”ngebut” menembus batas psikologis baru Rp 9.500 per dollar AS seiring masuknya modal asing yang menyebabkan indeks harga saham gabungan (IHSG) mencapai level psikologis baru 2.500. Mengapa?
Meski di dalam negeri kita masih bergulat dengan bencana di Sumatera Barat, penalangan Bank Century, dan isu-isu lain yang bernuansa politik, pers luar negeri memandang positif Indonesia. The Economist (18/9/2009) menulis tentang Indonesia 15 halaman, ”Sebuah Kesempatan Emas” (A Golden Chance).
Mereka ”memotret” tujuh masalah besar kita, (1) jumlah penduduk miskin masih tinggi, di atas 15 persen dari 240 juta orang; (2) pengangguran di atas 8 persen; (3) pertumbuhan penduduk lebih cepat dari India dan China; (4) jurang perbedaan pendapatan menganga lebar; (5) sebagai salah satu negara paling korup di dunia; (6) infrastruktur masih lemah; dan (7) penghasil karbon terbesar ketiga di dunia.
Dengan segala karut-marut itu, mereka melihat masih ada sejumlah harapan. Pertama, secara demografis, tahun 2010, untuk pertama kali Indonesia akan memiliki penduduk yang tinggal di perkotaan di atas 50 persen. Ini berimplikasi pada peningkatan konsumsi, yang bisa membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam komposisi pembentukan produk domestik bruto (PDB), belanja konsumsi menyumbang 60 persen.
Kedua, pemerintah giat mendorong belanja APBN untuk proyek-proyek infrastruktur dan pelayanan publik. Ini menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, kembali terpilihnya Presiden Yudhoyono dalam pemilu presiden menjadi semacam garansi terbentuknya pemerintahan yang getol memerangi korupsi. Apalagi ia akan didampingi Boediono yang disegani karena integritasnya.
Keempat, stabilitas politik, yang menjadi modal terpenting. Cukup lama, sejak reformasi 1998, Indonesia mengalami instabilitas politik cukup lama, tetapi kini telah ditemukan kembali. Bom Mega Kuningan diyakini belum akan mengganggu perekonomian.
Prioritas kabinet baru
Tinjauan The Economist dirasa memadai dan bisa membantu kita memahami sudut pandang apa saja yang dianggap penting orang asing saat mereka memandang perekonomian Indonesia. Tampaknya mereka mengapresiasi upaya pemerintah memerangi korupsi meski di dalam negeri kita sedang asyik berdebat ihwal perseteruan ”cicak lawan buaya”.
Bagi saya, yang menarik adalah Indonesia kini benar-benar telah diperhitungkan masuk klub BRIC. Ini pula faktor yang bisa menjelaskan mengapa investor asing belakangan amat antusias mengalirkan dananya ke Indonesia sehingga melambungkan cadangan devisa mencapai level tertinggi dalam sejarah, 62,29 miliar dollar AS. Akibatnya, rupiah dan IHSG melambung tinggi.
Meski begitu, diharapkan Bank Indonesia tidak terlena dengan penguatan rupiah. Kewaspadaan harus ditumbuhkan agar rupiah tidak menjadi terlalu mahal. Level sekarang Rp 9.500 per dollar AS bisa jadi akan sensitif dan rawan aksi ambil untung.
Soal agenda kabinet baru, setidaknya ada dua prioritas besar. Pertama, meski The Economist menyebutkan belanja infrastruktur merupakan asa bagi perekonomian Indonesia, kenyataannya hal itu masih sebatas asa dan belum riil. Kabinet baru harus amat terobsesi untuk mewujudkan proyek-proyek infrastruktur.
Kegagalan skema public-private partnership dalam pembangunan monorel Jakarta merupakan simbol utama betapa proyek infrastruktur hanya ramai di wacana, tetapi miskin implementasi. Kebutuhan pembiayaan infrastruktur sekitar Rp 250 triliun/tahun, di mana pemerintah hanya membiayai Rp 76 triliun. Berarti swasta amat diharapkan keterlibatannya.
Kedua, pemerintah harus melanjutkan kemandirian fiskal. Rasio utang pemerintah atas PDB yang semula 80 persen (krisis 1998), menjadi 33 persen (akhir 2008), merupakan tren yang sehat. Reformasi birokrasi yang dijalankan Departemen Keuangan hanya bisa disebut berhasil bila dapat menaikkan penerimaan pajak (dengan menekan kebocoran), lalu dapat menekan kebutuhan utang.
Dua pekerjaan besar inilah yang langsung menanti kabinet baru dan kita akan berkala terus menagihnya hingga 2014. Ini bila kita benar-benar berkehendak untuk bisa masuk klub BRIC.

Opini Kompas 7 Oktober 2009
A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada; Chief Economist BNI