06 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Optimalisasi Rakor Gubernur Jateng

Optimalisasi Rakor Gubernur Jateng

Makna dari semua ini, melalui rakor pemimpin daerah selain harus memunyai komitmen juga menjaga agar visi Jateng dapat dicapai. Tajuk Rencana Suara Medeka, 3 Oktober dengan judul ”Gubernur Jangan Terjebak soal Absensi”, sungguh menggugah kita untuk sungguh-sungguh  melakukan refleksi terhadap persoalan di Jawa Tengah, terutama yang berkaitan dengan keberlangsungan dan optimalisasi pencapaian tujuan pembangungan pada masa-masa mendatang.

Kita baru saja memperingati kembali Hari Kesaktian Pancasila dan ingat pula dalam preambul konsitusi secara eksplisit dikemukakan tujuan berbangsa dan bernegara adalah demi kesejahteraan rakyat. Kita yakin juga semua pemimpin di Jateng; gubernur dan para bupati/wali kota, melakukan segala sesuatu demi kesejahteraan rakyat. Rapat koordinasi gubernur dengan para bupati dan wali kota juga merupakan bagian proses mencapai tujuan demi kesejahteraan rakyat.

Jika demikian, perbolehkan saya mengutip prinsip-prinsip dasar strategic leadership. Hasil yang baik dan optimal hanya akan dicapai jika didasari oleh visi yang kuat, karena visi adalah ”jalan menuju masa depan”. Pada saat sama, visi tersebut harus dapat dikomunikasikan dengan cara tepat dan waktu tepat, sehingga organ-organ organisasi akan dapat tergerak secara intrinsik dan secara sadar untuk melakukan aktivitas dalam rangka mencapai hasil yang visioner.

Churchill, misalnya, mampu melihat bahaya sosialisme sebelum para politikus. Bahaya itu kemudian melahirkan Blok Timur dan Blok Barat setelah Perang Dunia II. Demikian juga Gorbachev, mampu melihat prospek glasnost ketika banyak orang lain tidak mampu melihatnya.

Karena itu jadilah hubungan yang sekarang ini, tidak ada Blok Barat dan Blok Timur lagi. Di tingkat mikro, bagaimana seorang Bill Gate mampu melihat daya standarisasi grafis melalui Windows.

Dari yang dilakukan para pemimpin, kita tahu kepemimpinan tidak cukup hanya memiliki visi dan aspirasi. Akan tetapi juga harus memiliki kemampuan  mengomunikasikan visi ke pihak lain, mengatasi berbagai macam resistensi yang muncul, mampu beradaptasi dengan sabar terhadap lingkungan strategis sehingga tidak menjadi tragedi dalam bentuk self destruct dan akhirnya bermuara pada kemampuan memobilisasi sumber daya ke arah yang dikehendaki.
Steward-Partnership Akan halnya visi Gubernur Jateng ”Bali Desa Mbangun Desa”, saya yakin ini visioner, mengingat salah satu masalah besar yang dihadapai Jateng saat ini adalah kemiskinan yang terutama berada di daerah pedesaan dan sektor pertanian. Tentu visi ini akan menuai hasil yang optimal jika mekanisme transformasi visi tersebut dapat dilakukan dengan baik.   

Sebagaimana disampaikan dalam Tajuk Rencana tersebut, rapat koordinasi dirancang untuk mengakselerasi rencana aksi dalam kaitan pencapaian visi pembangunan Jateng. Hal ini bukan sekadar penting, tetapi rakor ini merupakan upaya menciptakan modal sosial dengan usaha membangun moral kerja bersama dan kapasitas belajar kolektif. Inilah substansi rakor tersebut yang memang harus sampai di tingkat pemimpin daerah (bupati dan wali kota) untuk dapat diimplentasikan.

Makna dari semua ini adalah melalui rakor pemimpin daerah selain harus memunyai komitmen juga menjaga agar visi Jateng dapat dicapai. Jadi kehadiran para bupati dan wali kota (baca: pemimpin daerah) bukan hanya berkaitan dengan masalah loyalitas (apalagi hanya unjuk muka dihadapan atasan yang memang masih menjadi penyakit sosial kita), tetapi lebih dari itu, yakni ada jaminan apakah substansi visi tadi dapat dilaksanakan atau tidak.
Karena itu yang harus hadir adalah pemimpin —bukan bawahan— yang dalam konteks kabupaten atau kota adalah bupati/wali kota atau wakil bupati/wakil wali kota karena keduanya adalah ”satu paket”.

Tentu dapat dipahami, sebagaimana pendapat Suara Merdeka dalam Tajuk Rencana tersebut, bahwa kemarahan Gubernur Jateng cukup memunyai alasan dan hal ini sering terjadi. Dalam banyak forum strategis yang menentukan arah dan kebijakan Jateng; seperti Musrenbang atau berbagai forum yang lain, sangat sering para pemimpin daerah termasuk DPRD yang sangat diperlukan kehadirannya, justru sering mewakilkan kepada bawahan.

Akibatnya jelas, sangat sering pesan utama forum tidak tersampaikan. Dalam wacana itulah seharusnya kemarahan Gubernur Jateng dipahami, yakni pesan tersebut harus sampai melalui pemimpin daerah. Artinya, jika ada alasan yang masuk akal sebetulnya ketidakhadiran bupati (bukan sebagai individu) bisa digantikan oleh wakil bupati.

Undang-undang No 32 Tahun 2004 memang telah mengubah banyak hal. Bukan hanya struktur dan tata hubungan pemerintahan yang berubah, tetapi juga jiwa dan tata kepengelolaan pemerintahan. Tentu saja konsekuensi dari ini semua juga akan mengubah posisi, sifat hubungan, perilaku hubungan organisasional dan antar pemimpin daerah. Hubungan antara gubernur dengan bupati/wali kota yang sebelumnya lebih bersifat pengarahan dan perintah menjadi hubungan yang lebih bersifat hubungan agen dan prinsipal (principal-agent relationship) atau bahkan ke arah hubungan kepelayanan yang berkelanjutan (stewardship sustainable relationship) yang lebih menekankan pada upaya penyesuaian kepentingan dan penumbuhan kepercayaan antarpelaku (baca: pemimpin daerah) dalam suatu organiasi sebagai pondasi untuk mencapai kemakmuran bersama.
Pendekatan Baru Dalam konteks kompleksitas dan konstelasi berbagai perubahan tersebutlah seharusnya visi ‘’Bali Desa Mbangun Desa’’ berada. Misi luhur yang menjadi spirit visi tersebut hanya akan mencapai hasil yang optimal jika hubungan antar dan interorganisasi pemerintahan daerah berjalan dengan baik. Sementara tidak bisa dimungkiri, hubungan antarorganisasi sangat dipengaruhi oleh sifat hubungan antara para pemimpinnya.

Kasus (kalau boleh disebut demikian) berkaitan rapat koordinasi antara Gubernur Jateng dengan bupati/wali kota yang mencuat kembali kali ini bagaimanapun akan menciptakan kekhawatiran publik akan kemunculan disharmoni hubungan antara gubernur dan para bupati/wali kota yang pasti akan mengganggu proses pembangunan di Jateng.

Tentu tidak harus diartikan menggurui kalau saya mengatakan perlu ada pendekatan baru dalam hubungan antara provinsi dan kabupaten-kota, tetapi harus dilihat sebagai keinginan rakyat untuk menjadikan Jawa Tengah mampu untuk menciptakan keunggulan guna mengatasi masalah yang dihadapinya. Dalam hubungan ini pula dan sesuai dengan perubahan serta jiwa UU No 32 Tahun 2004 tersebut, gubernur mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk mengharmonisasi hubungan antarpemerintah pusat dan daerah serta antarpemda. Sementara pemerintah daerah kabupaten-kota yang memunyai ‘’wilayah’’ dengan segala kewenangan dan tanggung jawab juga memunyai kewajiban untuk menyinkronisasi pembangunan di wilayah mereka masing-masing dalam satu koordinasi yang optimal oleh gubernur.

Kita —rakyat Jawa Tengah— tidak lagi ingin mendengar gubernur marah karena bupati absen dalam rakor, atau (misalnya) bupati pergi ke luar negeri tanpa izin gubernur pada hal kepergian bupati dalam rangka kerja sama dengan negara lain. Dan semua itu terjadi karena ketidakharmonisan hubungan gubernur-bupati akibat adanya persepsi yang berbeda akan suatu hal. Sementara kita semua yakin yang dilakukan para pemimpin tersebut karena loyalitas mereka kepada kesejahteraan rakyat. (35)


 Wacana Suara Merdeka 7 Oktober 2009
—FX Sugiyanto, Guru Besar Fakultas Ekonomi Undip