01 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Menunggu Kejatuhan Assad

Menunggu Kejatuhan Assad

"Belajar dari pengalaman militer Tunisia, Mesir, dan Libia, kemampuan Assad menjaga soliditas militer untuk tetap setia pun terbatas"

PRESIDEN Bashar al-Assad bergeming lewat sikap kerasnya tetap bertahan di puncak kekuasaan Republik Suriah. Padahal de facto dia sudah terjepit dari banyak sisi, baik tekanan dari luar maupun dalam negeri yang kian menguat. 

Setelah Amerika Serikat dan Uni Eropa menerapkan sanksi ekonomi sejak 10 Mei 2011, Turki dan Liga Arab memberlakukannya kemudian agar rezim Assad mau mengakhiri aksi pembunuhan atas rakyatnya yang menuntut penegakan demokrasi. Liga Arab setelah membekukan keanggotaan Suriah di Liga, Minggu (27/11) saat menggelar sidang lanjutan di Kairo Mesir memutuskan antara lain melarang pejabat Suriah berkunjung ke negara-negara Arab, menutup jalur penerbangan komersial dari negara-negara Arab ke Suriah, menghentikan kesepakatan kerja sama antara bank sentral negara-negara Arab dan bank sentral Suriah, serta membekukan aset Suriah.

Dari 22 anggota Liga Arab, hanya Lebanon dan Irak yang menentang penerapan paket sanksi tersebut. Sementara itu, tekanan domestik terus menguat seiring makin jelasnya peta kekuatan oposisi prodemokrasi. Kini sekurangnya terdapat empat kekuatan (kelompok) oposisi penentang rezim otoriter Assad.

Pertama; kelompok yang beranggotakan warga Suriah di luar negeri yang membentuk Dewan Nasional Suriah (SNC). Tokoh-tokohnya antara lain Burhan Ghalyoun (pemikir muslim), Haytham Al-Malih, dan Wael Mirza. Mirza kini tengah aktif melobi PBB agar lembaga dunia itu mau segera menciptaan zona aman bagi penduduk sipil di Suriah, misalnya dengan menciptakan zona larangan terbang (no fly zone) bagi pesawat Suriah. Kelompok ini, yang bermarkas di Istanbul Turki, cenderung akomodatif terhadap bantuan asing.

Kedua; kelompok yang beranggotakan politikus Suriah yang bertentangan dengan rezim Assad. Mereka yang tergabung dalam Komite Koordinasi Nasional (NCC) sangat hati-hati menyikapi bantuan asing. Seperti diungkapkan Haytham Manna (salah seorang pemuka NCC), perjuangan dengan meminta bantuan asing sangat  tidak patriotik. Karena itu, pihaknya menolak segala bentuk ’’campur tangan’’ asing.

Ketiga; kelompok Free Syria Army (FSA), mencakup personel militer dan veteran yang membelot. Cukup banyak personel militer membelot setelah lebih dari delapan bulan revolusi di Suriah berlangsung. Mereka desersi karena tak sanggup lagi menjalankan perintah membantai rakyat. Namun, sejauh ini belum terlihat siapa sesungguhnya pemimpin FSA.

Keempat; kelompok warga sipil yang menggalang aksi perlawanan lewat jejaring sosial. Mereka tergabung dalam Komite Koordinasi Lokal (LCC) dan Komite Umum Revolusi Suriah (Syria Revolution General Committee/ SRGC). Seperti halnya kelompok ketiga, kelompok keempat ini belum diketahui siapa pemimpinnya.       

Kekuatan Loyalis

Akankah Assad mampu bertahan di tengah jepitan dan tekanan kuat dan keras semacam itu? Kalangan pengamat umumnya meyakini dia tidak akan mampu bertahan. Cepat atau lambat, dia akan jatuh, entah jatuhnya seperti Ben Ali di Tunisia, Mubarak di Mesir, Gaddafi di Libia atau melalui skenario lain. Tekanan keras dari luar dan dalam negeri itu diyakini akan mampu menggerus sampai habis ketahanan Assad, hingga akhirnya dia jatuh.

Ketahanan Assad untuk bertahan saat ini praktis tinggal bertumpu pada pilar militer. Meski cukup banyak personel militer yang melakukan desersi, banyak pihak mengakui sementara ini militer Suriah masih solid mendukung Assad. Ini terjadi lantaran posisi kunci di militer dijabat oleh loyalis Assad, seperti Maher Al-Assad (saudara kandung) yang menjabat Komandan Pasukan Pengawal Republik dan Ali Mamluk, kepala intelijen. Persoalannya bagi Assad,  berapa lama dia mampu menjaga soliditas kekuatan militer untuk terus membela kekuasaannya.

Belajar dari pengalaman militer Tunisia, Mesir, dan Libia, dipastikan kemampuan Assad menjaga soliditas militer untuk tetap setia pun terbatas. Mestinya Assad mau menjadikan pengalaman Ben Ali, Mubarak, dan Gaddafi itu sebagai referensi penting untuk diambil pelajarannya yang sangat berharga agar akhir kekuasaannya tidak sehina akhir kekuasaan mereka. Jika tidak mau, publik dunia tinggal menunggu kejatuhan Assad dari kursi kekuasaannya. (10)


— Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 1 Desember 2012