RESMI sudah Presiden SBY dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa berbesan (besanan) setelah Edhi Baskoro Yudhoyono (Ibas) menikah dengan Siti Aliya Rajasa (Aliya). Banyak analis politik menyebut berbesan itu bakal mengerucut pada suksesi politik 2014, mengingat Hatta adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), sedangkan SBY Ketua Dewan Penasihat Partai Demokrat, dan Ibas sekjen.
Tensi politik dari pernikahan itu begitu kental dirasakan publik meski kerabat dan kolega Presiden dan Menko Perekonomian membantah. Namun karena keduanya tokoh politik, sulit bagi publik melepas begitu saja bantahan itu. Alasannya, fakta pada masa lalu, bukan hanya SBY dan Hatta. Pada masa Orde Baru misalnya, Presiden Soeharto menikahkan putri-putrinya dengan pejabat elite penting.
Siti Hediati alias Titiek misalnya, menikah dengan Prabowo Subianto. Prabowo yang saat itu Danjen Kopassus adalah anak begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo, yang pada masa awal Orde Baru menjabat posisi strategis, seperti Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menristek. Tak lama setelah reformasi, pasangan Prabowo-Titiek bercerai.
Begitu pula putra-putra Soeharto, sebelum akhirnya bercerai, dinikahkan dengan putri-putri ningrat keraton Jawa, seperti Bambang Trihatmodjo dan Tommy Soeharto. Pada masa itu, nuansa politik terasa kental. Penguasa Orde Baru itu berupaya membangun dinasti politik mapan lewat politik berbesan. Budaya semacam itu seakan melanggengkan patriarkhi, layaknya kaum ningrat masa lalu.
Selain dari fakta masa Orba, teori politik klasik pun mengenal pola pembangunan politik dari akar kekerabatan, kekeluargaan, atau berbesan. Misalnya dari Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dikenal teori kabilah syuubiyah-nya. Artinya, dalam masyarakat Arab masa lalu, untuk membangun politik kekuasaan harus melalui sentimen-sentimen kesukuan, kabilah, dan kekeluargaan.
Pola semacam itu dianggap menjadi bagian penting dan integral dari pembangunan politik kaum berber untuk tujuan suksesi politik kekuasaan. Jika pola itu dikesampingkan maka hukum berber pun akan berlaku, yang kuat menikam yang lemah dan menjatuhkannya hingga kekuasaan politik berpindah tangan. Sebab itulah, untuk memperkuat kabilah syuubiyah mereka, cara-cara klasik membangun sentimen kekeluargaan, kesukuan dan seterusnya tak dapat dipisahkan.
Langgengkan Kekuasaan
Teori semacam itu akhirnya seakan diamini antropolog sekelas Levi-Strauss (1987) yang dikenal dengan teori marital kinship (perkawinan kekerabatan). Menurut Levi, orang zaman dulu, termasuk pada zaman kerajaan, menikahkan keluarga dengan lingkungan sendiri, supaya tahta, harta dan sebagainya tidak jatuh ke pihak lain.
Tampaknya itu pula yang kini didalami dinasti politik Cikeas. Kakak Ibas, Agus Harimurti Yudhoyono menikah dengan Annisa Pohan, putri mantan pejabat penting BI Aulia Pohan, ekonom lulusan Harvard. Mungkin saja publik tak terlalu curiga bila SBY tak menikahkan putranya dengan putri pejabat penting negeri ini. Akan berbeda kisah misalnya, jika putra SBY menikah dengan putri seorang pengusaha biasa atau putri seorang PNS biasa.
Dalam pernikahan Ibas-Aliya beberapa pengamat bahkan menyebutnya sebagai momen penting untuk memperkuat koalisi nasional Demokrat-PAN. Poros koalisi yang kini berkuasa sering diombang-ambingkan isu kurang mengenakkan. Bahkan mengerucut pada bintik perpecahan yang berujung isu reshuffle kabinet. Isu perpecahan koalisi dimentahkan saat Presiden tak mengganti menteri-menteri dari partai koalisi.
Publik mencium pernikahan Ibas-Aliya menjadi penanda kuat untuk memuluskan Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014 karena SBY tidak mungkin lagi maju. Karenanya, publik melihat kemungkinan regenerasi kepemimpinan akan dilimpahkan ke Hatta. Politik berbesan menjadi modal paling berharga untuk menjaga dan membangun kepercayaan mengingat dalam politik sangat sulit membangun trust kecuali melalui tali persaudaraan atau besanan. (10)
— Ismatillah A Nu’ad, peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Jakarta
Wacana Suara Merdeka 02 Desember 2011
01 Desember 2011
Politik Besan Cikeas
Thank You!