14 Juni 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Nasib PSSI Ditentukan di Solo

Nasib PSSI Ditentukan di Solo

”AIR mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut.” Sepenggal syair lagu ”Bengawan Solo” karya Gesang Martohartono (1 Oktober 1940-20 Mei 2010) yang popularitasnya sampai ke seantero jagat itu tampaknya kini perlu dinyanyikan kembali, menyambut keputusan Komite Normalisasi (KN) PSSI yang memilih Solo, sebagai tempat penyelenggaraan kongres luar biasa (KLB) PSSI pada 9 Juli mendatang.

Solo ditetapkan sebagai tempat KLB dalam rapat pleno KN, Senin (6/6), dengan sejumlah pertimbangan antara lain situasi keamanannya kondusif, berada di tengah sehingga dekat dari kawasan barat dan timur Indonesia, serta atmosfer sepak bola di kota Solo sangat mendukung. Setelah keputusan menetapkan Solo sebagai tempat KLB, masyarakat sepak bola kota ini menggelar doa bersama demi suksesnya kegiatan itu. Inilah atmosfer yang kita harapkan.

Solo juga kota bersejarah karena Kongres I PSSI berlangsung di kota ini, begitu pun Pekan Olahraga Nasional (PON) I, dan Hari Pers Nasional (HPN) I. Bahkan Liga Primer Indonesia (LPI), yang oleh FIFA dianggap sebagai run away league atau liga yang memisahkan diri, dan menjadi bagian tugas KN untuk menyelesaikannya, di bawah kontrol penuh PSSI atau dibubarkan, lahir di Solo.

Pertimbangan lainnya, Solo sebagai kota budaya sehingga diharapkan peserta KLB akan tertular suasana kota Solo sehingga lebih berbudaya dan beradab dalam mengikuti kongres. Terkait hal ini, Wali Kota Solo Joko Widodo selaku tuan rumah mengambil prakarsa bahwa peserta kongres setibanya di Bandara Adi Soemarmo akan disambut dengan tarian tradisional, serta disediakan pendamping atau pager ayu hingga ke tempat acara.

Sedangkan 9 Juli 2011 ditetapkan sebagai waktu KLB setelah Djoko Driyono, Plt Sekjen  PSSI yang juga anggota KN bertemu dengan pengurus Asian Football Confederation (AFC) atau Konfederasi Sepakbola Asia di Kualalumpur Malaysia para Rabu (8/6). FIFA juga menetapkan kongres 9 Juli nanti sebagai KLB dengan agenda tunggal: pemilihan Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan anggota Komite Eksekutif PSSI 2011-2014. Tak ada agenda lain di luar yang sudah ditetapkan FIFA dan AFC, termasuk upaya memasukkan calon yang sudah mereka larang, yakni Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, George Toisutta, dan Arifin Panigoro.

Pertanda Baik

Acara di Solo nanti adalah kelanjutan KLB Jakarta 20 Mei lalu yang berakhir deadlock. Semula KLB diselenggarakan pada 30 Juni 2011 tapi FIFA kembali memberi toleransi pengunduran waktu menjadi 9 Juli dengan sejumlah pertimbangan.
Pertama; pada 30 Juni Solo menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Kota Layak Anak Asia Pasifik (International Conference on Child Friendly City Asia Pacific), dan acaranya pun digelar di tempat yang sama, yakni Hotel Sunan. Kedua; mengingat Pasal 31 Ayat (5) Statuta PSSI bahwa KLB harus diberitahukan kepada calon peserta 4 pekan sebelum dilaksanakan.

Menariknya, pada 9 Juli nanti perkumpulan ahli bedah internasional juga akan menggelar kongres di Hotel Sunan, namun dengan alasan demi PSSI, bangsa, dan negara atau demi kepentingan yang lebih besar, mereka mengalah bergeser ke hari lain. Begitu pun kegiatan organisasi lokal di Solo diundur menjadi setelah 14 Juli. Ini adalah awal yang baik yang tak lepas dari ajaran leluhur yang terkandung dalam salah satu tembang Macapat, yakni wani ngalah luhur wekasane (berani mengalah adalah tinggi derajatnya).

Kita berharap, KLB di Kota Bengawan bisa mengakhiri kemelut di tubuh PSSI selama ini. Wani ngalah luhur wekasane. Bila KLB tidak berhasil memilih pengurus baru PSSI, otomatis FIFA menjatuhkan sanksi.
Di Solo, nasib PSSI ditentukan. Seperti penggal syair ”Bengawan Solo”, kita berharap konflik yang selama ini berkecamuk, termasuk polarisasi antara KN dan pendukung George Toisutta-Arifin Panigoro, bisa terbawa aliran Bengawan Solo, yang letaknya tak jauh dari lokasi KLB, ke muara dan akhirnya terkubur di dasar laut. Jangan lagi ada dikotomi seolah-olah KN pro-status quo, dan pendukung GT-AP adalah reformis.

Pun kita berharap KN dan peserta KLB bisa bersikap laksana laut, yakni sabar atau lembah manah (rendah hati). Laut, sanggup menampung apa saja, termasuk limbah, tanpa harus membuat airnya keruh, di tengan ombak yang terus bergemuruh. Dalam konteks ini, kita berharap KN dan peserta KLB bisa berpikir jernih dan bersikap sabar seperti laut, di tengah dinamika adanya perbedaan pendapat.

Apalagi, seperti diyakini masyakarat Solo, 9 Juli atau 7 Ruwah dalam penanggalan Jawa, jatuh pada hari Sabtu Pon yang berwatak lakuning banyu (aliran air), wasesa segara (seperti laut) sehingga diharapkan para pemimpin, termasuk pemimpin KN, pemimpin klub sepak bola, dan pengurus provinsi PSSI yang menjadi peserta KLB, lembah manah. Innallaha ma’a shobirin, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Insya Allah! (10)

— Drs H Sumaryoto, Ketua Indonesia Football Watch (IFW), anggota Komite Normalisasi PSSI