14 Juni 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Perang-perangan Lawan Korupsi

Perang-perangan Lawan Korupsi

KINERJA pemberantasan korupsi yang makin tidak meyakinkan mendorong  publik mempertanyakan efektivitas kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam perang melawan korupsi. Dengan sisa waktu sekitar 3 tahun, publik pun mulai menggunjingkan apa yang akan dan bisa diwariskan (legacy) SBY dari satu dekade kepemimpinannya di republik ini?  Presiden pertama Ir Soekarno mewariskan nation building, sedangkan presiden kedua, Soeharto, dikenang sebagai Bapak Pembangunan. Lantas, apa yang layak dilihat sebagai warisan dari satu dekade kepemimpinan SBY? Pertanyaan ini mulai sering dikumandangkan para pemerhati.

Banyak kalangan kemudian teringat lagi akan komitmen SBY pada awal kepemimpinannya yang berjanji memimpin langsung perang melawan korupsi. Pesan moral itu direspons KPK  dengan sigap dan berani. Sejumlah kepala daerah, politikus hingga penegak hukum yang melanggar hukum, dijerat, termasuk Aulia Pohan, sang besan.
Namun, pada awal periode kedua kepemimpinannya, konsistensi SBY mulai meredup. Bukan hanya tak tegas melainkan sesekali tampak bimbang. Dalam kasus dugaan pemerasan yang melibatkan Wakil Ketua KPK Bibit-Chandra, kehendak SBY tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh para pembantu presiden di bidang hukum. Sedangkan dalam skandal Bank Century, SBY akhirnya membiarkan Sri Mulyani Indrawati mundur dari jabatan menkeu. Kasus terakhir ini, bagaimana pun mencerminkan kebimbangan SBY menyikapi megaskandal itu.

Setelah itu, satu demi satu masalah bermunculan mengganggu SBY, dan publik  menuntut ketegasan sikapnya. Dimulai dari keragu-raguan melaksanakan proses hukum skandal Bank Century, mafia pajak, hingga kasus terakhir yang melibatkan kader Partai Demokrat (PD), M Nazaruddin. Pada proses hukum skandal Century dan mafia pajak, publik membaca kecenderungan ambivalensi SBY. Memang, dalam pernyataannya, ia tampak sungguh-sungguh ingin menuntaskan dua kasus besar itu. Tetapi pada saat bersamaan dia seperti membiarkan saja sikap setengah hati para penegak hukum.

Soal Kemampuan

Tak juga perlu ditutup-tutupi bahwa posisi dan status Nazaruddin saat ini amat mengganggu citra SBY. Ketika para kader PD tidak satu kata menyikapi kasus itu, publik mempertanyakan peran SBY sebagai ketua dewan pembina partainya. Kepergian Nazaruddin ke Singapura sehari sebelum pencekalannya menambah runyam posisi SBY dan PD. Apakah SBY masih siap memimpin perang melawan korupsi? Itulah pertanyaan bernada sinis yang bermunculan di ruang publik, menyusul kepergian Nazaruddin ke Singapura dan ketidakhadiran memenuhi panggilan KPK.

Publik pun akhirnya membuat kesimpulannya sendiri: SBY dinilai tidak mampu mengendalikan kader partainya membantu proses penegakan hukum dan memerangi korupsi. Permintaannya agar Nazaruddin segera dibawa kembali ke Jakarta terbukti belum dilaksanakan. Kalau tidak efektif mengendalikan kadernya sendiri, boleh jadi efektivitas kepemimpinan SBY memerangi korupsi pun sudah menurun.

Karena itu, jangan heran jika proses hukum skandal Bank Century pun tidak berkepastian. Dalam rapat dengan Tim Pengawas DPR untuk proses hukum skandal Century di DPR baru-baru ini, Ketua KPK Busyro Muqqodas menyatakan bahwa lembaganya hingga kini belum menemukan bukti-bukti yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi (tipikor) pada kebijakan bailout  bank tersebut.

Ambivalensi pun amat kentara jika kita memperbandingkan posisi yang diambil SBY dalam kasus Century-mafia pajak dengan posisinya dalam kasus Nazaruddin. Dalam kasus Century-mafia pajak, dia terlihat dalam posisi bertahan. Tetapi dalam kasus Nazaruddin, dia ikut memojokkan kader partainya. Kehendak SBY itu bisa dibaca dengan jelas oleh KPK, yang kemudian dengan siap meminta pencekalan Nazaruddin, serta langsung  menjadwalkan pemeriksaan Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni.

Presiden memang mengeluarkan 12 instruksi untuk merespons kasus mafia pajak, tetapi semua itu hanya fokus pada kasus Gayus Tambunan. Padahal publik paham bahwa Gayus bekerja berdasarkan kendali para atasannya. Karena itu, dalam memerangi mafia pajak, publik menghendaki agar semua nama yang terindikasi terlibat dimintai pertanggungjawabannya melalui proses hukum.

Tatkala publik terus mempertanyakan kemampuan KPK dan PD membawa Nazaruddin kembali ke Jakarta, SBY malah memberi tanggapan tentang isu capres 2014. Terlalu jauh dari konteks persoalan yang tengah menjadi keprihatinan publik. Sebenarnya lebih elegan jika presiden menyinggung kinerja atau kepemimpinannya dalam memerangi korupsi. Amat relevan menyinggung hal itu mengingat pada saat yang sama partai yang dibinanya lagi dihujani kecaman. (10)

— Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar