14 Juni 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Mengubah Pola Konservatif Pendidikan

Mengubah Pola Konservatif Pendidikan

SEPERTI diprediksikan banyak pihak, kelulusan ujian nasional (UN)  SMP, SMK, dan SMA tahun ini mengalami kenaikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Untuk tingkatan SMP di Jawa Tengah, hanya 4.823 (0,954%) siswa tidak lulus. Tahun ini terjadi kenaikan tingkat kelulusan SMP 0,059%, yaitu dari 98,987% menjadi 99,046% (SM , 03/06/11).

Secara kuantitatif, kenaikan persentase kelulusan ini mengindikasikan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan namun tidak serta merta bisa digunakan untuk menyimpulkan terjadi peningkatan kualitas secara signifikan.

Pertama, formula penilaian tahun ini mengintegrasikan nilai sekolah, dengan 60% nilai anak ditentukan oleh nilai UN dan 40% lagi dari nilai sekolah yang mempertimbangkan nilai rapor semester 1 sampai 5. Sekilas formula ini ideal untuk mengakomodasi berbagai kritik, saran, dan pendapat guna penyempurnaan pelaksanaan UN. Namun, formula itu pulalah yang sebenarnya ’’dimanfaatkan’’ oleh kepala sekolah untuk menyelamatkan muka mereka di hadapan penguasa. Kecurangan demi kecurangan dilakukan mulai mengatrol nilai sekolah hingga mengganti nilai rapor. Peserta didik diajak melakukan mujahadah bahkan sembari membawa botol berisi air putih untuk dibacakan doa-doa dari tokoh spiritual andalan. Inilah praktik pembodohan di dunia persekolahan kita.

Selanjutnya, tengoklah yang terjadi di ruang kelas. Benarkah telah terjadi peningkatan kualitas pembelajaran? Penelitian Japan International Cooperation Agency (JICA) 2008 atas pembelajaran di ruang kelas SMP di 3 kabupaten (Sidoarjo Jatim, Bantul DIY, dan Sumedang Jabar) menunjukkan  sebagian besar pendidik bisa dikategorikan sebagai guru sangat konservatif, konservatif, atau tidak punya orientasi pembelajaran yang jelas.

Mereka, sebagaimana hasil penelitian itu, masih menyampaikan materi pembelajaran sebanyak-banyaknya tanpa memperhitungkan minat, motivasi, dan kebutuhan pengembangan diri siswa. Sebagian besar waktu digunakan untuk menyampaikan informasi, pengetahuan, dan sekeranjang teori yang tidak benar-benar dipahami siswa. Guru konservatif merasa puas kalau sudah menyampaikan informasi, teori, rumus, pengetahuan sebagaimana kurikulumnya, seakan tanggung jawab mereka telah terpenuhi.

Akibatnya, konsep belajar tuntas yang sering ditekankan pada pelaksanaan pembelajaran tinggallah di angan-angan. Di kelas, murid harus melahap segudang pengetahuan untuk dihafalkan. Alhasil, proses verbalisme terus saja manjadi tradisi pembelajaran di sekolah dan selepas dari sekolah dijamin lulusan sekolah itu akan kebingungan menyesuaikan hidup di masyarakat, di tengah tuntutan hidup yang makin kompetitif.

Ubah Pola Pikir

Apakah guru konservatif semacam ini masih ada di Jateng? Untuk menjawabnya, silakan teliti interaksi guru dan murid di ruang kelas. Guru konservatif lebih banyak menggunakan waktunya untuk melakukan interaksi kognitif (penyampaian pengetahuan, informasi, teori, rumus, dan sebagainya) kepada siswa. Di kelas minim sekali interaksi sosial (kegiatan kerja kelompok, berpasangan, menggarap proyek) dan sedikit pula interaksi ontologis (mengelola konflik antara konsep baru dan nilai yang ada dalam diri siswa). Dari indikasi itu kita dapat menyimpulkan sendiri seberapa banyak guru konservatif di Jateng, sekaligus tahu kualitas pembelajaran di kelas.

Sesungguhnya peningkatan angka kelulusan tidak akan berarti apa-apa bagi perbaikan pengelolaan pendidikan kalau dilakukan dengan menghalalkan segala cara, lewat jalan pintas, kecurangan, atau pembodohan. Sebaliknya, kenaikan angka kelulusan itu bisa mengindikasikan perbaikan kualitas pembelajaran jika dibarengi peningkatan pengelolaan pembelajaran di kelas.

Untuk itu, semua pelaku pendidikan di sekolah hendaknya berupaya meningkatkan mutu pembelajaran. Guru perlu mengubah pola pikir (mindset) dari cara mengajar konservatif ke cara mengajar yang lebih liberal. Guru perlu membuka mata dan telinga untuk mengetahui kemajuan iptek yang tak terkejar dan peserta didik bisa mengakses tanpa batas lewat berbagai media.

Perlu pula memperbaiki pola interaksi di ruang kelas agar aktivitas pembelajaran tak didominasi oleh interaksi kognitif semata. Siswa butuh mengembangkan nilai-nilai sosial untuk bekerja sama dan berinteraksi dengan sesama. Mereka juga butuh mengelola konflik dalam dirinya manakala mendapatkan nilai-nilai baru yang bertentangan atau tidak sejalan dengan nilai yang ada dalam dirinya. (10)

— Sudadi, guru SMP Negeri 1 Wadaslintang Kabupaten Wonosobo

wacana suara merdeka 14 juni 2011