03 Mei 2010

» Home » Okezone » SKPP Bibit Chandra dan Putusan Praperadilan

SKPP Bibit Chandra dan Putusan Praperadilan

Putusan praperadilan yang membatalkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah telah menimbulkan pro-kontra di masyarakat.

Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tersebut hanya dapat ditanggapi Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan perlawanan (verzet), bukan banding ke pengadilan tinggi untuk meminta putusan terakhir (final and binding). Putusan praperadilan ini menimbulkan geger karena Jampidsus Kejagung telah menemukan bukti kuat perkara Bibit-Chandra untuk dilimpahkan ke pengadilan (P-21) dan hal itu diucapkan di hadapan Komisi III DPR RI serta kepada publik.


SKPP Kejagung dalam perkara Bibit-Chandra memang unik karena memuat dua pertimbangan yang kontradiktif. Pertama, telah cukup bukti dalam perkara Bibit-Chandra. Kedua, pertimbangan sosiologis yang intinya tidak diperlukan melanjutkan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan.

Memang, Jampdisus menanggapi bahwa hakim tidak memahami situasi dan kondisi saat diputuskan untuk tidak melimpahkan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan dan mempersoalkan apakah pemohon (Anggodo) dapat dimasukkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan? (Pasal 80 KUHAP).

Namun, lazimnya hakim memiliki kebebasan kekuasaan kehakiman untuk memberikan penilaian mengenai “pihak ketiga yang berkepentingan”, apalagi KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai kalimat tersebut sehingga diskresi berada sepenuhnya di tangan seorang hakim. Sama halnya dengan kasus penahanan terhadap seseorang, diskresi sepenuhnya berada di tangan penyidik. Pada umumnya hakim dalam praktik membenarkannya dan tidak mempersoalkan lagi kebenaran materiil dari penahanan tersebut, kecuali kebenaran prosedural.***

“Pertimbangan sosiologis” oleh jaksa penuntut umum di dalam SKPP Bibit-Chandra memang tidak jelas. Namun penulis mengonstatasi bahwa pertimbangan tersebut antara lain memperhatikan rekomendasi Tim Delapan kepada Presiden agar perkara Bibit-Chandra dihentikan dan atas dasar rekaman yang diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi RI dan hasil pemeriksaan Tim Delapan serta tuntutan masyarakat sipil yang sangat luas terhadap penahanan Bibit-Chandra oleh penyidik.

Jika digunakan pendekatan positivisme hukum, secara normatif pengaruh rekomendasi Tim Delapan kepada Presiden dan tuntutan masyarakat luas serta beberapa anggota lembaga legislatif dalam perkara Bibit-Chandra merupakan bentuk “intervensi” terhadap proses penyidikan dan penuntutan.

Namun, jika digunakan pendekatan sociological jurisprudence dalam proses peradilan, pertimbangan sosiologis SKPP Bibit-Chandra oleh Kejagung dapat dibenarkan karena SKPP menampung aspirasi yang hidup dalam masyarakat atau setidak-tidaknya “mendekatkan” fakta hukum yang terkandung dalam perkara Bibit- Chandra dan “fakta sosial” yang berada di balik perkara tersebut. SKPP Bibit-Chandra ini merupakan perkembangan baru dalam proses peradilan pidana Indonesia, baik saat ini maupun di masa yang akan datang.

Namun, SKPP Bibit- Chandra tersebut mengandung contradictio in ratio decidendi sehingga mencerminkan suatu SKPP cacat hukum. Pertimbangan hukum dalam SKPP ini pun perlu diuji validitasnya karena jika dibandingkan dengan ketentuan KUHAP (Pasal 140 ayat (2) a) hanya ada tiga alasan untuk mengeluarkan SKPP, yaitu perkara tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum.

SKPP Bibit-Chandra justru memuat penegasan bahwa perkara Bibit-Chandra terdapat cukup bukti dan tidak ada alasan normatif lain dengan ketentuan sesuai dengan Pasal 140 ayat 2 huruf d. Apabila kemudian ternyata ada alasan-alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Hasil pertimbangan normatif dan syarat sosiologis yang patut diterima dalam perkara Bibit-Chandra adalah dengan mengeluarkan deponeering.

Sekalipun pertimbangan hukum telah cukup bukti, tetapi kepentingan umum yang lebih luas, yaitu kelanjutan kinerja KPK sebagai lembaga independen dalam pemberantasan korupsi yang telah menjadi kebijakan politik pemerintah akan terganggu dengan penetapannya sebagai terdakwa.

Dari sisi penafsiran hukum yang menggunakan pendekatan analitis positivisme hukum atau analytical jurisprudence, penafsiran hukum yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya SKPP Bibit-Chandra tidak memenuhi syarat rules and logic karena cacat hukum sebagaimana diuraikan di atas.***

Bagi hakim praperadilan, sudah tentu SKPP Bibit-Chandra dihadapkan pada suatu dilema hukum antara mengedepankan pendekatan positivisme hukum atau analytical jurisprudence yang telah lazim berkembang dalam praktik peradilan, bahkan telah menjadi suatu yurisprudensi. Pertimbangan normatif (tidak sosiologis) selama ini masih dianut pihak Kejagung, termasuk diskresi yang telah diatur dalam penetapan SP3 dan SKPP.

Dalam proses penetapan SKPP Bibit-Chandra ini jelas Kejagung dalam posisi terjepit oleh hasil rekomendasi Tim Delapan yang disampaikan kepada Presiden serta oleh tuntutan masyarakat sipil untuk melepaskan Bibit-Chandra dari tuntutan hukum. Adapun analisis normatif jaksa telah menetapkan bukti yang cukup untuk dilanjutkan ke pengadilan.

Di sinilah letak pentingnya independensi bukan hanya pada kekuasaan kehakiman semata-mata, tetapi independensi pada Kejagung sebagai penuntut umum di dalam suatu negara hukum. Dalam posisi Jaksa Agung setingkat menteri dalam Kabinet RI sudah tentu sulit untuk mengatakan bahwa Kejagung tidak terbebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif atau pengaruh kekuasaan politik.

Jika rekomendasi Tim Delapan tersebut dijadikan bahan pertimbangan dalam nota pembelaan penasihat hukum Bibit-Chandra di sidang pengadilan, sangatlah elegan proses peradilan pidana di negeri kita tercinta ini. Sebab, dengan demikian, kita semua termasuk pimpinan eksekutif dan legislatif tetap menghormati tegaknya hukum dan di sisi lain, sekalipun putusan pengadilan memenangkan salah satu pihak, kemenangan atau kekalahan itu merupakan kemenangan atau kekalahan yang diperoleh secara terhormat dan memenuhi kriteria justice for all, bukan justice for one.

Ada dua solusi hukum yang dapat dipertimbangkan oleh hakim pengadilan tinggi (PT) dalam menghadapi perlawanan hukum jaksa atas putusan praperadilan PN Jakarta Selatan. Pertama, mengabulkan perlawanan jaksa penuntut umum (JPU). Konsekuensinya bahwa putusan PT atas perlawanan hukum tersebut akan menjadi preseden di kemudian hari dalam perkara praperadilan yang lain sehingga telah dapat diperkirakan, dalam praktik hukum di kemudian hari, jaksa penuntut umum memiliki tiga diskresi dalam menghentikan penuntutan yang akan menjadi preseden, yaitu dengan pertimbangan normatif berdasarkan KUHAP, pertimbangan sosiologis (jika perlawanan JPU dalam perkara Bibit-Chandra dikabulkan PT) dan wewenang deponeeringoleh Jaksa Agung. Kedua, menolak perlawanan jaksa penuntut umum dengan konsekuensi peradilan atas Bibit-Chandra dilanjutkan.

Jika langkah ini yang diambil, fair and impartial trial harus dipegang teguh demi menciptakan justice for all berdasarkan alat-alat bukti serta keyakinan hakim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua alternatif hukum tersebut sudah tentu memiliki risiko-risiko tertentu baik saat ini maupun di kemudian hari. Kiranya masyarakat baik mereka yang pro maupun kontra masing-masing wajib mematuhi putusan apa pun yang diambil majelis hakim PT atas perlawanan JPU terhadap putusan praperadilan dalam perkara SKPP Bibit-Chandra.***

Penulis sangat prihatin dengan kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini. Perlakuan diskriminatif terhadap pencari keadilan semakin kasatmata dengan berbagai latar belakang sosial dan pertimbangan politik serta kedudukan seseorang di dalam pemerintahan dan lembaga negara. Diskriminasi hukum yang berasal dari penafsiran subjektif dari aparatur penegak hukum memang juga terjadi di negara lain sekalipun dalam frekuensi kecil dibandingkan di Indonesia.

Diskriminasi hukum yang lahir dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif apalagi hanya karena tuntutan masyarakat sipil semata-mata sama dengan meruntuhkan kekuasaan kehakiman yang didambakan sebagai sarana ideal untuk menggapai cita-cita kepastian hukum dan keadilan di negeri ini. Masih banyak korban ketidakpastian hukum dan ketidakadilan di luar Bibit-Chandra yang tidak berdaya hanya karena tidak memiliki kekuasaan, uang, dan hanya karena nonpartisan.(*)

Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran 

opini okezone.com 03 mei 2010