03 Mei 2010

» Home » Okezone » Reposisi Politik Alokatif Muhammadiyah (2)

Reposisi Politik Alokatif Muhammadiyah (2)

Melalui kajian intensif dan ekstensif, Syarifuddin Jurdi (2010) berhasil menemukan corak atau ciri khas kepemimpinan Muhammadiyah dalam setiap periode.

Corak kepemimpinan itu terbentuk bukan hanya karena faktor watak pribadi pemimpin persyarikatan bersangkutan, tetapi juga didorong oleh situasi politik nasional yang berkembang. Meminjam bahasa almarhum Yasri Suleman, yang tengah merampungkan disertasi tentang kepemimpinan Muhammadiyah tetapi dipanggil Sang Khalik sebelum menyelesaikan tugas akhirnya itu, bahwa “Muhammadiyah melahirkan pimpinan sesuai dengan kebutuhan zamannya.”


Tesis Yasri Sulaiman nampaknya sangat relevan untuk memahami siklus kepemimpinan di Muhammadiyah. Pada era kepemimpinan AR Fachruddin (1968–1990) orientasi politiknya bersifat moderat dan akomodatif terhadap pemerintah. Untuk mengalokasikan nilai-nilai Islam (baca: aspirasi politiknya) kepada penguasa (Presiden Soeharto), AR Fachruddin melakukannya dengan jalan bertemu langsung, bertatap muka, mengutamakan dialog, dan menghindari kritik terbuka.

Konon, tidak jarang dalam dialog dengan Presiden Soeharto, AR Fachruddin menggunakan bahasa Jawa krama inggil sehingga semakin mendekatkan, sekaligus mencairkan pembicaraan. Dengan cara demikian, maka diplomasi dan lobi Muhammadiyah memiliki peluang yang besar untuk didengarkan dan diterima penguasa. Langgam kepemimpinan AR Fachruddin yang bercorak moderat-akomodatif, kemudian berubah haluan 180 derajat ketika Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Amien Rais (1994–1998).

Amien Rais bersikap kritis konstruktif terhadap pemerintah dan menyuarakan kritik secara terbuka terkait ketimpangan politik dan ekonomi. Bahkan, wacana suksesi kepemimpinan nasional yang digulirkannya kemudian terus menggelinding bagaikan bola salju sehingga membuat rezim yang berkuasa kerepotan. Perubahan gaya kepemimpinan itu bisa dipahami mengingat pada era AR Fachruddin rezim Soeharto sedang dalam posisi yang amat kuat, begitu berkuasa.

Di sebelah berbeda, ketika Amien Rais memimpin persyarikatan, rezim Soeharto sudah melemah karena ideologi pembangunan (ekonomi) yang menjadi haluan utamanya mulai mengalami anomali dan runtuh oleh gelombang krisis multidimensional. Tentu saja pembawaan AR Fachruddin sebagai ulama, dan watak Amien Rais sebagai sosok cendekiawan ikut memberi nuansa dalam gaya kepemimpinannya.

Era kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif (1998–2005) merefleksikan keinginan kuat untuk mempertahankan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bercorak sosial keagamaan dan berwatak inklusif. Pembawaan Buya yang dingin dan intelektualis, lebih sering menyuarakan gagasannya melalui tulisan ketimbang perkataan, seolah menjadi obor bagi persyarikatan dan bangsa Indonesia yang tengah mengalami kegalauan akibat euforia kebebasan.

Di dalam tubuh persyarikatan sendiri muncul keinginan kuat dari sebagian elite agar Muhammadiyah melibatkan diri dalam kancah politik praktis. Bukan hanya itu, infiltrasi ideologi Islam lain semakin terasa hentakannya. Dalam situasi demikian, ada keinginan kuat dari ormas dan partai Islam untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta dan melakukan daya upaya untuk memformalkan syariat Islam. Naluri politik kebangsaan Muhammadiyah muncul, Buya Syafii termasuk berada di barisan depan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Terakhir, periode kepemimpinan Din Syamsuddin (2005–2010) yang masih berlangsung agaknya sulit ditebak. Namun, dari rekam jejaknya selama lima tahun terakhir sketsanya agak cukup jelas. Dari segi pola kepemimpinan, Din Syamsuddin lebih dekat dengan gaya Amien Rais (saat memimpin persyarikatan), yaitu bersikap lugas dan berani bersuara kritiskonstruktif secara terbuka kepada pemerintah.

Dengan gaya kepemimpinan seperti itu, maka Muhammadiyah seolah-olah menjadi kekuatan oposisi sehingga mengalami kesulitan untuk berdialog dan melakukan lobi kepada pemerintah melalui cara-cara konvensional. Di tengah kebuntuan komunikasi itu, pengalokasian nilai atau aspirasi politik dilakukan dengan jalan berbeda. Sebagai contoh, barangkali dapat kita saksikan saat “Gerakan Indonesia Bersih” melakukan konsolidasi di gedung dakwah Muhammadiyah sebelum terjun di lapangan. Cara ini nampaknya sebuah tradisi baru dalam Muhammadiyah.

Mengefektifkan Praktik Politik Alokatif

Berdasarkan paparan artikulasi politik alokatif tersebut di atas, ditemukan beragam bentuk pola kepemimpinan dan itu amat bergantung pada gaya yang melekat pada diri ketua/ketua umum. Berbeda dengan indikator keberhasilan partai politik yang bisa dilihat secara kasatmata, yaitu seberapa banyak wakilnya yang menduduki kursi di lembaga eksekutif dan legislatif. Ukuran keberhasilan politik alokatif agak sulit diukur karena berkaitan dengan pengalokasian nilai atau moral, yaitu seberapa jauh kepentingannya terakomodasikan dalam proses pengambilan keputusan politik (M Rusli Karim,1992).

Muhammadiyah akan efektif mengartikulasikan kepentingannya dalam proses pengambilan sikap politik apabila mampu merealisasikan fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Kemampuan persyarikatan dalam menangani masalah intern dan ekstern; (2) Pengalaman sejarah masa lalu; (3) Tersedianya pemimpin yang memiliki kemampuan bernegosiasi dan beradaptasi dengan pihak luar; (4) Adanya program yang realistis dan jelas arah/sasarannya yang relevan dengan tuntutan masyarakat; (5) Kepemimpinan yang solid/kompak dan fleksibel; (6) Kemampuan melakukan antisipasi terhadap tren perkembangan politik, ekonomi, dan sosial budaya; (7) Dukungan dari anggota dan suprastruktur politik (M.Rusli Karim,1992).

Untuk menjalankan fungsi tersebut secara optimal, tidak ada pilihan lain, pertama-tama Muhammadiyah harus mempunyai “dapur pemikiran” yang bertugas memberi masukan dan memasok data-data faktual yang sedang menjadi tren global. Sumber daya manusia di perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) bisa memerankan tugas tersebut. Dengan cara demikian, akan menambah rasa percaya diri pimpinan Muhammadiyah dalam bernegosiasi.

Pada saat bersamaan, para pengambil keputusan politik juga akan lebih mempercayai aspirasi yang ditawarkan Muhammadiyah karena didukung dengan data yang akurat dan faktual. Kedua, mengingat proses desentralisasi kekuasaan semakin nyata, kepala daerah memiliki otoritas kekuasaan yang jauh lebih besar dari pada pemerintah pusat, maka Muhammadiyah tidak bisa lagi mengandalkan kekuatan diplomasi hanya di tingkat Pimpinan Pusat (PP).

Muhammadiyah harus mampu menyiapkan kader-kader di tingkat daerah (lokal) yang handal untuk berkomunikasi dan berdialog secara langsung dengan pemegang kekuasaan daerah setempat. Hal ini bisa dilakukan dengan jalan merintis “sekolah kepemimpinan” ataupun “kursus pengaderan politik” yang materinya berkaitan dengan persoalan tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa untuk mengefektifkan peran politik alokatif Muhammadiyah di masa depan kebutuhan terhadap “dapur pemikiran” sebagai pemasok ide dan “kursus kepemimpinan” sebagai produsen pemimpin yang tangguh berdiplomasi tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Dengan kata lain, Muhammadiyah sudah tidak bisa lagi mengandalkan pada ketokohan ketua/ketua umum melalui “one man show” dalam melakukan lobbying, tetapi harus mengedepankan rancangan atau desain yang matang sehingga kekuatan kolektif yang lebih menonjol. Dengan cara demikian, maka siapa pun ketua/ketua umumnya harus menyesuaikan diri kebutuhan Muhammadiyah, bukan Muhammadiyah terbawa larut ataupun menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan ketua/ketua umumnya. Nashrun minallah, wafathun karim.(*)

Marpuji Ali
Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah

opini okezone.com 03 mei 2010