03 Mei 2010

» Home » Kompas » Sisi Lain Pencabutan UU BHP

Sisi Lain Pencabutan UU BHP

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat amat layak diapresiasi!
Sayangnya, dasar pertimbangan putusan tersebut tidak menyangkut substansi pendanaan dalam Pasal 53 Ayat 1 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana didalilkan para pemohon judicial review.
Bertentangan dengan argumen para pemohon, Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat Pasal 53 Ayat 1 UU Sisdiknas, yang menjadi dasar yuridis perumusan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), tidak menunjukkan hilangnya kewajiban negara terhadap warga negara di bidang pendidikan.
Pasal itu juga tidak mempersulit akses masyarakat terhadap pendidikan ataupun menjadikan pendidikan mahal (Putusan MK Nomor 11-14-21- 126-136/PUU- VII/2009, hlm 399).
Menurut MK, dalam Pasal 53 Ayat 1 UU Sisdiknas, istilah ”badan hukum pendidikan” menunjuk pada fungsi penyelenggara pendidikan. Namun, dalam UU BHP, istilah tersebut diterjemahkan sebagai nama dan bentuk dari lembaga pengelola pendidikan (hlm 400).
Akibatnya, UU BHP tidak sesuai amanat UU Sisdiknas. UU BHP berpotensi menyeragamkan aneka bentuk lembaga penyelenggara pendidikan, seperti yayasan, perkumpulan, dan perserikatan.
Hal itu bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 tentang hak berserikat dan berkumpul. Juga Pasal 31, yang tidak mengenal penyeragaman bentuk lembaga penyelenggara pendidikan.


Jadi, pertimbangan MK dalam menyatakan UU BHP tidak berkekuatan hukum mengikat adalah teknis kebahasaan. Bukan soal-soal pendanaan, hak rakyat ataupun kewajiban negara dalam pendidikan, seperti sering dikhawatirkan atas UU BHP. MK sendiri mengakui bahwa tidak semua prinsip BHP bertentangan dengan UUD 1945 (hlm 398).
Karena itu, putusan MK tidak menjamin terurainya benang kusut aneka persoalan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya terkait pendanaan dan pemerataan akses.
Keindonesiaan
Meski demikian, putusan MK layak diapresiasi sebagai ajakan untuk memperbaiki hubungan warga dan negara, yang belakangan ini tercabik-cabik akibat aneka kebijakan dan praktik pendidikan yang eksklusif.
Satu hikmah krusial dari amar putusan setebal 403 halaman itu adalah pentingnya mengembalikan semangat dan platform keindonesiaan dalam aneka kebijakan pendidikan.
Dengan semangat keindonesiaan, pendidikan harus mewadahi fakta kemajemukan dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Dalam kasus UU BHP berarti kemajemukan bentuk-bentuk lembaga penyelenggara pendidikan.
Selain itu, pendidikan sebagai hak asasi dijamin pemenuhannya oleh negara. Ini keharusan logis dari kemerdekaan politik. Negara Indonesia menggariskan pendidikan sebagai salah satu pilar utama kemerdekaan, yakni merdeka dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan.
Sementara itu, dengan platform keindonesiaan berarti pendidikan tidak diselenggarakan demi pendidikan itu sendiri. Pendidikan Indonesia harus menumbuhkan dan menguatkan jati diri keindonesiaan pada setiap warga negara.
Artinya, atas dasar semangat kemajemukan dalam berbagai hal, dicita-citakan suatu karakter keindonesiaan yang sama. Pendidikan adalah medium untuk itu.
Pada tahun 1950-an, kegelisahan tentang semangat dan platform keindonesiaan dalam pendidikan mengerucut pada solusi filosofis: bersatu dan berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Bersatu artinya negara menjamin pendidikan bagi semua warganya. Pemenuhan jaminan pendidikan oleh negara adalah keharusan konstitusional dan asasi. Dengan itu, persatuan disemaikan di antara seluruh warga dengan negara sebagai tiangnya.
Di sisi lain, melalui pendidikan, warga harus memupuk kemampuan berdikari. Pendidikan bukan hanya bertujuan menumbuhkan kemandirian individu anak didik. Pendidikan juga harus diselenggarakan dengan semangat berdikari.
Sudah seimbang
Putusan MK sudah menguraikan aspek-aspek tersebut secara seimbang.
Ditegaskan, negara (pemerintah) harus melindungi hak hidup warga, di antaranya bertanggung jawab atas pendidikan bagi warga. Namun, setiap warga negara juga harus ikut memikul tanggung jawab terhadap dirinya untuk mencapai kualitas yang diinginkan (hlm 377).
Menurut MK, misi negara Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa tidak identik dengan ditanggungnya seluruh biaya pendidikan oleh negara (hlm 378). Peran serta dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan harus didorong demi kemerdekaan sejati.
Di sini, MK mengingatkan bahaya etatisme di satu sisi dan filantropisme di sisi lain. MK mencegah besarnya campur tangan negara dalam penyelenggaraan pendidikan. Di sisi lain, MK juga mengkhawatirkan suburnya mentalitas ketergan- tungan dan meminta-minta.
Kualitas putusan MK terletak pada pertimbangan-pertimbangan yang seimbang hak/kewajiban warga dan negara dalam pendidikan.
Emoh rakyat vs emoh negara
Pendidikan nasional selama ini menjadi ruwet karena kita menerapkan cara pandang ekstrem yang saling meniadakan terhadap persoalan-persoalan pendidikan. Kita selalu bersikap dikotomis either yes or no, either this or that. Seolah-olah tidak ada jalan tengah.
Kementerian Pendidikan dan unsur-unsurnya sudah lama terjebak aneka kebijakan pendidikan yang emoh alias tidak berpihak kepada rakyat. UU BHP dan kebijakan ujian nasional adalah dua contoh mutakhir.
Di sisi lain, respons publik tak kalah ekstrem dengan bersikap emoh negara. Apa pun kebijakan Kementerian Pendidikan dianggap salah seutuhnya, bahkan sebelum orang benar-benar memahami isi kebijakan tersebut.
Dengan memanfaatkan momentum putusan MK, kita perlu mengubah cara pandang atas aneka persoalan pendidikan. Kita harus membiasakan perdebatan tentang pendidikan bertolak dari substansi permasalahan dengan tidak berwacana tanpa data.
Hanya dengan meletakkan hubungan warga dan negara secara proporsional, kita dapat memperbaiki pendidikan kita. Secara khusus, sebelum mengajukan usulan UU BHP yang baru, seperti dinyatakan salah satu anggota DPR, lebih baik pemerintah dan parlemen meninjau secara menyeluruh UU Sisdiknas.
Putusan MK telah mengoreksi sejumlah pasal UU Sisdiknas, khususnya menyangkut pendanaan. Sementara itu, Mahkamah Agung dalam putusan kasasi gugatan ujian nasional tahun lalu juga memerintahkan peninjauan UU Sisdiknas.
Artinya, UU Sisdiknas memang perlu ditinjau kembali secara menyeluruh. Mungkin produk hukum inilah sumber segala kekacauan kebijakan pendidikan kita selama ini.
Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM

Opini Kompas 4 Mei 2010