03 Mei 2010

» Home » Media Indonesia » UN, Pemiskinan, dan Transformasi Pendidikan

UN, Pemiskinan, dan Transformasi Pendidikan

UJIAN NASIONAL bagi 10.297.816 siswa SMP/MTs dan SMA/MA/SMK peserta UN 2010 di banyak daerah adalah ajang pembuktian prestasi agar memiliki tiket masuk perguruan tinggi. Namun, tidak demikian dengan beberapa daerah miskin yang hampir setiap tahun menempati posisi yang sama. Daerah itu antara lain Provinsi Babel, NTB, NTT, Sulteng, Gorontalo, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. NTT dan NTB termasuk yang paling parah, bahkan tidak mengalami kenaikan rating setidaknya untuk tiga tahun terakhir. Provinsi NTT, misalnya, hasil UN hampir semua mata pelajaran mendapat nilai terendah. Pada 2009 ada 41 SMA di NTT lulus 100%, tetapi pada 2010 hanya 9 SMA yang lulus 100%, yang didominasi sekolah swasta yang dikelola gereja Katolik dan Protestan (Media Indonesia, 27/4/2010). Malah, sekitar 100 orang siswa dari Kupang, yang sudah lolos seleksi penelusuran minat dan kemampuan (PMDK), ditolak masuk perguruan tinggi karena gagal UN (Media Indonesia, 28/4/2010).

Mendiknas bertekad pada 2010 mengerahkan sumber daya pendidikan ke provinsi kepulauan itu. Tentu saja masyarakat NTT dan Indonesia akan menyambut gembira tekad Pak Menteri. Persoalannya, "Apa benar sumber daya pemangku kepentingan pendidikan NTT atau daerah miskin lain rendah, atau ada yang salah dalam politik pendidikan kita?" Penulis mengangkat NTT sekadar contoh bagi daerah-daerah miskin di Indonesia.

Pemiskinan
NTT sudah bosan dengan gelar provinsi termiskin. Bukan karena gengsi, melainkan paradigma kebijakan yang salah, termasuk pendidikan. Maka, kemiskinan lebih tepat disebutkan 'pemiskinan'. Data-data berikut diolah dari masukan Gubernur NTT Frans Leburaya tahun 2008 di hadapan rakyat NTT di Jakarta. Data itu pasti sudah berubah, tapi tidak signifikan. Indeks pembangunan manusia NTT 62,7 (2004) dan 63,6 (2005). Angka buta huruf usia 10-45 tahun sebanyak 370.710 jiwa (2005) dan 358.660 jiwa (2006). Pertumbuhan ekonomi belum stabil, yakni 4,57% (2003), 4,77% (2004) dan turun lagi menjadi 3,10% (2006).
Rata-rata pendapatan per kapita penduduk NTT ialah Rp2.626.180 (2003), Rp2.923.409 (2004), dan Rp3.235.699 (2005). Sampai 2007/2008, disparitas pendapatan per kapita antarkabupaten dan kota cukup jauh, tertinggi Rp5,1 juta, sedangkan terendah Rp1,7 juta. Jumlah penduduk miskin mencapai 1,16 juta orang; 41,8% rumah tangga NTT memiliki rata-rata pengeluaran di bawah Rp200 ribu/bln. Masyarakat NTT adalah masyarakat agraris dengan komoditas tanaman pangan teratas (padi, jagung, kacang-kacangan, dan ubi-ubian), selain komoditas untuk ekspor. Padahal, sebagai basis ekonomi, NTT terdiri dari potensi lahan basah sebanyak 127.271 ha dan lahan kering 1.528.308 ha.
Menurut Leburaya, indikator pembangunan kesejahteraan sosial belum mencapai standar nasional karena berbagai permasalahan, antara lain, terbatasnya anggaran pembangunan, budaya masyarakat yang konsumtif, terbatasnya sumber daya alam dan kualitas SDM, dampak bencana banjir, tanah longsor, serta dampak eks pengungsi Timor Timur. Persoalannya, apa dampaknya terhadap pendidikan?

Derita pendidikan
Pemiskinan ekonomi, kesehatan, dan lainnya berpengaruh langsung pada tingkat kecerdasan bahkan akses pendidikan berkualitas. Derita pendidikan daerah miskin seperti NTT, NTB, Papua, Malut, Babel, dan Sulteng akibat masih rendahnya political will pemerintah terhadap pendidikan daerah. Sarana-prasarana pendidikan, ketersediaan dan pemerataan guru, tenaga kependidikan, dan kurikulum yang sering berganti antara lain sebagai penyebabnya.
Warga NTT bertanya, mengapa era 50-an, yang sarana pendidikan sangat minim, justru menghasilkan putra NTT di pentas nasional, baik pemerintahan, akademisi, maupun tokoh pers? Sebut saja Frans Seda, Adrianus Mooy, Ben Mangreng Say, Ben Mboi, WZ Johannes (mantan rektor UGM). Sebab, ada sejumlah indikator menunjukkan masifnya ketertinggalan pendidikan di NTT sekarang. Misalnya, ada 6 kabupaten memiliki rata-rata lama sekolah di bawah 6 tahun; 4 kabupaten di antaranya memiliki penduduk buta huruf di atas 15%. Sementara 70% angkatan kerja berpendidikan SD ke bawah. APM (Angka partisipasi murni) jenjang pendidikan menengah rendah ialah SMP 69% dan SMA 48%. Rasio murid/sekolah yaitu SD=165; SMP=240; SMA=379. Tingkat kelulusan SMP dan SMA turun menjadi 64% pada tahun ajaran 2006/2007.
Jika 70% angkatan kerja tidak tamat SD, mereka hanya menjadi pekerja kasar, bahkan kuli, di tanah mereka. Kuli di proyek penambangan, kuli pelabuhan, atau office boy di kantor pemerintah. Bukan karena mereka bodoh, bukan karena mereka malas, melainkan ketidakadilan dan diskriminasi dalam perluasan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu, dan tata kelola.
Program Depdiknas seperti tivi edukasi, jardiknas kerja sama televisi lokal, book e-library, apalagi internet, hanya menambah deret masyarakat tertindas oleh pendidikan. Mengapa tidak mengembangkan pendidikan keunggulan lokal. SMK unggulan bahasa sangat tepat untuk NTT (jurnalisme, grafika, terjemahan), olahragawan, pertanian, kelautan, peternakan dan pariwisata?

Transformasi
Putusan Mahkamah Agung November 2008 harus serius diperhatikan mendiknas. MA memerintahkan penyelenggara pendidikan agar melaksanakan kewajiban mendahulukan peningkatan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi pendidikan yang lengkap ke seluruh Tanah Air sebelum mengeluarkan kebijakan UN.
Transformasi pendidikan itu bukan hanya konten, melainkan juga pendidikan nilai. Secara psikososial, rakyat miskin tidak berubah atas cara sentralisme pendidikan, tetapi partisipatoris dan dialogis. KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) adalah entry point perubahan partisipatif dan dialogis itu.
Transformasi pendidikan harus berangkat dari filosofi pendidikan yang humaniter, inklusif, pendidikan pemanusiaan berbasis iptek, dan kebutuhan lokal yang berdaya saing nasional bahkan global. Pendidikan kerakyatan harus dimulai dari 'roh' pendidikan yang memerdekakan, berkepribadian utuh, dan jujur.

Oleh Ansel Alaman, Pengajar Character Building Unika Atma Jaya dan Binus Jakarta
opini media indonesia