03 Mei 2010

» Home » Solo Pos » Komisi 4, KPK dan kutukan korupsi...

Komisi 4, KPK dan kutukan korupsi...

Tak tahu pasti, mulai kapan korupsi disebut sebagai kutukan...Kenyataannya, selalu berulang.

Hasil korupsi menjadi sumber iri, saat orang lain melakukan, dan tak malu mengulanginya, saat dapat kesempatan...

Kegalauan akan dampak korupsi pun mengusik. Dimulai dengan Komisi 4, pemerintah Orde Baru menjajal menangkal korupsi—suatu yang sudah biasa di negeri ini.

“Komisi 4 itu dirancang jadi mesin pemberantasan korupsi,”kata Mardjono Reksodipuro, Sekretaris Komisi Hukum Nasional (KHN) dalam satu seminar di Jakarta...

Gerakan antikorupsi agak berani bergerak, setelah manuver bawah tanah mengritik tikus-tikus di birokrasi dan usaha milik negara, marak..

Dasar hukum pembentukannya? UU No 24/1960—yang menjadi UU Anti Korupsi pertama di negeri ini. UU ini dirancang menggantikan Peraturan Penguasa Militer No PRT/PM/06/1957. “Kesadaran akan bahayanya korupsi sudah muncul,” kata Mardjono lagi.

Betapa sekitar 1970-an, setelah Orde Baru berkuasa, mulai bergejala ritual massal, bahwa setiap bantuan negara bisa disunat. Praktik ini terjadi di mana saja. Elemen kritis mengeluhkannya, tapi tak ada langkah konkret mampu menghentikannya...



***



Semua berlangsung biasa...Ada bantuan lagi, sunat sana-potong sini lagi, berulang kali. Hingga rakyat yang mestinya ikut menikmati utuh, justru tinggal sekadar melihat ampas-ampasnya. Situasi semacam ini dijadikan bahan guyon: “Semua akan dituntaskan di jalur birokrasinya.” Meninggalkan ampas-ampasnya bagi rakyat...

Keyakinan akan pentingnya pembentukan lembaga pelaksana antikorupsi kian menguat saat Singapura membentuk Corrupt Practices Investigation Bureau pada tahun 1968...Negeri kecil ini memberikan inspirasi kepada negara di sekitarnya. Gerakan untuk membangun pemerintahan bersih—bukan hanya lingkungan fisik negaranya, kian merasuki kaum idealis di pelbagai negara.

Tak terbendung dampak inspirasinya. Kemudian, 15 Februari 1974, Hong Kong membentuk lembaga independen, Independent Commision Against Corruption (ICAC).



***



Saat itu, melalui Keppres No13/1970, orang-orang bersih dan berintegritas tinggi dari pelbagai latar belakang mengisi posisi di Komisi 4, seperti Muhammad Hatta sebagai Ketua, dengan anggota Wilopo SH, IJ Kasino, Prof Ir Johannes dan Anwar Tjokroaminoto.

Semuanya memikirkan tentang nasib bangsa—bukan kelompok atau golongannya. Semua bergerak atas nama negara, bukan demi citra identitas diri, apalagi demi atribut religi...

Melalui lembaga itu, penyelesaian kasus korupsi, yang nota bene banyak berlangsung di kalangan birokrat—-diharapkan bisa diselesaikan secara adil dan independen. Sejak 40 tahun yang lalu, masalah independensi pemberantasan korupsi sudah diperlukan.



***



Rikuh dan ewuh pakewuh, menjadikan lembaga penegak hukum, seperti tak berdaya mengatasi para koleganya. Hukum yang bagus-bagus dan memiliki dampak jerat pun seperti luruh—tanpa tenaga, dan hanya menjadi kitab tanpa tuah...

Paling-paling hanya akan menjadi teriakan: “Brak! Aduh...,” jika kitab itu dilemparkan kepada para koruptor. Siapa berani melakukannya, jika semua itu para petinggi, yang selalu disebutkan dalam ucapan sebagai yang terhormat dalam pidato paling awal...Justru sebaliknya, malah belakangan dalam sidang pengadilan, terjadi koruptor melempar sepatu kepada hakim yang korup.

Dan kalangan warga pun menimpalinya,”Itu baru jeruk dilempar jeruk...”, dan hukum pun membusuk!

Kemudian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menyebabkan lembaga penegak hukum tradisional, polisi dan jaksa, kehilangan otoritasnya...Karena kewenangannya luar biasa dan bikin iri, KPK pun digoyang, entah siapa yang menjadi “otaknya”, tapi hampir dipastikan ada aib besar yang ingin ditutup di balik tirai...

Mulai Ketuanya, Antasari, yang tiba-tiba kena musibah, atau “dibikinkan” musibah yang mengantarnya masuk penjara. Kemudian, anggota KPK lainnya, Candra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto diganggu dengan tudingan terima suap—yang menggoyahkan kekukuhan KPK.



***



Apalagi, kemudian, Candra dan Bibit kembali dipecundangi, oleh Anggodo, tersangka kasus penyuapan, KPK entah bagaimana nanti nasibnya. Dan, kemudian KPK kembali kalah lagi, saat mesti memeriksa Wakil Presiden Boediono. Aparat KPK mendatangi kantor Wapres dan Menkeu Sri Mulyani di kantornya—hingga akhirnya hukum Indonesia jelas sangat memperhatikan bulu.

Istilah hukum tanpa pandang bulu, silakan disimpan dulu. Terminologi kesamaan di mata hukum (equality before the law), jangan diucapkan dulu.

Langsung saja, seorang mantan pencopet di Solo pun berani bilang,”Nanti setiap orang bisa minta KPK sesuai kemauannya. Bupati minta diperiksa di kantornya. Anggota DPR diperiksa di Gedung DPR...”

Itu keren, katanya. Seorang germo besar yang menerima dana entertaintment berbasis uang negara yang bermasalah, saat dikasuskan bisa saja menyeletuk “Bagaimana jika diperiksa di penampungan saya saja...”.

Apakah Komisi 4 sampai KPK akan kembali takluk kepada kekuasaan—sekaligus mengingkari pesan Preambul UUD 1945, bahwa negeri ini berdasarkan hukum (rechstaat), bukan machstaat...

Siapa lagi yang bakal kena kutukan? Atau malahan orang bakal ramai-ramai menjadi si terkutuk? Silakan dicari di mana lucunya? - Oleh : 


Opini SoloPos 3 Mei 2010