SETIAP orang pasti menginginkan sukses dalam hidupnya. Hanya saja,  setiap orang memiliki keinginan dan ukuran berbeda-beda mengenai sebuah  sukses.
Yang sering menjadi ukuran sukses biasanya merujuk pada  titel kesarjanaan, jabatan tinggi, dan kekayaan melimpah. Satu pelajaran  penting yang pantas kita renungkan adalah setiap sukses itu mengandung  risiko dan jebakan. Semakin tinggi jabatan seseorang dan semakin  melimpah kekayaannya, derajat risikonya juga semakin besar.
Berbagai  kasus mantan bupati, anggota DPR, gubernur, dan menteri yang sekarang  masuk penjara setelah usai menjabat karena terbukti korupsi adalah  contoh nyata risiko dan kegagalan dari sebuah sukses. Mereka sukses  ketika berjuang dan merangkak menapaki tangga sukses setapak demi  setapak, tapi ternyata gagal menjaga momentum dan prestasi yang telah  diraih.
Banyak orang yang tahan menderita, tetapi tidak tahan  ketika sudah berhasil menjadi kaya raya. Saya sering melihat beberapa  orang ternama yang sewaktu mahasiswa menderita, tetapi setelah sukses  secara materi lalu berubah drastis perilakunya. Mereka dendam dengan  masa lalunya. Alih-alih bersyukur, mereka bertingkah dan hidup  berfoya-foya untuk membalas derita masa lalunya. Sukses model seperti  ini adalah sukses semu dan sifatnya hanya sesaat.
Sebuah nasihat  lama mengatakan, kegagalan adalah guru yang mengajarkan kedewasaan  hidup, sehingga dengan demikian secara potensial kegagalan menjanjikan  sukses di hari esok. Nasihat ini sesungguhnya mempunyai pesan ganda.  Pesan lainnya ialah bahwa di balik kesuksesan selalu menyimpan potensi  kegagalan. Ibarat orang memanjat pohon, semakin tinggi memanjat, semakin  kencang tiupan angin dan semakin tinggi jarak untuk turun atau  kemungkinan jatuhnya.
Nasihat serupa datang dari kearifan China,  yin-yang, bahwa gerak kehidupan itu tidak selalu bergerak maju, tapi  bagaikan putaran bola yang menggulir ke berbagai penjuru. Di sini  yin-yang mengajak kita untuk melihat persoalan hidup secara dialektis  dan komprehensif, bukannya linier-parsialistik. Sebuah penelitian sosial  di Amerika Serikat (AS) menyebutkan, kehidupan yang serbalinier, mewah,  dan selalu memperoleh proteksi dari orang tua ternyata bukannya  meningkatkan kualitas hidup remaja, tapi malah merusak mental dan moral  mereka.
Berbeda dari generasi orang tuanya yang penuh semangat  juang, generasi muda AS yang dimanjakan oleh kemewahan materi sangat  rendah rasa tanggung jawab sosialnya. Jadi, implikasi sosial dari  pembangunan yang terlalu memihak pada peningkatan GNP tapi kurang  memperhatikan prinsip-prinsip moralitas seperti keadilan, kejujuran,  demokrasi, dan hak asasi manusia sama halnya dengan mendirikan tiang  bangunan yang tinggi, tapi melupakan fondasinya.
Sudah bisa  diduga maka bangunan tadi sangat rawan guncangan dan tidak tahan lama.  Sejarah banyak merekam cerita sukses yang bersifat sementara dan semu  ini. Perasaan sukses yang ternyata mengantarkan malapetaka ini pernah  juga dialami oleh para ilmuwan. Ketika awal mula bom atom ditemukan,  masyarakat ilmuwan bersorak kegirangan karena sukses yang mereka raih.
Tapi  kebanggaan tadi luluh lantak menjadi ratapan dan duka sejarah yang amat  dalam ketika akhirnya Hiroshima dan Nagasaki hangus olehnya. Di sini  kita menemukan paradoks-paradoks kebudayaan. Bisa jadi kita kagum  terhadap kemegahan bangunan Taj Mahal di India. Tetapi, akal kritis akan  bertanya, berapa uang rakyat dikuras hanya untuk memenuhi ambisi sang  raja? Berapa ribu korban jiwa ketika bangunan piramid di Mesir itu  dibangun?
Benarkah Borobudur yang megah itu dibangun secara suka  rela oleh rakyat? Pertanyaan-pertanyaan senada tentu saja bisa  diperpanjang. Di situ ternyata apa yang oleh penguasa disebut sebagai  sukses, bagi masyarakat mungkin dilihat sebaliknya. Seorang camat,  misalnya, bisa jadi merasa gembira dan sukses ketika meresmikan sebuah  jalan aspal yang menghubungkan kota dan desa.
Tetapi pernahkah  pak camat melakukan penelitian secara serius, adakah jalan tadi  benar-benar berfungsi meningkatkan ekonomi orang desa ataukah malah  sebaliknya, yaitu memperlicin dominasi tengkulak kota atas petani desa?  Dengan menyimak kembali lembaran sejarah politik dan kekuasaan, apa yang  disebut kemenangan dan kesuksesan rezim penguasa tidak selalu identik  dengan kemenangan akal sehat dan nurani rakyat.
Bagaikan gerak  dalam fisika kuantum, gerak pendulum kehidupan tidaklah selalu bersifat  teleologis dan deterministis. Hanya mereka yang bisa menghindari sindrom  “posisi puncak” yang tak akan pernah jatuh, sebagaimana juga mereka  yang bisa mengelak dari jeratan ”posisi bawah” maka tidak akan pernah  khawatir terinjak. Dalam hal ini perjalanan hidup Rasulullah Muhammad  menarik sekali dijadikan teladan.
Dia pernah dalam posisi yang  amat menderita, dikejar-kejar dan disayembarakan hendak dibunuh, namun  pernah juga sebagai raja diraja yang amat sukses disegani kawan dan  lawan. Meski pendulum hidup Nabi berayun dari kutub ekstrem yang satu ke  kutub ekstrem sebaliknya, pribadi dan perilakunya tidak berubah, selalu  berada di titik tengah, pada garis moderat.(*)
PROF DR  KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah 
opini okezone.com 03 mei 2010
03 Mei 2010
Jebakan Sebuah Sukses
Thank You!