03 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Melindungi ''Peniup Peluit''

Melindungi ''Peniup Peluit''

SEJAK kemunculannya yang kontroversial dalam sidang Komisi III DPR pada 18 November 2009, nama Susno Duadji seakan tak pernah habis untuk terus dibicarakan. Dianggap sebagai orang yang ada di balik kriminalisasi pimpinan KPK yang populer dengan istilah ”cicak vs buaya”,  Susno dulu menjadi cemoohan khalayak ramai.  Namun citranya sebagai orang terpojok ini pelan-pelan berubah dan berbalik menangguk simpati masyarakat.

Berawal pada 7 Januari 2010 ketika ia tampil sebagai saksi di persidangan Antasari Azhar, kemudian kehadirannya pada 20 Januari 2010 di ruang rapat gedung DPR-Pansus Bank Century untuk memberi keterangan dalam kaitannya dengan kasus bank bermasalah itu, secara perlahan Susno berhasil mengubah persepsi masyarakat tentang dirinya.


Apalagi ketika kemudian ia melempar sejumlah nama, berkaitan dengan mafia pajak bernilai puluhan miliar rupiah. Publik pun seakan-akan tersadar dengan apa yang telah dilakukan Susno. Puncaknya, ketika sejumlah aktivis menganugerahinya penghargaan sebagai whistle blower atau ”peniup peluit”. Pertanyaannya, benarkah Susno Duadji seorang whistle blower?

Menurut Quentin Dempster, orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi, disebut sebagai whistle blower (peniup peluit). Diibaratkan seperti wasit dalam sebuah pertandingan olahraga yang meniup peluit setiap kali mengetahui terjadinya suatu pelanggaran, atau seperti pengintai dalam peperangan zaman dulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul. Whistle blower inilah orang yang dianggap sebagai pengungkap fakta.

Sesungguhnya setiap orang yang memiliki rasa tanggung jawab dapat menjadi pengungkap fakta. Namun bukan keputusan yang mudah untuk itu karena seringkali mereka harus menghadapi dilema moral dan etika yang tidak ringan. Dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk memutuskan, membela ”kekuasaan” yang diketahuinya sering menutup- nutupi kebenaran yang sesungguhnya; ataukah keluar dari lingkaran itu dan melawan ketidakbenaran dengan mengungkapkan fakta yang sesungguhnya terjadi.

Setiap pengungkap fakta mestinya sadar akan risiko pribadi dan konsekuensi yang mesti dihadapinya karena sudah ‘’melawan’’ pihak yang berwenang yang dapat dianggap sebagai sikap tidak setia atau tidak loyal. Alih-alih kejujuran yang ditunjukkannya itu akan mendapat perhatian positif dari pihak yang berwenang, seringkali mereka justru mendapat perlakuan yang meruntuhkan rasa percaya dirinya, bahkan tak jarang juga mengalami pelecehan, intimidasi, dan  direndahkan secara terang-terangan.

Itulah yang dialami oleh Susno. Jenderal berbintang tiga itu pun terpaksa harus menerima kenyataan untuk dinonjobkan sebagai dampak atas sikapnya selama ini. Berbagai perlakuan tidak menyenangkan pun dialaminya, dari larangan bertemu awak media hingga penangkapannya di Bandara  Soekarno-Hatta ketika hendak terbang ke Singapura. Menjadi korbankah Susno?

Sejumlah Contoh

Menjadi pengungkap fakta adalah sebuah pilihan untuk membela hak dan mendapatkan kebenaran dari sebuah keadaan di mana mereka harus melawan kekuatan yang terkadang sangat luas. Dia bukan korban atau pecundang, melainkan seorang ‘’pemenang’’ karena sesungguhnya pengungkap fakta adalah agen perubahan dan menjadi kekuatan yang positif dan membangun. Keberanian moral yang ditunjukkan para pengungkap fakta telah mengangkat keberadaan mereka.

Beberapa contoh populer sebagaimana dikemukakan oleh John McMillan adalah Clive Pointing, seorang pegawai negeri di Inggris yang memberikan informasi kepada pihak oposisi di Parlemen yang menunjukkan bahwa pemerintah telah menyesatkan Parlemen mengenai tenggelamnya kapal Argentina (General Belgrano); Ernest Fitzgerald, pegawai Departemen Pertahanan AS yang memberikan kesaksian pada Komite Kongres AS mengenai penggelapan biaya sebesar 2 miliar dolar AS pada pesawat transport Lockheed C54; atau Philip Arantz di Australia yang dicopot dari kepolisian New South Wales setelah membeberkan ketidaktepatan dalam statistik pemerintah yang dipublikasikan mengenai keberhasilan penanganan kejahatan.

Kendati diakui bahwa proses pengungkapan fakta merupakan hal yang sangat ditakuti karena bahayanya, apalagi bila mereka memanfaatkan media untuk menyuarakan nuraninya, di sisi lain akibat yang harus mereka tanggung pun tidak ringan. Sebagian besar dari mereka harus kehilangan pekerjaan atau diturunkan pangkatnya, sebagian lagi harus menghadapi tuntutan di depan pengadilan, bahkan ada di antara mereka yang dianggap tidak sehat jiwanya sehingga perlu mendapat rujukan psikiater/ medis. Bukan hal yang mudah bagi seorang pengungkap fakta untuk mendapatkan kembali posisinya. 

Akhirnya, seiring dengan meningkatnya kesadaran publik akan pentingnya kewajiban moral untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya berkaitan dengan berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, maka sudah saatnya dipikirkan adanya perlindungan bagi para pengungkap fakta (whistle blower). Idealnya memang dibutuhkan landasan normatif yang jelas untuk memayungi keberanian mereka mengungkapkan kebenaran. Namun bila hal tersebut belum tersedia, setidaknya ada jaminan dari pemerintah atau pihak yang berkompeten bahwa pengungkapan fakta yang dilakukan demi penegakan kebenaran tersebut tidak akan menghapus atau mengancam pemenuhan hak-hak yang dimiliki seorang whistle blower.

Dukungan moral dari keluarga dan lingkungan terdekat atau dari sesama whistle blower merupakan pendorong bagi seseorang untuk tidak ragu lagi mengungkapkan kebenaran. (10)

— Doktor Rahayu SH MH, dosen Fakultas Hukum Undip
Wacana Suara Merdeka 4 Mei 2010