26 Mei 2010

» Home » Media Indonesia » Perlawanan terhadap Neodinastiisme

Perlawanan terhadap Neodinastiisme

Memang aparat yang berwajib sudah mengamankan atau menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat aksi perusakan puluhan mobil dalam kasus pemilu kada Mojokerto. Namun, cukupkah dengan penangkapan itu, masalah aksi massa dituntaskan atau tak akan terulang di tempat lain? Benarkah berpuluh-puluh pemilu kada yang akan digelar di Indonesia pada 2010, selain di Mojokerto, tidak akan menghasilkan konflik yang berbuah radikalisme sosial atau praktik vandalisme?


Barangkali tidak akan ada satu orang pun yang berani menjamin atau menggaransi Pemilu Kada 2010 ini benar-benar akan menjadi pemilu kada yang steril dari kekerasan, termasuk aparat keamanan sekalipun. Pasalnya dalam bangunan pemilu kada ini, tersimpan 'tsunami politik' yang memungkinkan suatu ketika akan meledak dan membanjiri kehidupan masyarakat dan negara ini.

'Kekecewaan' merupakan kata yang tepat dialamatkan untuk menerjemahkan realitas pemilu kada yang menyimpan beragam bentuk penyimpangan moral, agama, dan tatanan berpolitik. Dalam pemilu kada, mulai dari saat penjaringan calon hingga pemilihan (pemungutan suara), sulit untuk tak dinodai berbagai bentuk praktik kecurangan, keculasan, nepotisme, diskriminasi, ketidaktransparanan, ketidakprofesionalan, dan peminggiran (pengebirian) norma-norma kebenaran.

Salah satu praktik anomali pemilu kada yang membuat masyarakat dikecewakan berat adalah praktik neodinastiisme atau dinasti gaya baru yang dibangun parpol atau pemain-pemain yang berkepentingan mendulang untung saat diselenggarakan pemilu kada. Dinasti gaya baru ini tidak selalu dari elemen keluarga sendiri, tetapi juga dari elemen lain yang disulap dan diberikan tempat sebagai bagian dari keluarga, yang karena daya tawarnya sangat tinggi atau menguntungkan, akhirnya elemen elite itu dijadikan sebagai kandidat pemimpin daerah.

Sebenarnya sudah lama 'orang asing' atau sosok yang semula tidak dikenal dalam salah satu partai tiba-tiba mendapatkan tempat dalam konvensi pemilihan kandidat pemimpin daerah, tetapi karena sang calon itu mempunyai akses kekuasaan dan dukungan uang berlimpah, akhirnya oleh pengurus partai atau 'broker' politik, kandidat itu diberi jalan masuk dan bahkan memenangi pertarungan dalam memperebutkan rekomendasi di pengurus pusat (parpol).

Memang sudah sering kandidat yang diajukan tidak satu, tetapi ada sejumlah kandidat lain. Akan tetapi, dengan dalih 'semua diserahkan' kepada pengurus pusat, elite parpol di daerah, yang menjadi penyelenggara pesta demokrasi, bisa berlindung secara politik atas terpilihnya kandidat tertentu.

Apologi politik yang digunakan penyelenggara atau pengurus parpol di daerah juga tidak lepas dari dua hal. Pertama, kemungkinan tidak terpilihnya kandidat dari pimpinan pusat yang sebenarnya kandidat itu mendapatkan dukungan publik atau mayoritas suara. Kedua, memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa sebenarnya pemilihan kandidat di tingkat internal saja sudah melalui jalan atau 'birokrasi' berlapis-lapis. Ketiga, lobi politik dengan kemampuan uang bisa membuat kondisi yang semula mission imposible menjadi mission possible.

Dalam ranah tersebut, penyelenggara parpol sebenarnya membuka ruang kerawanan terhadap timbulnya konflik dengan masyarakat (konstituen), pasalnya apologi politik yang dibangunnya itu, mengisyaratkan kalau jagat politik di negeri ini, khususnya di internal parpol, telah membudayakan pemanfaatan ruang liberal bagi siapa pun yang bersyahwat membeli rekomendasi atau membuat langkah spektakuler dan berani dengan membalik paradigma dari yang tidak mungkin menjadi serbamungkin.

Neodinastiisme yang semula dinilai kandidat sebagai komunitas yang tak mungkin mengakomodasinya bisa digiring dengan kekuatan akses politik dan kapabilitas ekonominya untuk menjadi kekuatan yang mendukung dan membesarkannya. Dari sisi historis yang semula nihilitas misalnya, akhirnya berhasil dihilangkannya dan digantikan dengan identitas sulapan bahwa ia pernah menjadi pengabdi dan pembesar partai akibat 'peran instannya' yang mampu merangkul berbagai elemen strategis parpol.

Dalam kasus tersebut, bukan hanya kaderisasi parpol yang sering kehilangan tempat untuk mengaktualisasikan diri dalam mengisi jabatan strategis, melainkan pendidikan politik internal parpol yang berbasis militansi ideologi juga sulit dipertahankan, apalagi dikembangkan. Elemen parpol yang merasa kalah bersaing dengan elite berduit dan kekuatan politik 'tangan-tangan gaib' (the invisible hands) akhirnya lebih memilih minggir atau menjadi kelompok garis keras yang terpaksa melakukan perlawanan, baik dengan cara bersikap kritis maupun membangun gerakan jalanan.

Goenawan Faroek (2009) mengingatkan bahwa akibat praktik yang menodai pemilu kada lewat berbagai bentuk perbuatan adigang-adigung, pola siluman dan sulapan dalam penentuan sosok kandidat pemimpin kelompok, politik dan kekuasaan atau pemenangan budaya anomali, akhirnya konstituen yang merasa praktik demikian tidak sepantasnya dibiarkan berlanjut dan mencengkeram demokrasi terdesak untuk menjatuhkan opsi dalam bentuk membangun gerakan radikalisme dan vandalisme.

Budaya anomali dalam perekrutan kandidat pemimpin daerah dalam internal parpol tidak bisa dianggap ringan. Pasalnya budaya 'cacat' demikian, tentulah tidak akan dibiarkan terus-menerus mencengkeram masyarakat, khususnya oleh kader-kader yang merasa hak demokratisasi dan progresivitasnya dihambat dan terancam mengalami kematian akibat dilindas praktik korporatisme politik atau neodinastiisme.

Neodinastiisme hanya akan membuat atmosfer kompetisi di internal parpol menjadi tidak sehat. Istilah 'pemberian kesempatan sama' dalam memenangi konvensi tetap sulit dimenangi kandidat yang miskin modal, meski dalam ranah historis parpol sudah terbilang kaya pengabdian. Sebab dalam neodinastiime ini, kemampuan lobi politik dengan kekuatan uang sudah sering terbukti lebih mujarab jika dibandingkan dengan sekadar bermodal sikap teguh atau militan pada parpol.

Komunitas kader militan merupakan kelompok strategis yang diharapkan tetap gigih melawan berbagai bentuk neodinastiime. Perlawanan yang sepatutnya digencarkan pada neodinastiime ini bukan dengan jalan menggelar radikalisme dan vandalisme. Pasalnya perlawanan demikian laksana menciptakan lawan baru yang berakar dari masyarakat, sedangkan masyarakat merupakan 'proyek fundamental' yang digunakan ajang menguji dan membesarkan parpolnya.

Selain itu, yang terpenting, perlawanan terhadap neodinastiime bukan ditahbiskan untuk mengikuti dan menghamba kepada syahwat merebut kekuasaan, melainkan demi tegaknya demokrasi dan aturan main yang berbasiskan kejujuran, transparansi, kebenaran, dan keadaban. Tanpa aturan main berbasis nilai adiluhung sejak di internal parpol hingga ke ranah pemilihan (gelar suksesi), berbagai bentuk praktik barbar di masyarakat sulit dicegah terjadinya.



Oleh Prof Dr Bashori Muchsin, MSi
Guru besar Universitas Islam Malang 

opini media indonesia 27 mei 2010