24 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Karya Mengalir Ciptaan Gesang

Karya Mengalir Ciptaan Gesang

MBAH Gesang, demikian kami, teman-teman  komunitas keroncong biasa memanggil, betul - betul “priayi” yang hidup dengan falsafah sangat sederhana: urip iki anut ilining banyu, hidup tidak perlu ngaya, semua dijalani sesuai dengan kersaning Gusti. Ini tercermin dari kesederhanaan lagu-lagu ciptaannya, baik syair maupun iramanya.

Segala penghargaan, gelar, dan empati yang ia terima dari masyarakat juga bukan ambisi atau tujuannya, bahkan setelah satu dan dua tanda penghargaan diterimanya, dia tetap bersikap biasa seperti sebelumnya, termasuk dalam penciptaan lagu.

Sesungguhnya, jika dihitung tidak begitu banyak lagu yang diciptakan. Tetapi hampir semuanya mengena di hati. Biasanya, karakter syair sesuai dengan jenjang umur penciptanya. Namun, dia bisa menulis lagu dan syair yang melewati usianya, bahkan melampaui masanya.


Contohnya, lagu yang menggambarkan putus cinta lewat langgam ’’Pamitan”, ditulisnya dalam usia cukup senja. Dia pun dapat menuangkan perasaannya lewat syair dan lagu dalam berbagai karakter, seperti tatkala menciptakan ’’Nyusul”. Ketika muda pun dia memberikan nasihat kepada teman sebayanya lewat “Pemuda Dewasa”, yang mengingatkan seseorang yang sudah akil balig untuk segera mencari jodoh untuk menjauhkan dari dosa.

Dia mencoba menggambarkan perasaan yang betul-betul menyentuh lewat langgam “Pandan Wangi” . Bahkan Hj Waldjinah, beberapa kali harus break karena tidak kuasa melantunkan lagu itu yang menurutnya betul - betul menyentuh perasaannya.

Yang penulis angap unik waktu ia berproses menciptakan “Caping Gunung”. Waktu itu, Dullah, pelukis terkenal Solo, yang juga sahabatnya, menjemputnya ke Munggung. Keduanya lantas pergi hampir tiga bulan, tidak diketahui ke mana. Sepulangnya, barulah Gesang bercerita diajak ke Bali. Dullah membawa ’’oleh-oleh’’ beberapa lukisan dan Gesang membawa karya “Caping Gunung”, yang isinya menyentil para penguasa pada masa itu agar tidak melupakan jasa petani.

Jika diurutkan, sesungguhnya karya Gesang merupakan cerita yang  bersambung, runtut mengalir, seperti bertutur, yang dalam istilah novelnya semacam trilogi. Contohnya mulai lagu “Sapu Tangan” yang menggambarkan hubungan cinta yang penuh kemesraan, dan bila hubungan itu sudah lama, kadang rasa cinta, cemburu, dan benci bercampur aduk tidak menentu. Hal itu digambarkan dalam lagu berikutnya, langgam “Nyusul”

Ketika hubungan dua insan tersebut mengalami keguncangan, karena mungkin ada pihak ketiga, muncullah langgam “Luntur” yang menggambarkan ausnya hubungan, dan ketika cinta itu putus Gesang menciptakan langgam “Pamitan”. Lagu itu kemudian diindonesiakan, dinyanyikan oleh Broerry Pesolima, yaitu ’’Pamit’’ (“Selamat Tinggal’’).

Mengapresiasi karya Gesang kita tidak menyangka bahwa seniman itu lulusan Sekolah Ongko Loro. Hal itu pula yang memunculkan keraguan bagi sementara pihak bahwa ’’Bengawan Solo’’ adalah ciptaannya.
Agak Slendro Setelah bertanya ke sana kemari tentang masalah itu, penulis yakin bahwa lagu itu benar-benar ciptaannya. Ada tiga sumber yang penulis hubungi, dan membenarkan hal ini.Mereka adalah Andjar Any (almarhum) yang membukukan rekor di Muri lewat 1.050 lagu ciptaannya, Dani Sugiarto yang tesis S2-nya di UGM berkisah tentang Gesang dan ciptaannya, serta Sapto Haryono, salah seorang tokoh keroncong di Solo. Ketiganya juga punya alasan hampir sama bahwa “Bengawan Solo” agak slendro seperti karakter lagu Gesang yang lain, fa (4) hanya ada empat titik.

Testimoni itu dikuatkan oleh Sayuti, pemain flute yang cukup punya nama di Solo. Dikisahkan, ketika Sayuti muda berlatih di Orkes Keroncong Satria, dia diberitahu oleh salah satu anggota orkes keroncong itu, Suradi Prioatmojo, bahwa pada suatu ketika Gesang membawa catatan syair dan lagu dengan susunan notasi lagu masih acak - acakan.

Waktu itu, Gesang muda bilang,’’Saya punya lagu baru”. Ketika diminta membawakan lagu itu, ia hanya bergumam “na nuÖnaÖnuÖ” tidak begitu jelas. Oleh beberapa anggota orkes keroncong itu ia kemudian diminta menulis kembali dengan susunan notasi sesuai aturan musik.

Sejak saat itu, Gesang belajar untuk bisa menulis lagu dengan sistem notasi yang benar. Langgam “Bengawan Solo” itulah yang kemudian menjadi masterpiece lagu - lagu ciptaannya, walaupun diciptakan pada masa awal - awal dari kariernya sebagai pencipta lagu.

Entah istilah karier ini tepat atau tidak, namun penulis yakin bahwa Gesang menciptakan lagu karena panggilan jiwa, bukan sebagai mata pencaharian. Maka dengan melihat latar belakang pendidikannya, ia bisa disebut sebagai genius. (10)

— Wartono, Wakil Ketua III Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri) DPD Jateng, Wakil Ketua II Hamkri Cabang Surakarta

Wacana Suara Merdeka 25 Mei 2010