24 Mei 2010

» Home » Kompas » Matinya Politik Pencitraan?

Matinya Politik Pencitraan?

Drama dua babak pemilihan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat pada Kongres II di Bandung, 23 Mei 2010, merupa- kan fenomena politik bersejarah yang menandai mulai pudarnya ”politik pencitraan”.
Itu juga menunjukkan betapa gaya ”kepemimpinan karismatik” ala Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mulai usang dan berganti dengan gaya ”kepemimpinan sistemik” yang lebih mengandalkan sistem jaringan internal partai seperti yang ditonjolkan Anas Urbaningrum.
Meski sesumbar telah mendapatkan dukungan dari keluarga Cikeas berikut beberapa menteri kabinet yang berasal dari Partai Demokrat (PD), pemasangan baliho besar di sudut Jembatan Semanggi, Jakarta, serta berbagai spanduk besar sepanjang Jalan Tol Cipularang dan di area Kongres II PD, Andi Mallarangeng ternyata tidak mampu meraih dukungan sig- nifikan menjadi ketua umum DPP PD.

 

Kekuatan jaringan yang dimiliki Anas Urbaningrum dan ”operasi kilat” yang amat masif Marzuki Alie tampaknya lebih berhasil ketimbang ”politik pencitraan” yang digunakan Andi Mallarangeng. Tragis memang, pada putaran pertama pemilihan Andi hanya mendapatkan 82 suara (16 persen), dibandingkan dengan Anas yang 236 suara (45 persen) dan Marzuki yang 209 suara (40 persen). Pada putaran kedua, alih suara dukungan dari Andi ke Marzuki juga tak mampu membendung jaringan kekuatan Anas yang akhirnya meraih 280 suara (53 persen) dibandingkan dengan Marzuki yang hanya memperoleh 248 suara (47 persen).
Gurauan politik pun serentak tersebar dari satu ponsel ke ponsel melalui pesan pendek. Ada yang bergurau, Andi salah strategi, memasang baliho besar di tempat yang sama dengan adiknya, Rizal Mallarangeng, saat ingin menjadi balon presiden 2009, yang juga gagal total.
Andi ibarat ”menggunakan meriam untuk membunuh nyamuk” melalui baliho dan iklan-iklannya yang aduhai mahalnya. Padahal, konstituen PD atau rakyat biasa tidak memiliki hak suara pada pemilihan ketua umum DPP PD tersebut, hanya elite-elite PD di pusat dan daerah yang berhak memberikan suaranya.
Kaya multi-interpretasi
Kemenangan Anas pada pemilihan ketua umum DPP PD memang menimbulkan interpretasi macam-macam. Ada yang menyebutnya sebagai kemenangan demokrasi internal di dalam PD sehingga SBY sebagai Ketua Dewan Pembina PD juga patut diberikan acungan jempol karena tidak memihak kepada salah satu calon dan membiarkan proses itu berlangsung secara demokratis, santun, tanpa politik uang dan aman.
Namun, penulis menginterpretasikan secara berbeda. Sejak awal SBY tampaknya sengaja memasang anak bungsunya, Ibas, mendampingi Andi agar aura karismatiknya dapat terpancar pada diri Andi. Pemanggilan Andi oleh SBY sehari sebelum Kongres II PD dapat dikonotasikan sebagai isyarat dukungan SBY kepada Andi. Upaya SBY untuk mengarahkan agar pemilihan dilakukan secara musyawarah dan mufakat (aklamasi) gagal total karena mayoritas menginginkan melalui voting.
Bukan mustahil ini terjadi karena Anas telah melakukan propaganda politiknya untuk menjadikan PD diurus secara desentralisasi. Tawaran politik ini tentunya amat menggiurkan para aktivis dan pengurus partai di daerah.
Ada pula yang menginterpretasikan bahwa Anas hanyalah ”etalase demokrasi” yang dibangun kelompok Cikeas agar PD tetap dipandang sebagai partai politik yang demokratis agar tetap laku dipasarkan pada pemilu legislatif 2014, sesuatu yang tampaknya jauh panggang dari api.
Keunggulan Anas ialah jaringan partai yang ia bina secara masif menjelang pemilihan ketua umum PD. Jaringan HMI bukan hanya melakukan propaganda politik anti-gerakan ”aklamasi” yang mereka pandang bertentangan dengan ”demokrasi”, melainkan juga mempersiapkan isu- isu politik yang laku dipasarkan kepada kalangan elite partai di tingkat lokal.
Sebagai mantan ketua umum PB HMI, strategi politik yang mengutamakan jaringan sistemik adalah kelihaian Anas. Bukan mustahil pula Anas dibantu secara jaringan dan finansial oleh teman-teman alumni HMI yang bersifat lintas partai.
Imbas politik
Terpilihnya Anas sebagai ketua umum DPP PD tentunya membawa imbas politik pada tingkatan internal PD dan juga pada hubungan antarpartai koalisi pendukung pemerintah. Anas harus membuktikan bahwa dirinya adalah ketua umum DPP PD dan bukan tokoh alumnus HMI yang harus mengakomodasi kawan-kawannya.
Anas juga jangan terlalu memosisikan gaya kepemimpinan dirinya identik dengan gaya SBY. Ia harus mampu membuktikan bahwa tanpa karisma SBY PD juga dapat berkiprah dengan baik.
Satu hal krusial yang harus ditangani ialah bagaimana posisi ketua umum PD vis-à-vis ketua Dewan Pembina PD dan ketua harian Sekretariat Gabungan partai-partai koalisi. Akankah Anas diberikan keluwesan bermanuver politik menghadapi ketua harian Sekretaris Gabungan, ataukah otoritas politiknya tetap terbatas seperti dalam kasus Bank Century.
Jika kecurigaan berlebihan muncul di dalam PD bahwa kemenangan Anas adalah buah manuver politik alumni HMI lintas partai, terutama Partai Golkar, bukan mustahil ini akan menimbulkan ketakutan SBY mengenai politik apa lagi yang akan dimainkan para alumni HMI di Sekretariat Gabungan. Hasil akhirnya, Sekretaris Gabungan mungkin bukan hanya tidak efektif dalam mempertahankan kekuasaan SBY sampai tahun 2014, melainkan umurnya hanya seumur jagung, layu sebelum berkembang atau dibunuh secara politik (dibubarkan) oleh SBY.
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI, Jakarta

Opini Kompas 25 Mei 2010