KESIBUKAN terkait dengan pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Semarang 2010-2015 sudah terasa lama sebelum pengumuman calon resmi oleh KPUD. Berbagai macam media publikasi digunakan oleh para calon untuk memperkenalkan diri hingga untuk membujuk calon pemilih.
Kegiatan resmi pun telah digelar oleh KPUD melalui debat antarcalon. Tidak ketinggalan pula beberapa organisasi/institusi menggelar debat sejenis. Para calon terus menebar pesona melalui berbagai macam kegiatan, masuk ke pasar, komunitas pengemudi angkutan umum bahkan panti asuhan.
Namun sebenarnya ada satu hal mendasar yang dilewatkan, yaitu bagaimana semua program itu dapat direalisasikan? Padahal setiap pemilihan wali kota, pasti yang dijanjikan adalah program-program tersebut. Kenyataannya sangat banyak hal yang tidak dapat direalisasikan.
Semarang bawah tetap menjadi langganan banjir, rob masih menjadi ritual rutin, investasi dan lapangan kerja juga tidak meningkat secara signifikan untuk mengurangi pengangguran, kualitas pelayanan kesehatan juga tidak signifikan meningkat. Hal inilah yang belum dikemukakan oleh para calon, sehingga kesan yang muncul mereka hanya mengobral janji.
Untuk merealisasikan semua program yang ditawarkan, ada satu hal penting yang sangat menentukan, yaitu kualitas SDM birokrasi di lingkungan Pemkot. Keberhasilan realisasi program sejatinya sangat ditentukan oleh kualitas atau kompetensi aparatur birokrasi, namun tidak ada satu calon pun yang mengangkat hal ini.
Bagaimana para calon mengelola kinerja aparatur birokrasi ? Dengan program apa saja peningkatan kompetensi dilakukan? Hal itu yang seharusnya ditawarkan, bahkan ditonjolkan, oleh para calon dalam debat ataupun kampanyenya.
Selama ini masyarakat tentu saja dapat menilai kualitas SDM birokrasi Pemkot dari berbagi fakta yang diungkap oleh media massa ataupun pengalaman ketika berurusan dengan birokrasi. Penulis yakin bahwa banyak aparat birokrasi di Pemkot yang perlu dikelola dan dikembangkan kompetensinya.
Pengalaman penulis ketika menjadi trainer untuk beberapa pelatihan yang diikuti PNS Pemkot, baik level eselon II dan III, ada beberapa aspek yang menjadi titik lemah, sehingga beberapa program yang diinginkan wali kota tidak dapat direalisasikan maksimal. Aspek yang masih jadi titik lemah adalah motivasi kerja; sikap dan semangat pelayanan; koordinasi atau teamwork antarindividu dan antarunit; dan kepemimpinan.
Keempat aspek tersebut saling terkait dan akhirnya memengaruhi kinerja individu ataupun unit. Motivasi kerja merupakan roh dan penggerak bagi karyawan untuk menyelesaikan tugasnya, jika tidak memiliki motivasi maka perilaku melayani yang seharusnya ditampilkan tidak akan ada.
Kurang Maksimal Program-program setiap dinas atau SKPD dilakukan hanya sekedar menjalankan program dan merealisasikan anggaran, tanpa didasari keinginan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan yang prima seolah bukan menjadi hal yang harus diusahakan, masyarakat seringkali ditempatkan bukan sebagai konsumen yang harusnya dilayani.
Masyarakat masih sering dihadapkan pada prosedur dan sikap pelayanan yang kurang maksimal. Koordinasi antarindividu dan antarunit sepertinya juga menjadi problem kronis, misalnya program yang hampir sama dikerjakan oleh dua dinas/SKPD, atau dua program yang seharusnya saling mendukung tetapi tidak terintegrasi.
Sebagai contoh program pemberdayaan kewirausahaan bagi masyarakat miskin, dilakukan melalui pelatihan kewirausahaan, namun setelah itu tidak ada follow up dari dinas terkait untuk pendampingan memulai usaha, permodalan, pemasaran dan sebagainya. Akhirnya program yang baik tersebut akan berakhir sia-sia. Beberapa problem itu, adalah realitas yang dihadapi oleh para calon jika nanti terpilih. (10)
— Ferdinand Hindiarto SPsi MSi, psikolog, konsultan pengembangan SDM, Wakil Rektor III Unika Soegijapranata Semarang
Wacana Suara Merdeka 12 April 2010
11 April 2010
» Home »
Suara Merdeka » Visi, Misi, dan Kualitas SDM Birokrasi
Visi, Misi, dan Kualitas SDM Birokrasi
Thank You!