11 April 2010

» Home » Kompas » Demokrasi yang Sopan

Demokrasi yang Sopan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta rakyat agar berlaku sopan bila berdemonstrasi. Permintaan ini bahkan mengemuka tak hanya sekali, terutama saat merespons peristiwa demonstrasi yang diwarnai kekerasan dan perusakan. Lebih jauh, beliau meminta masyarakat agar berperilaku sopan dalam menjalankan dan mengembangkan demokrasi. Demokrasi dan sopan santun rupanya tidak selalu berjalan seiring dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
Kita mencoba mempraktikkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan sistem sosial sesudah kemerdekaan. Periode 1945-2010 memang merupakan suatu kurun waktu yang cukup panjang. Akan tetapi, kalau rentang waktu ini dibandingkan dengan rentang waktu yang mencakup periode-periode dalam tatanan kerajaan dan tatanan kolonialisme, kurun waktu 65 tahun secara historis sungguh pendek

.
Gagasan demokrasi modern muncul dalam masyarakat di Inggris, Amerika Serikat, dan Perancis. Gagasan dasarnya adalah bahwa pemerintahan harus diselenggarakan oleh rakyat, bukan oleh suatu golongan rakyat saja; bukan oleh suatu kelompok elite, dan bukan pula oleh kelompok keturunan ningrat. Pemikiran ini muncul sebagai akibat Revolusi Industri (1750–1850) yang menghasilkan kelompok-kelompok dengan potensi ekonomis yang cukup besar. Kemunculan mereka ini kemudian melahirkan gagasan-gagasan baru tentang siapa yang berhak mengatur negara dan masyarakat.
Di Perancis, gerakan rakyat untuk menegakkan pemerintahan berdasarkan demokrasi ini muncul pada tahun 1794 sebagai protes terhadap gaya hidup feodal yang dikuasai para bangsawan, para rohaniwan, dan sekelompok orang-orang yang kaya raya karena memiliki tanah yang sangat luas (tuan-tuan tanah). Sebagai gantinya, para pemuka Revolusi Perancis mengusulkan agar dikembangkan gaya hidup yang bersendikan kebebasan (liberte), persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternite). Namun, gaya hidup ini baru berkembang secara penuh sejak abad XIX. Di negara-negara Barat, gerakan mengembangkan pemerintahan demokrasi ini mencapai puncak perkembangannya terutama setelah pertengahan 1920-an.
Di Indonesia, orang-orang yang dibesarkan dan menjadi dewasa dalam lingkungan feodal—seperti orang Jawa pada umumnya—sering mengalami kesulitan untuk menyatukan rasa sopan santun dan kesadaran demokrasi yang ada dalam diri mereka. Kalau mau mempraktikkan demokrasi secara penuh, lalu sopan santunnya merosot. Kalau mau bersopan santun secara lengkap, lalu kadar demokrasinya menurun.
Mengapa demikian? Karena gagasan demokrasi yang kita cita-citakan dan gagasan tentang sopan santun yang menjadi tradisi kita memiliki landasan idiil yang berbeda. Kalau demokrasi Barat landasannya adalah kesetaraan antara manusia, sopan santun yang merupakan tradisi kita landasannya adalah perbedaan martabat antara manusia, dan martabat ini ditentukan oleh keturunan, kedudukan dalam hierarki pemerintahan, atau hierarki keagamaan.
Dahulu kaum ningrat dianggap memiliki martabat yang paling tinggi, dan oleh karena itu mereka sangat dihormati. Sesudah itu, dalam zaman kolonial, kaum intelektual turut nongkrong di lapisan atas. Mereka turut menikmati penghormatan masyarakat banyak. Dahulu, antara pemuda-pemuda Jawa pernah terdapat pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya lebih terhormat: mereka yang menyandang gelar raden mas (RM), ataukah mereka yang menyandang gelar meester in de rechten, disingkat Mr? Zaman revolusi fisik dahulu kelompok pejuang bersenjata merupakan pangeran-pangeran baru dalam masyarakat kita.
Sekarang ini, kelompok mana yang kita pandang sebagai golongan masyarakat yang paling bermartabat? Dugaan saya adalah kelompok pelaku bisnis—yaitu kelompok orang kaya—dan kelompok pejabat, terutama pejabat-pajabat teras dalam berbagai instansi pemerintah.
Dalam keadaan seperti ini susah rasanya untuk mengembangkan kehidupan yang mengandung keseimbangan antara demokrasi dan kesopanan. Mari kita tinjau diri kira secara jujur. Berapa orang dari kita yang benar-benar berhasil memperlakukan pembantu rumah tangga secara demokratis? Artinya: berapa persen dari kita yang benar-benar mampu memperlakukan pembantu-pembantu rumah tangga kita sebagai manusia yang sama harkatnya dengan kita?
Lalu, berapa dari kita yang berhasil memperlakukan teman-teman sejawat di kantor secara demokratis? sehingga yang lebih terasa dalam pergaulan sehari-hari adalah kolegialitas, bukan hierarki birokrasi? Kalau kita mau jujur, harus kita akui, belum banyak di antara kita yang mampu menjalani hidup seperti ini. Sebaliknya, yang kerap terjadi adalah majikan-majikan menganiaya pembantu rumah tangga, atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak manusiawi. Kalau demikian, dapatkah ajakan Presiden SBY untuk mengembangkan kehidupan demokrasi yang sopan dilaksanakan?
Saya yakin dapat! Namun, tidak mudah, dan saya kira membutuhkan waktu cukup lama. Kita harus memberikan kesempatan kepada gagasan-gagasan demokrasi untuk berkembang dalam kebudayaan kita, dan menemukan manifestasinya secara wajar dalam masyarakat kita. Di samping itu, kita juga harus memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan bentuk-bentuk baru untuk mengekspresikan rasa kesopanan para anggotanya, dan mengatur ulang patokan-patokan dan pemaknaan dari segenap perilaku yang menyatakan rasa kesopanan.
Hubungan timbal balik
Kalau demokrasi dan keadaban (civility) kita harapkan berkembang secara simultan dan harmonis, maka antara demokrasi dan kesopanan harus ada hubungan timbal balik yang bersifat simetris. Kalau kita mau hidup secara demokratis, yang ada di lapisan bawah dalam masyarakat harus sopan terhadap mereka yang kebetulan ada di atas, dan yang ada di atas harus menghargai dan menghormati mereka yang karena nasib ada di lapisan bawah. Yang di bawah menghormati yang di atas, sedangkan yang di atas menghormati yang di bawah. Sama-sama saling menghormati, tetapi cara menghormati yang digunakan berbeda. Inilah yang masih harus kita atur.
Proses ini dinamakan proses transformasi kutural (cultural transformation process) yang berupa rangkaian perubahan perilaku bangsa yang secara berangsur- angsur mengubah wajah dan watak kehidupan kita. Kalau pada suatu ketika di masa depan kita tidak lagi memberikan kesan feodal-kolonial-agraris, kita akan dikatakan telah mengalami perubahan watak bangsa. Kita telah menjalani proses transformasi kultural.
Transformasi kultural dapat membuat kita tampak dengan wajah dan watak baru yang lebih sesuai dengan harapan kita. Namun, dapat juga terjadi bahwa suatu proses transformasi kultural membuat kita muncul sebagai bangsa yang tidak sesuai dengan harapan kita. Transformasi kultural yang berlangsung pada waktu kemiskinan melanda bangsa kita—sekitar 1870 kalau saya tidak salah, dan selama zaman Jepang, 1942-1945—telah membuat kebanyakan dari kita menjadi manusia-manusia yang jinak dan menyerah kepada ”nasib”, manusia-manusia yang kehilangan semangat untuk bertahan dan berjuang. Jadi, ada transformasi yang sejalan dengan harapan kita, ada pula yang bertentangan dengan kehendak kita.
Yang pertama disebut transformasi kultural volunter (voluntary cultural transformation), sedangkan yang kedua disebut transformasi involunter (involuntary cultural transformation). Transformasi involunter pada dasarnya merupakan dampak dari kekuatan-kekuatan besar yang tak dapat kita kontrol. Gaya hidup yang sekarang ini populer di kota-kota besar merupakan hasil transformasi kultural involunter tadi, yaitu transformasi yang mendatangkan gaya hidup yang sangat pragmatis yang datang dari konsumerisme dan yang lahir dari kapitalisme global.
Dalam hubungan ini perlu kita ketahui bahwa ribut-ribut politik mengenai soal Bank Century dan keterlibatan petugas pajak dan beberapa perwira Polri dalam korupsi perpajakan dewasa ini merupakan bagian dari proses transformasi kultural ini. Proses ini belum selesai, dan akan terus berlangsung. Kita yang menyadari kenyataan historis ini harus turut berusaha agar transformasi kultural ini berlangsung sesuai dengan keinginan kita sebagai bangsa.
Apakah kita akan benar-benar menjadi bangsa yang demokratis dan sopan dan apakah kita akan mampu menegakkan kesopanan yang demokratis bergantung kepada proses transformasi kultural yang sedang kita jalani ini.
Mochtar Buchori Pendidik

Opini Kompas 12 April 2010