Oleh M. Hariman Bahtiar
Tanggal 7 April kemarin biasa diperingati sebagai Hari Kesehatan Sedunia (HKS). Tema peringatan tahun ini adalah Urbanisasi dan Kesehatan. Urbanisasi menjadi fenomena yang mengglobal. Bukan saja terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, perpindahan warga dari desa ke kota sudah biasa terjadi di negara-negara maju sekalipun.
Menurut laporan State of World Population, pada 2008, sekitar 3,3 miliar warga dunia menjadi bagian dalam proses urbanisasi, atau lebih dari separuh penduduk dunia. Angka itu diperkirakan akan menjadi lima miliar pada 2030 berdasarkan perkiraan Badan PBB yang mengurusi kependudukan (UNFPA). Laporan tahunan Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (UNESCAP) juga menunjukkan, urbanisasi di kawasan Asia Pasifik mencapai tingkat tertinggi di dunia. Khususnya Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Masalah urbanisasi di Asia Pasifik didorong oleh fakta bahwa kemajuan ekonomi umumnya terjadi di kota, sementara aspek pertanian di perdesaan tidak tergarap secara optimal.
Di Indonesia, berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) urbanisasi akan mencapai 68 persen pada 2025. Proyeksi itu mengacu kepada perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (urban rural growth difference/URGD). Dalam data itu terlihat, provinsi di Pulau Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya lebih tinggi dari Indonesia secara total. Bahkan, tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada 2025 sudah di atas delapan puluh persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten.
Secara teori, urbanisasi memang merupakan isu yang multisektor dan kompleks. Dari aspek demografi, urbanisasi merupakan suatu proses adanya perubahan persebaran penduduk di suatu wilayah. Hal ini menimbulkan dampak adanya kepadatan penduduk, yang berimplikasi kepada masalah-masalah kesehatan. Secara ekonomi, urbanisasi terlihat dari adanya perubahan struktural dalam sektor mata pencaharian. Dalam pengertian sosiologi, terlihat adanya perubahan sikap hidup dari perdesaan menuju sikap hidup orang kota.
Dampak urbanisasi
Dampak urbanisasi yang biasanya menjadi perhatian adalah masalah kemiskinan kota. Potret ini umumnya terekam melalui wajah perkotaan, dengan sudut-sudut pemukiman kumuh. Hal ini, dikarenakan sebagian besar kaum urban adalah tenaga tak terdidik yang biasanya menjadi buruh kasar dan memperoleh penghasilan minim. Akibatnya, mereka hanya mampu tinggal di kawasan kumuh dengan segala permasalahannya.
Dampak yang terkait kesehatan adalah masalah air bersih dan sanitasi. Berdasarkan laporan UNESCAP, ternyata dua dari tiap lima penduduk kota tinggal di kawasan kumuh atau sekitar empat puluh persen warga di tiap kota. Indonesia bersama Cina dan Filipina adalah tiga negara yang mengalami penurunan secara signifikan, tingkat ketersediaan air bersih bagi warga kota. Dan jelas, yang paling merasakan dampak ini adalah kaum miskin kota.
Menurut hemat penulis, berbagai program yang ada sebenarnya cukup baik. Akan tetapi, terkadang masih muncul kesan adanya kurang koordinasi antarlembaga yang ada. Di antara kementerian yang terkait mestinya dapat melakukan sinergi secara terpadu terhadap program-program yang ada dalam mengatasi dampak negatif urbanisasi.
Peringatan Hari Kesehatan ini juga mengusung subtema ”Kota Sehat, Warga Sehat”. Program ini barangkali dapat pula disinergikan dengan Program Pengembangan Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA) di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Program KLA ini misalnya mendorong adanya pelayanan dasar kesehatan, rujukan, penyelidikan epidemiologi, penanggulangan kejadian luar biasa, dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan. Program lainnya adalah pelayanan bidang perumahan, sarana, dan prasarana lingkungan, serta pelayanan fasilitas umum dan pelayanan lingkungan hidup, kebutuhan dasar sanitasi dan penanganan akibatnya.
Akhirnya urbanisasi adalah masalah bersama. Beberapa dampak positif, khususnya dalam konteks ekonomi dapat terus dioptimalisasikan. Namun, dampak-dampak negatif yang muncul mestinya menjadi perhatian serius. Bukan saja menjadi tanggung jawab kementerian terkait di tingkat pusat, tetapi juga memerlukan dukungan dan kapasitas pemerintahan di daerah. Apalagi, jika menyangkut masalah kaum miskin kota. Pemerintah daerah dituntut untuk lebih responsif dalam menangani masalah ini tanpa diskriminasi.***
Penulis, mahasiswa pascasarjana Ketahanan Nasional/Kajian Kepemimpinan UI, aktivis perlindungan anak.
Opini Pikiran Rakyat 08 April 2010