Oleh I Gusti Made Ardana
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan kata ”mencoblos” yang diartikan pula menggunakan e-voting dengan syarat kumulatif, pada pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan babak baru dalam proses pemungutan suara pada pemilihan umum kepala daerah di Indonesia. Penggunaan e-voting di Indonesia sesuai dengan kuputusan MK harus memperhatikan dua syarat. Syarat pertama tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Syarat kedua, daerah yang menerapkan e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan.
Keunggulan e-voting yang paling utama adalah kecepatan tabulasi hasil pemungutan suara yang dapat diketahui dalam beberapa menit, setelah tempat pemungutan suara ditutup. Mampu mereduksi biaya pemungutan suara sampai 70 persen dibandingkan dengan penggunaan cara tradisional serta dapat meminimalisasi kecurangan saat pemungutan suara merupakan sederet keunggulan lain yang dimililiki teknologi ini. Keberhasilan penggunaan e-voting dalam pemungutan suara sangat bergantung pada dua aspek yaitu aspek sosial masyarakat dan infrastruktur information and communication technology (ICT) (Seang-Tae KIM, 2006).
Dari dua aspek tersebut, akan muncul empat tipe kematangan masyarakatnya dalam penerimaannya yaitu tipe pertama, kemampuan infrastruktur dan penerimaan masyakarat rendah sehingga e-voting akan sulit diterapkan. Tipe kedua kemampuan infrastruktur tinggi, tetapi penerimaan masyarakatnya rendah, pada kondisi ini diperlukan kerja keras agar masyarakatnya dapat menerima teknologi e-voting. Tipe ketiga kemampuan infrastruktur rendah, tetapi penerimaan masyarakatnya tinggi. Tipe keempat infrastruktur dan penerimaan masyarakatnya tinggi. Dua tipe terakhir merupakan tipe daerah yang diyakini mampu menerapkan e-voting secara baik dan lancar.
Perangkat e-voting ideal selayaknya memenuhi empat kriteria pokok dan tiga kriteria teknis (Cranor and Cytron, 1997). Kriteria pokok pertama adalah accuracy, suara yang diterima perangkat tidak boleh berubah, terubah dengan cara apa pun, dan terbawa sampai penghitungan terakhir. Kriteria kedua invulnerability, yaitu kemampuan perangkat yang hanya dapat menerima pemilih terdaftar yang dapat memberikan suara dan pemberian suara diperkenankan hanya sekali. Kriteria ketiga adalah privacy, yaitu perlindungan pemilih atas suara yang telah diberikan agar tidak diketahui orang lain. Kriteria keempat adalah verifiability, yaitu suara disimpan perangkat diyakini kebenarannya dan dapat dihitung ulang untuk pembuktian kebenaran bila diragukan kebenaran isinya. Kemampuan teknis perangkat e-voting lebih menitikberatkan pada kemudahannya untuk digunakan dan kecepatan perangkat dalam memproses masukan (convenience), fleksibel dalam menerima data awal (flexibility), dan yang terakhir kemampuan mobilitas perangkat yang dapat berpindah dengan mudah dari satu tempat ke tempat lain (mobility).
Penerapan e-voting di beberapa negara dilakukan dengan dua metode, yaitu polling place e-voting dan remote e-voting. Menurut majalah The Modern Democracy, sampai dengan akhir 2009, negara-negara yang menerapkan e-voting dan terikat secara hukum dengan mengunakan mesin e-voting adalah Australia, Brasil, Kanada, Prancis, India, Jepang, Kazakhstan, Peru, Rusia, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, dan Venezuela. Negara-negara yang sedang melakukan perencanaan, uji coba, dan tidak terikat secara hukum di antaranya Argentina, Cile, Republik Ceko, Finlandia, Yunani, Italia, Latvia, Meksiko, Nigeria, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, dan Swedia. Untuk tingkat Asean, Filipina adalah satu-satunya negara yang menerapkan e-voting pada Pemilu Mei 2010. Tambahan anggaran untuk pengadaan mesin e-voting telah disetujui Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo pada Maret 2009 mencapai 235 juta dolar AS (sekitar Rp 2,1 triliun).
Penggunaan e-voting sangat dipengaruhi trust (kepercayaan) terhadap perangkat ini oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap pemungutan suara. Untuk mengantisipasi perkembangan teknologi e-voting, sebaiknya KPU segera melakukan regulasi penggunaan perangkat ini dalam pemungutan suara di Indonesia. Regulasi mencakup persyaratan umum penerapan e-voting, sertifikasi perangkat , dan ketentuan hukumnya. Kalau hal ini tidak diatur dengan segera, pemain-pemain perangkat e-voting akan bebas menawarkan perangkatnya ke daerah-daerah, tanpa kontrol kelayakan yang memadai. Kondisi ini bisa menjadi celah penyalahgunaan e-voting untuk kepentingan kelompok tertentu dan efeknya jangan salahkan seandainya ada kelompok masyarakat yang mengguggat penggunaan e-voting dalam pemilu nanti.
Kesiapan Jabar
Penerapan e-voting di suatu daerah tidak mutlak secara menyeluruh. Persentase penerapan e-voting juga harus mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan kondisi sosial masyarakat. Bisa jadi penerapan e-voting hanya 50 persen dari keseluruhan pemilih. Cakupan penerapan e-voting bukan hal utama, tetapi yang paling penting adalah sisi kualitas dari pelaksanaan pemungutan suara yang menggunakan teknologi ini. Jawa Barat sebagai daerah yang memiliki kekayaan SDM yang andal, patut mempersiapkan diri dalam penerapan teknologi ini pada pemilu kepala daerah nanti. Kemampuan untuk mengembangkan e-voting tidak perlu diragukan. Infrastruktur ICT, industri elektronik, dan perguruan tinggi yang ada merupakan modal dasar yang sangat menunjang. Tentunya modal dasar ini tidak cukup kalau tidak didukung oleh kemauan yang kuat dari pemerintah daerah dan KPU Jawa Barat.
Percepatan penerapan e-voting di Jawa Barat sangat bergantung pada visi masing-masing kepala daerah yang memandang e-voting sebagai teknologi informasi yang mampu untuk menghemat anggaran pemilu kepala daerah mencapai 70 persen. Kota yang memiliki luas terbatas dan visi kepala daerahnya yang memandang IT sebagai tools dalam menjalankan pemerintahan, memiliki peluang yang cukup besar untuk sukses menjadi pilot project di Jawa Barat. ***
Penulis, mahasiswa S-3, STEI–ITB, konsentrasi penelitian pada E-Voting/Staf P4TK BMTI Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 08 April 2010