Oleh DJASEPUDIN
Musibah tanah longsor yang menimbun puluhan rumah dan ratusan penduduk di Pasirjambu merupakan buah dari laku kita, yang tak berteman dengan alam. Banjir yang saban tahun merendam kawasan Majalaya, Soreang, Banjaran, Baleendah, Bandung, atau wilayah nusantara lainnya juga merupakan jawaban dari alam atas kebebalan yang terus kita lakukan.
Musibah terus berdatangan, tetapi kesalahan tetap kita lakukan. Rentetan musibah yang melanda nusantara, terutama di tatar Sunda, salah satu alasannya karena kita malas membaca tanda-tanda alam dan tanda-tanda budaya.
Padahal, selain mewarisi pepohonan yang hijau nan rimbun di setiap jengkal tanah di desa dan kota, leluhur kita juga mengungkapkan rasa cintanya melalui pelbagai kearifan. Salah satunya cacandran (ramalan/peringatan), yang antara lain berbunyi, Bandung heurin ku tangtung.
Melihat perkembangan teranyar keadaan wilayah di Kota Bandung dan sekitarnya, cacandran tersebut terbukti sesuai dengan perkembangan terkini. Hampir semua sudut Kota Bandung disesaki tetumbuhan berbahan dasar semen, pasir, dan batu.
Padahal, aktivis lingkungan dan aktivis budaya selalu memberi peringatan. Disadari atau tidak mereka mendawamkan amanat dari karuhun yang berbentuk cacandran tea. Sebab, mereka tak rela ekologi kotanya mengalami degradasi.
Di antara para pecinta kota itu tersebutlah Jeihan Sukmantoro. Pelukis yang juga cerdas mereka kata-kata dalam bentuk sajak (mbeling) itu pada 1981 mengumumkan sajak berjudul ”Padasuka”.
hari hari/ satu satu/ tanggal// pohon pohon/ satu satu/ tumbang// bukit bukit/ satu satu/ runtuh// kali kali/ satu satu/ kering// tanah tanah/ satu satu/ petak// batu batu/ satu satu/ tumbuh// tangga tangga/ satu satu/ patah// cita cita/ satu satu/ potong// kelontong?
Penamaan judul ”Padasuka”, saya pikir, bukan tanpa alasan. Saya yakin judul ”Padasuka” bukan hanya karena Jeihan berumah di Padasuka, Bandung. Daerah perbukitan di timur Kota Bandung yang kini dipenuhi bangunan dan hawa dinginnya makin berkurang.
Sebab, judul sajak tadi bila diubah jadi ”Dago”, ”Lembang”, ”Ciwidey”, ”Cipanas”, ”Ciloto”, ”Sentul”, ”Dieng”, ”Batu”, atau daerah yang memiliki dataran tinggi lainnya juga tetap terasa dan mengena.
Judul ”Padasuka” sejatinya mengandung semangat kelokalan. Ada rasa Sunda pada kata padasuka. Hal ini agak seirama dengan ungkapan padabetah, padabungah, atau padadatang.
Terlebih, dalam peluncuran buku ”Aura Jeihan” di BalĂ© Rumawat Universitas Padjadjaran, 19 Februari lalu, Jeihan yang lahir di Boyolali, 26 September 1938, dan sudah lebih dari 39 tahun tinggal di Kota Bandung mengungkapkan bahwa selain mengatakan Sunda lebih tua daripada Jawa, beliau juga memeluk teguh peribahasa di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung, orang Sunda menyebutnya pindah cai pindah tampian.
Dalam bahasa Sunda, padasuka setidaknya mengandung arti semua orang suka, semuanya nyaman dan bahagia. Ketika kebahagiaan dapat dirasakan, semua orang sebisa mungkin dapat mempertahankan kebahagiaannya.
Bahkan, khusus orang yang harak alias tamak, kebahagiaan saja tidak cukup, tetapi sebisa mungkin dapat menguasainya. Untuk mewujudkan ambisinya, orang-orang harak tak memedulikan batasan halal-haram, legal atau ilegal.
Melihat tanah Sunda, dalam hal ini, Padasuka, Bandung, yang kian meranggas, maka bait pertama sajak ”Padasuka” oleh Jeihan dilukiskan dengan kata-kata: hari hari/ satu satu/ tanggal//
Lantas, apanya yang tanggal, lepas, coplok, copot, rontok, leungit, atau tersungkap dari ”Padasuka”? Tentu saja, jawabannya ada di tujuh bait berikutnya. Untuk yang ragawi, penanggalan, tepatnya penghancuran Padasuka terbukti dengan pohon bertumbangan, gunung dan bukit digunduli, air tidak lagi mengalir, dan tanah telah disulap jadi perumahan mewah.
Sementara yang tak terindra dilukiskan oleh Jeihan dalam bait ke tujuh dan delapan: tangga tangga/ satu satu/ patah/ cita cita/ satu satu/ potong//
Cita-cita untuk meraih kebahagian gagal, karena tak kuasa melawan kekuatan modal. Mengapa itu bisa terjadi? Jawaban atas itu ada di baris berikutnya.
Kelontong?
Itulah bait pamungkas (sembilan) yang menjadi penegas kawasan Padasuka kian meranggas. Sebab, kelontonglah harapan putus di tengah jalan. Oleh kelontonglah cita-cita lepas tak berbekas, karena tak berdaya melawan kuasa perdagangan bebas.
Pepohonan ditumbangkan, bukit digerogoti, atau tanah disulap jadi perumahan mewah, muaranya hanya pada satu kata: kelontong. Ketika semuanya dihadapi hanya sebagai salah satu barang dagangan, maka penghancuran akan satu wilayah, tetumbuhan, atau kearifan sekali pun sulit untuk dilawan.
Peranggasan ”Padasuka” seperti yang dikabarkan oleh Jiehan, hanya satu contoh saja. Bisa jadi, peranggasan terjadi pula di wilayah lain di nusantara. Oleh karena itu, agar tidak terlampau masif merusak lingkungan, ada baiknya kita merenungkan pesan dari Padasuka.***
Penulis, bergiat di Institut Nalar Jatinangor; alumnus Program Studi Sastra Sunda Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 08 April 2010