07 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Perwujudan Idealisme Khitah

Perwujudan Idealisme Khitah

PERHELATAN akbar Muktamar Ke-32 NU di Makassar meninggalkan catatan penting. Rais Aam Syuriah KHMA Sahal Mahfudh dan Ketua Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siradj telah resmi dipilih oleh muktamirin, setelah sebelumnya melalui proses mekanisme demokratis yang cukup alot. Inilah potret demokratisasi yang sedang berkembang sangat baik di organisasi kaum santri dan sarungan.

Pertanyaannya, apa makna yang bisa dipetik dari muktamar tersebut. Dalam catatan saya, setidaknya ada dua hal. Pertama, soal kepemimpinan atau figur pemimpin ideal. Artinya, muktamar merupakan ajang pertaruhan apakah organisasi ini bakal dipimpin oleh figur pemimpin yang mempunyai syahwat politik praktis-kekuasaan atau prokhitah yang berorientasi pada politik kerakyatan-kebangsaan.


Terbukti, dua arus besar ini terlihat terang di arena muktamar. Banyaknya calon yang muncul dan ikut berlaga, baik pada posisi rais aam maupun ketua tanfidziyah, sesungguhnya lebih merupakan representasi dari ragam kepentingan yang mengerucut pada dua kekuatan besar, yaitu kubu khitah dan politik. Akhirnya, sejarah telah mencatat, muktamirin menjatuhkan pilihan kepada Sahal Mahfudh dan Said Aqil Siradj.

Kedua, timbulnya kesadaran kolektif warga NU dengan memenangkan ‘’aliran’’ yang berorientasi khitah. Sangat tepat bila muktamirin memilih Sahal Mahfudh dan Said Aqil Siradj. Sampai detik ini, Kiai Sahal selain diakui sebagai kiai sepuh, senior, karismatik, juga dianggap sebagai penjaga setia khitah. Sedangkan Kiai Said Aqil di samping akademisi, dikenal kaum cerdik-pandai.

Warga NU, dengan demikian, barangkali sudah capai dan emoh ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik praktis, walaupun penunggangnya itu adalah para elite NU. Kemenangan kelompok yang mengusung perjuangan khitah inilah yang disebut sebagai langkah penyelamatan NU. Artinya, di bawah kendali Sahal Mahfudh dan Said Aqil Siradj semoga ke depan —meminjam judul berita di koran ini—syahwat politik NU ditekan (SM, 28/03/2010).

Kepemimpinan Sahal Mahfudh dan Said Aqil Siradj diharapkan mengantarkan NU menuju kejayaan, sebagaimana yang dicita-citakan founding fathers-nya. Semua pihak harus sadar, bahwa kedigdayaan NU sebenarnya justru tampak ketika mengambil posisi berjarak dengan permainan politik praktis. Sebab, politik yang dikembangkan NU adalah jenis politik kebangsaan atau kerakyatan, bukan politik berorientasi kekuasaan.

Lantas, bagaimanakah nasib NU ke depan setelah muktamar? Yang pasti, kemenangan kelompok yang secara konsisten mengusung khitah mempunyai konsekuensi-konsekuensi logis, yaitu pemberdayaan dan advokasi terhadap warganya secara khusus, dan secara umum ikut pula memajukan seluruh sendi kehidupan bangsa dan negara.

Setidaknya, tiga bidang garapan yang menjadi agenda prioritas kepengurusan baru, sebagaimana disebutkan oleh Sahal Mahfudh dalam pidatonya, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi umat, merupakan langkah tepat dan taktis-strategis untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan.

Masyarakat tentu menyambut baik janji program pemberdayaan yang prorakyat tersebut. Kini, yang ditunggu adalah realisasinya. Kemenangan kubu khitah yang berarti secara tegas mengibarkan identitas asli NU sebagai organisasi sosial-keagamaan (jam’iyyah diniyyah), membutuhkan pertanggung jawaban riil kepada masyarakat.

Dengan kata lain, yang dibutuhkan masyarakat adalah program riil yang tidak melangit, seperti yang selalu digembar-gemborkan para politikus selama ini. Mengapa demikian? Karena NU bukan organisasi parpol, dan tidaklah berlebihan, jika masyarakat menaruh harapan besar agar NU ikut andil untuk mewujudkan penguatan civil society, yang membantu pemberdayaan masyarakat.

Kembali ke khitah berarti memfungsikan NU (baik institusional maupun individu pengurus) sebagai rumah bersama bagi masyarakat, yang melibatkan diri secara aktif dengan masyarakat. Bahkan dalam batas-batas tertentu, fungsi ulama (kiai) harus melampui maqam¤-nya sebagai pengayom, orang berilmu atau ahli agama.

Persoalannya, dari manakah kita memulai program progresif itu? Sebagai langkah awal, hal ini harus ditopang dengan misalnya, menyusun komposisi pengurus struktural yang mempunyai visi, misi, dan orientasi sama, yaitu dalam bingkai khitah. (10)

— Abdul Ghaffar Rozin, aktivis muda NU, dan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam MathaliĆ­ul Falah (Staimafa) Pati

Wacana Suara Merdeka 8 April 2010