07 April 2010

» Home » Kompas » Mega dan Masa Depan PDI-P

Mega dan Masa Depan PDI-P

Hampir dapat dipastikan Megawati Soekarnoputri terpilih kembali sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam Kongres III di Bali, pekan ini. Adapun Puan Maharani, sang ”putri mahkota”, menjadi calon wakil ketua. Mengapa PDI-P tak berani beranjak dari bayang-bayang trah Soekarno, dan apa dampaknya ke depan?
Ketika tampil pertama kali di panggung kampanye PDI (tanpa ”Perjuangan”) pada Pemilu 1987 era Orde Baru, Megawati ibarat ”magnet” yang mampu menghipnotis massa pendukung partai banteng. Dalam pemilu era Soeharto yang penuh rekayasa, perolehan suara PDI meningkat cukup signifikan dari 7,9 (1982) menjadi 10,9 persen (1987) dan 14,9 persen (1992). Meski berbagai upaya dilakukan rezim Soeharto untuk membendungnya, Megawati terpilih secara aklamasi dalam Kongres IV PDI di Jawa Timur pada Juli 1993, juga kongres luar biasa di Jakarta, akhir tahun yang sama.

 

Upaya penggulingan Megawati dilakukan kembali melalui Kongres Medan (1996), tetapi ditentang keras oleh arus bawah partai banteng sehingga meledak Peristiwa ”Sabtu Kelabu”, 27 Juli 1996. Aparat gabungan berkaus merah berhasil membubarkan ”mimbar bebas”, basis pendukung Megawati di kantor DPP PDI Jalan Diponegoro 58, tetapi gagal membendung tampilnya putri tertua Bung Karno tersebut sebagai ”ikon” perlawanan terhadap Orde Baru.
PDI-P minus ”perjuangan”
PDI Perjuangan yang dideklarasikan 14 Februari 1999 di Istora Senayan, Jakarta, dewasa ini dapat dikatakan telah menjadi parpol yang kehilangan aura ”perjuangan”-nya. Betapa tidak, selain figur Megawati sebagai pewaris trah Soekarno, hampir tidak ada lagi daya tarik PDI-P sebagai parpol ”wong cilik”. Popularitas Megawati pun kian memudar bersamaan dengan munculnya tokoh-tokoh populer di pentas nasional, seperti Susilo Bambang Yudhoyono. Tak mengherankan jika perolehan suara PDI-P terus merosot dari 33,74 persen (1999) menjadi 18,53 (2004) dan 14,03 persen (2009).
Kegagalan Megawati (2001-2004) menggulirkan program-program prorakyat tampaknya menjadi faktor penting di balik kekalahan beruntun PDI-P sejak 2004. Begitu pula kepemimpinan Megawati yang cenderung personal-oligarkis, mengecewakan berbagai elemen pendukungnya, sehingga mereka mendirikan parpol baru (seperti Partai Demokrasi Pembaruan) atau bergabung ke parpol lain. Meski sejak Kongres II (2005) mengibarkan bendera sebagai ”partai oposisi", itu tak mampu menahan kemerosotan suara PDI-P dan kekalahan calon presiden Megawati dalam Pemilu 2009.
Karena itu, sungguh menarik, dalam kondisi popularitas partai yang terus menurun, Megawati ingin maju terus sebagai ketua umum. Segenap jajaran elite partai dari daerah hingga pusat bahkan memberikan ”keplok” setuju yang gempita atas keputusan tersebut. Tentu menjadi hak Megawati dan Kongres PDI-P untuk memutuskan yang terbaik bagi partai, tetapi berharap bahwa pilihan demikian dapat merebut kembali simpati rakyat dalam Pemilu 2014, mungkin juga berlebihan.
Regenerasi dinasti Soekarno
Harus diakui, tidak mudah bagi PDI-P bertahan secara utuh di panggung politik tanpa Megawati. Putri tertua Bung Karno ini adalah faktor pemersatu bagi internal PDI-P. Namun, di sisi lain, mempertahankan terus Megawati sebagai ketua umum juga dilematis bagi partai karena ketika pada saatnya Megawati tak dapat lagi memimpin partai, PDI-P bisa terjun bebas menjadi ”partai gurem”.
Kemunculan Puan Maharani tampaknya diharapkan sebagai tahap transisi menjelang lengsernya Megawati. Begitu pula perubahan penggunaan frasa ”partai oposisi” menjadi ”penyeimbang pemerintah”, seperti sering dilansir elite PDI-P akhir-akhir ini, tampaknya dalam rangka persiapan regenerasi dinasti Soekarno, dari Megawati ke Puan Maharani.
Namun, problemnya, putri Megawati dan Taufik Kiemas ini lebih mewakili sayap pragmatis partai ketimbang sayap ”ideologis” yang dipertahankan secara konsisten oleh Megawati. Problematik inilah tampaknya yang dihadapi oleh PDI-P menjelang dan pasca-Kongres III, yakni pertarungan antara kubu pragmatis elite partai dan kubu ideologis Megawati yang didukung akar-rumput partai. Wacana koalisi atau oposisi menjelang kongres mencerminkan kencangnya pertarungan internal PDI-P tersebut.
Program membumi
Pilihan pragmatisme jelas ”tidak haram” bagi PDI-P. Bahkan, mungkin hampir mustahil membayangkan suatu parpol dapat bertahan tanpa sikap pragmatis sama sekali. Namun, di tengah lautan pragmatisme politik yang melanda hampir semua parpol dewasa ini, bangsa kita jelas memerlukan PDI-P yang konsisten dalam bersikap. Harapan akar-rumput semacam inilah yang menjelaskan mengapa Megawati masih didaulat jadi ketua umum.
Akan tetapi, konsistensi sikap politik saja jelas tidak cukup. Sebagai pengusung Soekarnoisme, PDI-P dituntut untuk menerjemahkan ide-ide besar sang proklamator ke dalam program politik realistis yang diperlukan rakyat. Realitas politik masa kini juga meniscayakan hadirnya pemimpin parpol yang pintar mengelola isu-isu strategis partai sebagai aset dalam merebut dukungan elektoral. Para kader partai yang brilian semestinya diberi kesempatan untuk ini meski mereka tak memiliki garis darah Soekarno.
Barangkali inilah tantangan terbesar Megawati. Dalam era demokrasi kita saat ini, hampir tidak mungkin PDI-P bertahan hanya mengandalkan karisma Megawati ataupun trah Bung Karno. Sudah saatnya partai ini berkaca pada kegagalan beruntun sejak 2004. Ketika para pemilih semakin rasional, yang dapat bertahan adalah parpol yang mampu mentransformasikan ide-ide perubahan menjadi program politik yang membumi bagi rakyat. Tidak ada kata terlambat jika Megawati dan segenap jajaran partai menyadari hal ini. Jika tidak, momentum terjun bebas PDI-P sebagai ”partai gurem” hanya soal waktu.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Bidang Politik LIPI


Ooini Kompas 8 April 2010