Seakan menjawab polemik yang berkembang di media terhadap partai yang dipimpinnya, Mega memaparkan dengan bernas persoalan-persoalan bangsa saat ini, posisi PDI-P, dan otokritik terhadap partai yang dipimpinnya, serta sikap politik yang dipilih dalam menghadapi masa transisi partai ini.
Menurut saya ada tiga hal menarik dalam isi pidatonya. Pertama, penegasan kembali tentang PDI-P sebagai partai ideologis berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Penegasan jalan ideologis ini dipilih sebagai fondasi, arah, tujuan, sekaligus bingkai perjuangan partai yang memihak kepada rakyat terutama wong cilik dalam perjuangannya. Pilihan ini ia tegaskan seraya melakukan otokritik kepada partai yang telah gagal memaknai garis sejarah perjuangan sehingga ditinggalkan rakyat dalam dua pemilu.
Megawati juga menyadari, pilihan ideologis ini tidaklah mudah. Ia dihadapkan oleh tantangan internal partai, seperti kelangkaan kepemimpinan secara kualitas ataupun kuantitas, pengaturan kelembagaan partai yang masih berpusat pada satu tiang penyangga, yakni organisasi partai dari DPP hingga anak ranting, belum adanya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang secara jelas dan tegas mengatur kekuasaan pemerintahan partai, dan keterbatasan sumber pendanaan partai yang menyedot anggaran besar. Tantangan eksternal juga tidak kalah peliknya, ia dihadapkan pada kondisi di mana rakyat antipartai dan anti-ideologi.
Saya pikir kegentaran itu dapat dipahami, di tengah situasi pengalaman ”melek politik” semua parpol yang ada selama ini, yang belum memiliki pegangan dan sandaran kepada demokrasi yang dicita-citakan bersama. Demokrasi yang dicecap selama dua tahun ini masih meletakkan demokrasi secara berlebihan dalam praktiknya, yaitu dengan meletakkannya sebagai satu-satunya dasar atas sarana kebebasan dalam kehidupan kepolitikan umum.
Akibatnya kita gagal untuk memasukkan, membangun, dan mencapai ideal-ideal lain, seperti keadilan, kesetaraan, hak asasi, dan kewargaan yang tidak kalah pentingnya dalam kemajemukan yang kita miliki. Singkatnya, politik yang kita pahami selama ini berhenti pada kepentingan ”siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”. Sangat pragmatis dan hanya berorientasi jangka pendek semata. Sikap politik Megawati ini perlu diletakkan dalam konteks mengisi kekurangan yang ideal selama ini.
Kedua, Megawati secara tegas juga mengatakan, pilihan PDI-P untuk menjadi partai penyeimbang bagi pemerintahan yang berkuasa dengan tidak memasuki kursi kekuasaan, melainkan sebagai mitra pemerintah yang kritis yang berada di luar ”pagar”. Ia tidak tertarik untuk menggunakan kosakata oposisi seperti diwacanakan media selama ini.
Baginya, selain tidak dikenal dalam hukum tata negara kita, oposisi mengindikasikan hanya kritis terhadap kebijakan pemerintah semata, padahal posisi penyeimbang yang dimaksudkannya bukanlah sekadar oposisi yang dipahami selama ini, melainkan tawaran model pemerintahan alternatif. Pemerintahan yang dibangun dari mantera Trisakti-nya Bung Karno: berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan. Model pemerintahan yang dianggapnya merupakan jawaban dari persoalan bangsa hari ini.
Pilihan politik semacam ini selain strategis juga problematis karena ia tidak saja mensyaratkan kecakapan dan keterampilan kepemimpinan parpol yang kuat, strategi implementasi yang terencana dan jelas, juga konsistensi dari seluruh anggota partai untuk menaatinya. Padahal, salah satu persoalan internal yang mengemuka di partai adalah masih belum satunya pendapat tentang posisi ini antara Ketua Umum PDI-P dan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat.
Pertanyaan pokoknya adalah formula seperti apa yang akan dibangun PDI-P dalam mengimplementasikan posisi dan sikap politiknya ini? Memilih untuk di luar kekuasaan bukanlah perkara mudah di antara sikap pragmatis partai yang ada selama ini dan kekuasaan sebagai jalan pintas menuju akumulasi modal/uang. Karenanya, menjadi penyeimbang haruslah kuat dalam konsep dan praktiknya, selain itu ditunjang oleh anggaran yang diupayakan secara mandiri oleh partai. Pada kondisi di mana ongkos politik semakin mahal dan posisi di luar kekuasaan yang dipilih, PDI-P perlu bekerja keras untuk membangun dan mewujudkannya.
Ketiga, Megawati juga bicara soal regenerasi di partainya. Walaupun tidak detail, ia mengatakan PDI-P telah melakukan regenerasi itu di tingkat dewan pimpinan pusat hingga ranting, dengan 70 persen diisi orang muda. Persoalan regenerasi menjadi penting dalam masa transisi partai ini.
Megawati dan PDI-P perlu menyiapkan kader-kader muda dari sekarang dengan segenap restrukturisasi internal partai yang perlu dilakukan, baik dari AD/ART partai, kebijakan dan program partai, hingga strategi dan implementasi di lapangan. Media telah mengusung beberapa nama generasi ketiga Soekarno: Puan Maharani, Mohammad Prananda Prabowo, dan Puti Guntur Soekarnoputra.
Apabila mengacu kepada pidato Megawati, tampuk pimpinan itu bukanlah hanya terbatas kepada keturunan biologis Soekarno saja, tetapi ”keturunan ideologis” juga terbuka bagi partai ini, sebutlah, misalnya, Budiman Sudjatmiko, Eva Sundari, dan Ganjar Pranowo, sebagai kader muda partai yang publik mulai tahu integritas dan kemampuannya.
Mungkin perlu dipertimbangkan untuk mengisi jabatan sekretaris jenderal, misalnya, sebagai bagian dari proses regenerasi ini. Karenanya, pemilihan kembali Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P tidak saja sebagai perekat untuk membangun konsolidasi partai yang kuat dengan sikap politiknya yang baru, tetapi juga menyiapkan kader-kader muda partai yang mempunyai visi misi perjuangan partai ideologis.
Opini Kompas 8 April 2010