28 April 2010

» Home » Media Indonesia » Sinyal Bahaya Citra Polri, May Day!

Sinyal Bahaya Citra Polri, May Day!

SENIN 26 April 2010, Master dalam bidang Strategic Studies dan penerima Certificate in Terrorism Studies dari S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura SENIN 26 April 2010, Kapolri beserta jajarannya melaksanakan rapat kerja (raker) dengan Komisi III DPR-RI. Momentum rapat kali ini tepat berada di peralihan waktu antara periode 'membangun kepercayaan' (2004-2009) menuju periode 'membangun kemitraan' (2010-2014). Pertemuannya menjadi luar biasa karena fakta yang berkembang justru berkebalikan dengan Rencana Strategis (Renstra) Polri tersebut.
Di penghujung periode pertamanya pascareformasi Polri ini justru 'badai' dan 'ombak' menjadi sangat hebat. Pertaruhannya kemudian, bagaimana agar kemudian dapat memulihkan segera performa Polri? Dengan demikian menguatkan langkahnya memasuki renstra periode II? Tulisan ini berangkat dengan dua argumentasi sederhana, pertaruhan jangka pendek dan jangka panjang. Awal bulan Mei nanti ada momentum May Day yang secara tahunan selalu menggerakkan semua fungi Polri. Pertaruhannya ada pada harmonisasi dan efektivitas keamanan yang dilaksanakan Polri. Dalam jangka panjang, disharmonisasi dan ketidakseimbangan perlakuan Polri terhadap kelima fungsinya adalah fundamental yang perlu dibenahi dalam reformasi internal Polri

.

Potensi dan ambang gangguan 1 Mei
Dalam kasus May Day, Hari Buruh Sedunia 1 Mei, yang telah menjadi seremonial rutin kaum buruh, Polri biasanya akan menggerakkan semua fungsinya untuk melakukan pengamanan. Beberapa demonstrasi prakondisi telah menyebutkan aksi peringatan Hari Buruh nanti akan terjadi di 28 kota di seluruh Indonesia dan juga akan menggerakkan TKI di beberapa negara di luar negeri. Khusus terkait dengan adanya potensi gangguan (PG) dan ambang gangguan (AG) partisipasi TKI dalam demonstrasi di luar negeri, perlu diperhatikan dampaknya ke dimensi diplomasi hubungan antarnegara. Di sinilah hubungan dan komunikasi yang optimal antara Kapolri dan satuan-satuan yang dipimpinnya secara vertikal dan komunikasi antarsatuan secara horizontal dan diagonal sangat menentukan pengambilan keputusan yang tepat guna.
Banyak kalangan masih menganggap pendekatan taktis di lapangan pada hari H terhadap gangguan nyata (GN) adalah yang terpenting. Akan tetapi, sebenarnya fungsi pencegahan dan penangkalan jauh lebih penting untuk diterapkan, sehingga tidak perlu terjadi akumulasi demonstrasi yang memiliki banyak dampak, mulai dari potensi jatuhnya korban hingga kemacetan lalu lintas. Kerja sama pihak keamanan dengan Kemenakertrans dan dunia usaha juga sangat prioritas. Manajemen perusahaan juga perlu diajak berpartisipasi dalam agenda keamanan ini dalam rangka menjaga proses produksi perusahaan dan juga pelayanan umum. Sebagai alternatif, misalnya, para pekerja dan pengusaha juga dapat dilibatkan dalam aksi sosial lainnya yang melibatkan warga sekitar pabrik/perusahaan, sehingga peringatan May Day lebih nyata dan bermanfaat. Sementara itu pemerintah juga harus serius, melalui Kemenakertrans) saat ini tengah menyiapkan beberapa langkah perbaikan dalam penyempurnaan peraturan dan sistem pelayanan tenaga kerja Indonesia (TKI).

Perlakuan lima fungsi
Jika harmonisasi fungsi penting dalam penyikapan May Day, apalagi dalam konteks jangka panjang reformasi Polri, harmonisasi dan proporsionalitas perlakuan terhadap lima fungsi Polri jauh lebih penting lagi. Faktanya Polri justru memiliki permasalahan dalam hal ini. Kalau kita menyimak tugas pokok Polri UU Kepolisian, coba cermati sekian persen pencegahan-penangkalan, tetapi institusi Polri menyikapinya seolah-olah dilihat dari perlakuannya, penegakan hukum itu utama. Seakan mengobati (kuratif) itu lebih utama daripada preemptive dan preventif. Terbalik dengan tugas pokok.
Dilihat dari spektrum lima fungsi Polri: intel (intelijen), reserse, lantas, samapta, dan bimmas (bimbingan masyarakat); intel dan bimmaslah yang memiliki fungsi dari awal hingga akhir aktivitas kepolisian. Dimulai dari mengawali saat masih berbentuk potensi gangguan (PG), mengiringi saat ambang gangguan (AG) terjadi, hingga mengakhiri sebuah peristiwa berupa gangguan nyata (GN). Sementara itu fungsi lantas hanya bermain di AG dan GN, samapta hanya di AG, dan reserse hanya di GN. Akan tetapi dalam praktiknya perlakuan Polri terhadap reserse begitu istimewa, 'merasa cool' jika dapat melakukan tindak represif dan penegakan hukum.
Disharmoni dan tidak proporsionalnya Polri dalam memperlakukan fungsi-fungsinya ini yang membuat pencegahan dan penangkalan tidak berjalan optimal. Keamanan hadir setelah jatuh korban dan peristiwa telah terjadi. Hal itu diwakili oleh kiprah reserse yang kian hari kian kuat sorotan terhadapnya. Jadi kalau intel dan bimmas lemah, tentu semua pihak akan sepakat. Tapi kalau pertanyaannya, mengapa intel lemah? Semua pihak di dalam Polri harus sama-sama berpikir. Apakah atensi itu kurang. Dari mulai awal rekrutmen SDM intelijen yang 'asal' masuk saja tanpa tes, hingga dukungan Disrenbang terhadap fasilitas dan anggaran.

Menguatkan peran intel dan bimmas
Intelkam merupakan 'mata dan telinga' Kapolri seharusnya. Karena itu input informasi kepada otak dalam membuat keputusan tentunya sangat bergantung pada kesehatan mata dan telinga. Lemahnya pertimbangan keputusan Polri dalam beberapa kasus yang disikapi secara gegabah dan berujung pada jatuhnya citra Polri yang tengah dibangun merupakan indikasi lemahnya peran Intelkam Polri. Fungsinya dalam memberikan input informasi dan analisis multidimensional dari sebuah fenomena, tentu akan menguatkan kewibawaan langkah-langkah Polri.
Dalam melihat kasus Gayus, intel akan berbeda kacamatanya dalam melihat kasus Gayus, sehingga rekomendasi langkah-langkahnya berbeda. Begitu pun penguatan peran bimmas dalam penanggulangan terorisme, tentu tidak akan seperti sekarang yang menyerahkannya penuh kepada Densus 88 yang masih berada di bawah Bareskrim yang bernuansa ‘penindakan’ dan ‘represif’. Hemat kami, Densus 88 Antiteror perlu dijadikan struktur independen di bawah Kapolri sehingga mengadopsi satuan lengkap juga satuan paradigma yang lengkap dalam menanggulangi terorisme. Terhadap merosotnya citra Polri sekarang ini, memang tidak bisa menyalahkan fungsi mana pun. Tetapi perlakuan yang terlalu istimewa terhadap fungsi reserse memang perlu dihitung dampaknya bagi kondisi tersebut. Trust building
yang menjadi fokus renstra 2004-2009 dan telah susah payah dibangun, sekarang akibat berbagai penyikapan yang salah langkah kasus cicak vs buaya, Susno Duadji, dan sebagainya, langsung melorot, dan seakan kembali ke nol. Oleh karena itu, reformasi Polri perlu memberi perlakuan lebih pada intel dan bimmas. May Day adalah turning point
pembuktian kesungguhan Polri terhadap ide harmonisasi itu. Dalam rangka memantapkan citra Polri dan menyongsong 2010-2014 dengan fokus partnership.

oleh Arya Sandhiyudha As

Opini Mesia Indonesia 29 April 2010