28 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Keprihatinan dari Rowo Jombor

Keprihatinan dari Rowo Jombor

SEDIMENTASI di Rowo Jombor di perbatasan Kecamatan Bayat dan Kalikotes dinilai sudah parah (SM, 22/10/10). Sebagai kompleks wisata andalan, sentra produksi ikan, dan sumber irigasi yang menghidupi ribuan warga Klaten, kondisi rawa itu sungguh ironis.

Rawa Jombor adalah kompleks wisata alam kebanggaan masyarakat kabupaten Klaten. Sebagai salah satu ikon wisata alam, rawa yang terletak di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat berjarak sekitar 5 km arah  tenggara pusat kota Klaten saat ini mengalami sedimentasi hebat. Belum lagi masalah kerusakan alam dan penurunan debit air serius yang tidak saja mengancam keseimbangan hayati namun juga keberlangsungan ribuan warga yang mengantungkan hidupnya atas keberadaan rawa tersebut. 


Semilir angin dan riak air di sela-sela deburan ombak menghempas tepian rawa tak lagi terdengar. Ikan-ikan kecil yang menari berkejaran di tepian rawa kini  menghilang entah ke mana. Dulu sejauh mata memandang disuguhi  hamparan air nan biru dan barisan perbukitan hijau penuh daya pesona eksotis yang menawarkan kesejukan dan keteduhan sehingga membuncahkan keagungan Sang Pencipta. 

Sesekali nelayan mendayung gethek (perahu dari bambu dijajar dan diikatkan dengan tali) melaju mengambil  wuwu (perangkap ikan) yang dipasang di beberapa titik sebagai penghasilan tambahan warga sekitar yang sebagian besar petani dan buruh.

Sayang keindahan itu kini hanya tinggal kenangan.  Keindahan telaga alam yang kaya nilai historis itu kini tinggal kenangan di alam bawah sadar masyarakat Klaten.  Kini Rowo Jombor banyak berubah. 

Rawa itu didera arus pendangkalan hampir di setiap sudut kawasan.  Bahkan sebagian sudutnya menjadi tanah lapang dan tegalan.  Air telaga tak sejernih dulu.  Sepanjang mata memandang hanya tonggak-tonggak bambu yang dipancang sepanjang tepian karamba yang bertebaran hampir di seluruh kawasan.
Belum lagi hamparan eceng gondok yang menutup permukaan kawasan melengkapi kerusakan yang terjadi.  Sebagai  kompleks wisata andalan, sentra produksi ikan, dan sumber irigasi yang menghidupi ribuan warga Klaten, kondisi Rowo Jombor seperti ini sungguh ironis.  

Rawa itu memiliki luas permukaan 198 hektare.  Dikelilingi perbukitan hijau di sisi selatan, timur, dan utara sesungguhnya objek wisata itu mempunyai nilai jual dengan pesona alamnya. 

Maka wajar jika tempat ini  dikembangkan sebagai kawasan andalan dengan memadukan keindahan alam, wisata air dan  dipadu dengan hasil olah tangan keramik teknik miring warga Bayat sebagai buah tangan pengunjung.
Banyak Perubahan Kawasan ini terasa lengkap karena kepenatan pengunjung akan terobati dengan bersantai sambil menikmati lezatnya hidangan ikan segar asli rawa hasil tangan terampil koki-koki asli warga Krakitan dengan warung apung di tepian rawa.

Namun sejak dibuka luas pemanfaatan rawa tersebut untuk pengembangan keramba dan wisata apung pada pertengahan 1990-an membawa banyak perubahan mendasar.  Pengavelingan keramba tak terkendalikan. 

Tidak ada kawasan yang steril bagi budidaya ikan oleh masyarakat sekitar sehingga hampir sejauh mata memandang adalah tonggak-tonggak bambu sebagai tiang pancang jaring keramba. Sisi regulasi lemah dalam  mengawal kebijakan kalau tidak  dikatakan nyaris tanpa batasan.

Hasilnya pun  dapat dituai sekarang. 

Sedimentasi mengancam  menyebabkan debit air menyusut dari tahun ke tahun seiring tingkat pengendapan, lebih-lebih pada musim kemarau panjang.  Padahal aliran air rawa ditunggu  ribuan petani yang tersebar di Kecamatan Kalikotes, Trucuk, dan Cawas dengan lahan pertanian produktif seluas 1.609 hektare. 

Saat ini tak lagi dijumpai  lomba gethek atau lomba menangkap itik pada setiap tradisi Grebeg Kupat Syawalan yang digelar Pemkab Klaten dan masyarakat sekitar karena nyaris tidak ada lagi kawasan bebas eceng gondok dan tambak sebagai ajang lomba.

Sungguh rawa itu telah mengirim pesan keprihatinan. Kini saatnya pemerintah dan masyarakat tergerak. Tidak cukup lagi rasa keprihatinan karena rawa tersebut membutuhkan penanganan, bukan keprihatinan semata.  Saatnya masyarakat dan pemerintah turun dalam gerakan massal membersihkan rawa.  Padat karya dapat ditempuh lagi. 

Dengan biaya murah dan memberdayakan masyarakat sekitar, pemerintah  juga dapat memobilisasi jajarannya untuk bergerak bersama sebagai aksi massa secara berkelanjutan.  Kita mendambakan Rowo Jombor ’’hidup’’ lagi seperti dulu kala.  (10)

— Joko Priyono SSos, pranata kehumasan Pemkab Klaten

Wacana Suara Merdeka 29 April 2010