28 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Ironi Penegakan Hukum

Ironi Penegakan Hukum

Oleh Edi Setiadi

Masyarakat awam memandang bahwa kisruh antara polisi, jaksa, dan KPK adalah pertempuran mempertahankan ego masing-masing kalau bukan dikatakan sebagai ajang saling mengerdilkan. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan mengingat ketiga lembaga hukum ini merupakan ujung tonggak dalam memberantas kejahatan, khususnya korupsi.

Kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi kepada tiga lembaga penegakan hukum yang ada sekarang, yaitu polisi, jaksa, dan KPK seharusnya memperlihatkan prestasi yang luar biasa dalam memberantas korupsi, tetapi dalam praktik sering terjadi tumpang tindih penyidikan, terutama antara polisi dan jaksa.



Wewenang KPK dalam memberantas korupsi sangat kuat dan prosedur hukum yang biasa tidak diperlukan lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sifat superbody KPK tentu saja menjadi momok bagi pelaku korupsi, terutama apabila melihat kinerja KPK dalam memberantas korupsi, belum pernah ada satu pun kasus korupsi yang disidik KPK pelakunya dibebaskan hakim tipikor. Sebaliknya, apabila kasus korupsi itu ditangani peradilan umum yang notabene kasusnya berasal dari kerja polisi dan jaksa, hampir dua pertiganya dibebaskan hakim.

Sungguh ironis apabila antara penegak hukum saling menjatuhkan atau mengerdilkan, bukankah tugas penegakan hukum itu adalah menegakkan hukum dan keadilan untuk setiap orang. Semestinya antara semua penegak hukum terjalin sinkronisasi dan keserampakan dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, pembersihan terhadap sapu kotor harus menjadi prioritas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono apabila pemerintahannya ingin dicap sebagai pelopor pemberantasan korupsi.

Sinergitas antara penegak hukum dalam memberantas korupsi harus terus digalang, ego sektoral di antara mereka harus dikikis. Sudah saatnya dilakukan penataan kelembagaan hukum di lingkungan aparat penegak hukum sekaligus pembaharuan hukum yang mengatur ketiga lembaga penegak hukum tersebut. Penataan kelembagaan hukum harus dimulai dengan melakukan reposisi terhadap seluruh aparat penegak hukum. Pertama apakah semua lembaga hukum dalam ruang lingkup sistem peradilan pidana akan disatukan dalam satu atap di bawah kekuasaan kehakiman, ataukah menghilangkan lembaga yang bersifat adhoc seperti KPK. Atau kedua, mengubah seluruh substansi hukum (UU) yang mengatur ketiga lembaga tersebut dengan menata kewenangan masing-masing dalam memberantas korupsi. Lembaga mana yang diberi kewenangan memberantas korupsi bisa dilakukan dengan melakukan kajian yang mendalam setelah melihat kinerja dari polisi, jaksa, dan KPK.

Dengan menata kelembagaan dan kewenangan dari ketiga lembaga penegakan hukum ini akan dicapai mekanisme yang jelas dan tumpang tindih kewenangan akan terhindar. Pengaturan kewenangan tersebut bisa dilakukan dengan membagi: kejahatan-kejahatan umum disidik polisi, sedangkan tindak pidana korupsi disidik KPK, selanjutnya kejaksaan hanya melakukan penuntutan, atau tetap mempertahankan kondisi ketiga lembaga penegakan hukum ini seperti sekarang tetapi dengan menata mekanisme yang ada.

Sebetulnya masyarakat masih membutuhkan ketiga lembaga penegakan hukum ini, tetapi dengan syarat bahwa mereka harus bekerja demi melindungi masyarakat dari tindak pidana kejahatan bukan merekayasa masyarakat supaya menjadi terdakwa. Seharusnya lembaga penegakan hukum ini bahu-membahu memberantas kejahatan dengan fungsi masing-masing. Mereka seharusnya menjadi pahlawan dalam memberantas korupsi bukan pengkhianat.

Saatnya dibentuk lembaga pengawas terhadap ketiga lembaga penegakan hukum ini. KPK tentu tidak boleh tidak diawasi, mereka tetap harus dalam koridor hak asasi manusia dalam menjalankan fungsinya, tetapi juga harus didukung mekanisme yang jelas serta dukungan dari semua birokrasi. Misalnya kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK harus diatur secara jelas sebab akan mengganggu hak asasi seseorang, di mana pun di dunia modern penyadapan itu harus seizin pengadilan. Persoalannya apakah hakim-hakim kita siap diketuk pintu tengah malam untuk diminta izinnya melakukan penyadapan dan izinnya akan turun dalam tempo satu jam.

Polisi pun mengingat kedudukannya langsung di bawah presiden tentu mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Oleh karena itu, apabila belum bisa dilakukan penataan secara kelembagaan dalam arti reposisi di bawah sebuah departemen, diperlukan lembaga pengawas yang kedudukannya langsung di bawah presiden juga sehingga ada kesederajatan dengan polisi. Demikian juga lembaga kejaksaan. Mengandalkan hanya kepada lembaga pengawas seperti komisi kepolisian dan komisi kejaksaan atau kepada inspektorat di masing-masing lembaga tidak akan meghasilkan kebaikan apa pun, dan masyarakat pun tidak percaya kepada kinerja lembaga inspektorat tersebut.

Masyarakat memerlukan pahlawan-pahlawan penegak hukum, bukan mafia peradilan. Semangat pahlawan yang jujur, ikhlas, dan tanpa pamrih seharusnya menjiwai semangat penegakan hukum. Sudah saatnya aparat penegak hukum tidak bermain-main dengan penegakan hukum dan keadilan masyarakat. Arah penegakan hukum harus ditujukan kepada pencapaian keadilan sejati bagi masyarakat.***

Penulis, Guru Besar Hukum Pidana & Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Unisba, Dosen Kopertis Wilayah IV Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 29 April 2010