29 April 2010

» Home » Kompas » Sekutu Berdesain Seteru

Sekutu Berdesain Seteru

Melindungi semangat korps! Itulah kesan yang sulit dihindari saat Mahkamah Agung menyerobot pemeriksaan yang sudah direncanakan Komisi Yudisial atas dua hakim, Haran Tarigan dan Bambang Widyatmoko.
Keduanya adalah rekan satu majelis hakim dalam perkara Gayus Tambunan yang diketuai Muhtadi Asnun, hakim yang telah mengakui menerima Rp 50 juta dari Gayus Tambunan. Tak pelak, penyerobotan itu membuat hubungan Mahkamah Agung (MA)-Komisi Yudisial (KY) kembali menegang setelah sekian lama adem ayem menyusul berakhirnya kepemimpinan Bagir Manan dan tampilnya Harifin A Tumpa sebagai ketua MA.
Apa yang sedang terjadi? Inikah jilid II perseteruan MA- KY? MA yang jemawa atau KY yang sibuk mencari pekerjaan pengawasan hakim pascapembatalan pasal-pasal pengawasan dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY (UU KY) oleh Mahkamah Konstitusi (MK)?
Kita tentu ingat, di awal-awal terbentuknya KY, perseteruan MA-KY jilid I mengemuka seiring dengan rencana KY menyeleksi ulang hakim agung yang dibalas MA dengan usulan menyeleksi ulang anggota KY; KY mengumumkan hakim bermasalah pada tahap pemeriksaan awal yang menurut MA seharusnya menjadi rahasia; dan rekomendasi sanksi KY terhadap sejumlah hakim yang diabaikan MA. Puncaknya adalah saat 31 hakim agung mengajukan permohonan uji materi atas UU KY ke MK yang berujung pada raibnya wewenang pengawasan KY.
Jika semangat korps diartikan sebagai kemampuan sekelompok orang untuk bekerja sama dalam mengejar tujuan yang sama dan memupuk kepercayaan diri untuk suatu aktivitas positif, tentu tidak jadi masalah, malah sangat dianjurkan. Namun, jika semangat korps dijadikan instrumen untuk mengamuflase kebobrokan hakim, tentu tak pada tempatnya.

 

Internal versus eksternal
Tindakan penyerobotan MA bisa dimaknai sebagai tiadanya koherensi antara pengawasan internal MA dan pengawasan eksternal KY. Alih-alih menjadi jembatan penghubung pengawasan eksternal, pengawasan internal memutus keterkaitannya dengan pengawasan eksternal dengan cara ”mengadvokasi” hakim nakal dari pengawasan KY. Hal ini diperparah dengan arogansi MA yang merasa sebagai pengawas hakim utama sembari pada saat yang sama menganggap KY adalah pengawas pinggiran.
Jalan menuju potensi penyerobotan semacam ini memang seperti diabsahkan oleh Pasal 43 UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan penegasan bahwa ”Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim diperiksa oleh MA dan/atau KY.” Konstruksi penormaan kumulatif-alternatif dengan frasa ... dan/atau ... yang terdapat dalam pasal tersebut menjadikan baik MA maupun KY berwenang melakukan pemeriksaan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, atas hakim yang sama. Hal ini memungkinkan adanya pemeriksaan dua kali oleh lembaga yang berbeda dengan risiko hasil yang berbeda pula. Ukuran-ukuran yang dipakai MA-KY boleh jadi sama (kode etik dan pedoman perilaku hakim), tetapi derajat kepentingan keduanya untuk menjaga nama baik kelembagaan tentu saja berbeda. Sederhananya, MA tak mungkin menghukum berat hakim yang menjadi bagian dari keluarga besarnya.
Pasal 32A UU No 3/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung pun mengonfirmasi tiadanya koherensi antara pengawasan internal dan eksternal dengan menyatakan, pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh MA dan pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh KY. Namun, UU ini tidak mengatur mekanisme bagaimana agar kedua pengawasan tersebut menjadi dua hal komplementer.
Pembentuk UU (DPR-Presiden) agaknya alpa pada putusan MK No 005/PUU- IV/2006 yang mengamanatkan pola hubungan kemitraan antara MA-KY tanpa memengaruhi kemandirian masing-masing. UU justru tidak memberikan landasan kuat menuju hubungan kemitraan itu. Bahkan, memberikan peluang berjalan dengan logika pengawasannya masing-masing. Apalagi MA masih enggan menerima seratus persen segala hal yang berkaitan dengan pengawasan eksternal.
Memang, upaya menjalin hubungan kemitraan sudah coba dibangun oleh MA-KY dengan menetapkan keputusan bersama antara ketua MA dan ketua KY No 047/KMA/SKB/IV/2009-Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dan No 129/KMA/SKB/IX/2009 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.
Namun, sulit dimungkiri pemeriksaan yang dilakukan oleh MA terhadap hakim nakal selama ini sesungguhnya lebih berfungsi sebagai ”pembekalan” dan ”pengondisian” terhadap hakimnya sehingga punya cukup alasan untuk ngeles dari bidikan KY. Tampaknya inilah motivasi MA melakukan penyerobotan pemeriksaan. Cukup ironis, MA-KY yang semula diidealkan sebagai sekutu dalam pengawasan hakim ternyata didesain sebagai seteru oleh undang-undang.
A Ahsin Thohari Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta

Opini Kompas 30 April 2010