29 April 2010

» Home » Lampung Post » Agenda Strategis Muhammadiyah

Agenda Strategis Muhammadiyah

Fathorrahman Hasbul
Peneliti pada The Indonesian View Yogyakarta
Pada peluncuran buku Muhammadiyah Gerakan Pembaruan karya Haedar Nashir di Gedung Joang 45 Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 24 April lalu, Syafii Ma'arif mengatakan bahwa menjelang muktamar satu abad nanti, Muhammadiyah tidak boleh diintervensi pihak mana pun, termasuk pemerintah. Dia juga memberi contoh di seputar kemelut Nahdatul Ulama (NU) pascakongres menyangkut pembentukan struktur kepengurusan yang menuai protes. Menurut dia, menjelang kongres, apa yang terjadi di NU kini tidak pantas jika kemudian juga terjadi pada Muhammadiyah.
Gagasan di atas menunjukkan bahwa sinyalemen optimisme di batang tubuh petinggi Muhammadiyah tampaknya terus mengemuka. Setidaknya, gagasan yang penuh dengan harapan tersebut, dapat digenaralisasikan sebagai sebuah ikhtiar pengembangan luar biasa yang patut dijadikan kontemplasi bagi seluruh kader dan anggota Muhammadiyah.


Fondasi Khitah
Harapan Syafii Ma'arif harus diartikulasikan sebagai salah satu poin penting untuk dihadirkan ke dalam Muktamar Juli nanti. Sebab, secara historis, sejak awal berdirinya, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan sosial kemasyarakatan dan sama sekali tidak bergerak dalam segmentasi politik praktis. Ia merupakan gerakan sosial keagamaan untuk membedakannya dari Syarikat Islam (SI) sebagai gerakan politik tempo doeloe (Maarif, 1996:). Muhammadiyah selalu berkomitmen untuk mengesampingkan masalah-masalah politik dan lebih menaruh perhatian pada masalah-masalah sosial, agama, dan kesejahteraan umat Islam (Geertz, 1989:188).
Kepribadiannya untuk tidak terjebak pada diaspora politik kekuasaan yang telah dirumuskan terus dipertahankan dan diperjuangkan dengan kuat. Terbukti pada muktamar tahun 1956 di Palembang, lahirkan sebuah rumusan yang merupakan representasi nyata dari pokok-pokok pikiran Kiai Fakih Usman yang kemudian diamanatkan pada tahun 1962 oleh Muhammadiyah sebagai salah satu kerangka khitah. Muhammadiyah terus mempertahankan diri untuk berpijak pada jalur gerakan kemasyarakatan secara holistik.
Potret sejarah panjang di atas, menyiratkan makna penting bahwa konsep kepribadian Muhammadiyah yang utama adalah konsep amar makruf nahi mungkar. Konsep khitah perjuangan Muhammadiyah berisi peryataan tentang garis perjuangan dalam menghadapi dinamika kehidupan masyarakat, ukhuwah islamiyah, lebih-lebih dalam menghadapi belantara politik.
Khitah Muhammdiyah ini tampaknya merupakan koridor tempat "bermain" untuk memelihara independensi dan kekuatan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan. Di sini, gerak laju Muhammadiyah tidak sepenuhnnya dapat dijustifikasi sebagai organisasi yang “buta” terhadap politik praktis, tetapi lebih kepada usaha untuk membuka cakrawala publik tentang hakikat luhur politik dan sejenisnya.
Agenda ke Muktamar
Apa yang menjadi kegelisahan Syafii Ma'arif penting diterjemahkan ke dalam kerangka dan subsistem yang objektif. Menjelang muktamar dan ulang tahunnya yang ke-100, agenda yang harus dibawa ke muktamar adalah komitmen khitah itu sendiri. Dari sekian banyak agenda mendesak yang harus dikaji antara lain:
Pertama, masalah partisipasi politik warga Muhammadiyah. Fakta menunjukkan bahwa di kalangan internal Muhammadiyah sendiri, telah tumbuh partisipasi yang tinggi dari orang-orang Muhammadiyah, baik tingkat elite maupun massa untuk mengambil peran dalam reformasi kehidupan nasional melalui partai politik seperti PAN misalkan. Kanyataan ini, pada kongres mendatang harus diperjelas.
Kedua, pandangan mengenai politik. Kenyataan menunjukkan dengan dalih berpijak pada khitah Muhammadiyah 1971, ternyata masih tumbuh pada sebagian orang Muhammadiyah yang memandang politik sebagai sesuatu yang negatif. Kecenderungan yang bersifat konservatif ini amat berbenturan dengan mereka yang "suka" pada politik praktis. Jika ini tidak ditelaah, tidak menutup kemungkinan chaos, disparitas, konflik, dan sejenisnya dimungkinkan akan lahir.
Ketiga, tentang independensi. Ketika Muhammadiyah menancapkan semangat independensi dari kekuatan politik, maka bagaimana kemudian semangat independensi itu harus dijaga secara utuh agar tetap lestari sampai kapan pun, semangat independen sangat penting untuk terus dijaga karena semangat itulah yang akan menjadi kekuatan tunggal Muhammadiyah untuk terus berdialektika dengan perubahan zaman yang makin kompleks.
Keempat, mengenai artikulasi dan fungsi politik. Ketika Muhammadiyah menjauh dari dunia politik maka ia dituntut memainkan fungsi sebagai kekuatan politis yang unggul dalam kapasitasnya sebagai organisasi sosial keagamaan. Artinya, Muhammadiyah tidak cukup hanya memainkan sikap-sikap pasif dengan idiom-idiom administratif belaka, tetapi sosialisasi pendidikan politik bagi publik harus juga menjadi prioritas utama yang tidak bisa diabaikan.
Itulah empat agenda yang harus dibawa ke dalam muktamar nanti. Sederhananya, jika empat agenda itu dikaji secara komprehensif, ketakutan akan adanya intervensi dari pemerintah niscaya akan nisbi.
Opini Lampung Post 30 April 2010