29 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono menurut rencana mencanangkan pendidikan karakter pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2010. Bisa jadi peringatan itu merupakan hari istimewa. Hari ketika bangsa ini telah sadar secara kolektif bahwa ternyata pendidikan tidak cukup hanya mengajarkan anak menjadi pandai, menguasai ilmu dan teknologi, pandai bicara di forum, piawai mengelola organisasi, dan sejumlah indikator kasat mata yang sering memukau tapi belakangan ”menjebak”.

Menjebak karena menurut Rofiq Anwar (2000), betapa banyak perguruan tinggi melahirkan sarjana ekonomi, tapi masih saja terdapat kesenjangan kesejahteraan. Betapa banyak sarjana hukum diluluskan namun hukum lebih dominan berlaku bagi rakyat kecil. Demikian pula, sarjana politik tak kurang banyaknya, namun politik bukannya mengantarkan pada ketentraman, justru sebaliknya.


Kegalauan tersebut nampaknya dapat terbaca melalui fenomena sosiali. Nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, keramahtamahan sosial, dan rasa cinta Tanah Air yang pernah dianggap sebagai kekuatan pemersatu dan ciri khas bangsa Indonesia makin pudar bersamaan dengan menguatnya nilai-nilai materialisme.

Maka ketika telunjuk mengarah pada dunia pendidikan yang dinilai paling strategis mengubah perilaku bangsa, pemerintah tersadar untuk mencanangkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter menekankan dimensi etis spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Pencetusnya pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.

Pendidikan Karakter

Menurut Foerster (dalam Doni Koesoema), ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama; keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua; koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Ketiga; otonomi.

Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat; keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Berdasarkan perspektif agama (Islam), hakikat makna pendidikan adalah ikhtiar secara sadar dan sungguh-sungguh agar manusia mampu menjadi manusia sebagaimana dikehendaki Tuhan, yakni sebagai hamba Allah (abdullah) dan wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi.

Aktualisasi atas kedudukannya sebagai khalifah tercermin ketika manusia mampu mengoptimalkan seluruh potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya dalam kerja-kerja kemanusiaan.
Sedangkan kedudukannya sebagai abdullah tersermin ketika keseluruhan kerja kemanusiaan yang merupakan aktualisasi dari peran khalifah dipersembahkan untuk mencapai derajat tujuan tertinggi, mardlatillah (keridaan Allah).

Tentu saja membentuk manusia sebagaimana dicita-citakan tersebut tidak cukup dilalui dengan pendidikan yang hanya berorientasi pada capaian prestasi kebendaan semata namun harus dilalui dengan pendidikan yang secara serius mampu menghadirkan nilai-nilai agama yang kuat.

Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa pendidikan kita belum mampu mencerdaskan bangsa ini secara lebih komprehenshif. Di antara faktor tersebut menurut Djohar (KR, 18 Juni 2001) adalah sistem pendidikan yang digunakan selama ini telah membelenggu semua pihak. Hal ini karena sistem pendidikan yang kita gunakan itu sangat sentralistik, kaku, dan diberlakukannya keseragaman yang berlebih.

Faktor lainnya menurut Rofiq Anwar (2000) karena dunia saat ini dikuasai oleh peradaban materi sehingga desain pendidikan yang dibangun lebih dominan pada kultur materialistik. Sementara pendidikan yang berlangsung lebih banyak menghadirkan ilmu dengan sedikit nilai-nilai moralitas, teori dengan sedikit praktik, sehingga proporsionalitasnya tidak berimbang.

Ketika kesadaran bahwa pendidikan karakter menjadi jawaban atas problematika bangsa, maka yang perlu diperhatikan adalah, pertama; pendidikan karakter tidak cukup hanya sekadar diwacanakan tapi perlu praktik secara langsung. Kedua; perlu figur guru/dosen yang berperan tidak saja sebagai mitra belajar, namun jauh lebih penting dari itu semua adalah mampu menjadi uswah khasanah (teladan yang baik). Ketiga; perlu didukung seluruh pelaksana pendidikan dan sarana peribadatan yang memadai sebagai media efektif menanamkan nilai-nilai religius pada anak didik.

Keempat; perlu pembiasaan, kontinuitas, dan istikamah. Unissula Semarang memiliki pengalaman cukup menarik dalam memberlakukan Budaya Akademik Islami (BudaI=dengan i besar). Pro dan kontra terhadap pemberlakuan BudaI dihadapi dengan istikamah. Hal ini karena memang diniatkan untuk kebaikan. BudaI berikhtiar menanamkan nilai-nilai agama meskipun hanya sekadar membiasakan shalat berjamaah, berbusana islami, membiasakan thaharoh (bersuci), berperilaku sopan, dan kebiasaan keseharian lainnya.

— Nuridin SAg MPd, dosen Fakultas Bahasa Unissula, Ketua II Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung

Wacana Suara Merdeka 30 April 2010