29 April 2010

» Home » Kompas » Demokrasi dan Partisipasi Rakyat

Demokrasi dan Partisipasi Rakyat

Ketika bertemu dengan warga Indonesia di Washington, Wakil Presiden Boediono berbicara dan membuat asumsi, jika demokrasi tak menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat dan membuat pemerintahan jadi efektif, rakyat bisa menolak demokrasi seperti yang terjadi di masa silam (Kompas, 13/4).
Pandangan Wapres itu lebih terkesan seolah ia tidak berada dalam pemerintahan. Namun, demokrasi bukan sekadar diharapkan untuk meraih kesejahteraan rakyat, melainkan pertama-tama adalah untuk partisipasi rakyat. Secara historis, demokrasi yang mulai berlangsung di Indonesia—juga pada umumnya di negeri-negeri bekas jajahan—berbeda dengan Inggris, AS, dan Perancis pada abad ke-18. Reformasi politik 1998 adalah karena krisis ekonomi dan dipengaruhi faktor global.

 

Sementara itu, demokrasi pada dasawarsa 1950-an berlangsung setelah bebas dari kolonial Belanda dan pendudukan militer Jepang. Kegagalan dalam mempertahankannya bukan karena rakyat menolaknya, melainkan karena krisis ekonomi, menguatnya politik militer, dan faktor internasional. Meski begitu, reformasi atau demokratisasi yang sedang berjalan hingga kini bukanlah ”hadiah” dari penguasa, melainkan buah dari proses politik yang panjang dari perjuangan berbagai kelompok di masyarakat, seperti mahasiswa dan buruh, termasuk dukungan internasional.
Sebelum munculnya sistem kepartaian yang sekarang ini, sejumlah elemen masyarakat telah memainkan peran politiknya. Gerakan mahasiswa yang mempromosikan kebebasan berekspresi, tuntutan pemogokan, serta pembentukan serikat buruh dan tani ataupun organisasi nonpemerintah (ornop) yang mengangkat isu demokrasi dan HAM.
Rasanya aneh jika mereka yang telah memainkan peran politik itu dicurigai akan menolak demokrasi. Jika ada yang menolak, seharusnya diperjelas ”rakyat” mana saja yang bakal menolak? Demokrasi tak bisa direduksi hanya sekadar pemilu dan pilkada karena pergelaran politik ini berlangsung dalam lima tahun sekali. Padahal, persoalan politik yang dihadapi rakyat dapat berlangsung setiap hari.
Jika pemilu dan pilkada dinilai ibarat pasar dalam jual beli suara dan ditingkahi ”politik uang” (money politics), para pelakunya memang lebih sebagai ”pedagang politik” ketimbang memegang prinsip kejujuran dan sekadar memanfaatkan sistem yang ada demi kepentingannya. Atau dagang politik dengan ”jual tampang” berkat popularitas, tetapi bukan untuk membantu rakyat memecahkan persoalannya.
Partisipasi rakyat
Pada dasarnya, fondasi demokrasi terletak pada partisipasi rakyat. Dengan itu, lebih mungkin berlaku moto: ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Partisipasi rakyat tersebar dalam berbagai organisasi atau lembaga. Pertama, pemerintah harus digerakkan ke arah pemerintahan yang efektif bagi kepentingan rakyat, bukan sekadar elite politik dan ekonomi. Secara program, bagaimana memperkuat industri dan sektor unggulan yang melibatkan lebih banyak pihak. Belum ada orientasi pemerintah yang jelas untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Bagaimana menebas korupsi dan menguatkan ekonomi yang dapat menyerap banyak pekerja. Koalisi di dalamnya lebih sibuk menangkal dugaan korupsi atau mengalihkan isu agar belang tertutupi.
Kedua, belum ada parpol yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Mereka lebih mementingkan kelompok sendiri ketimbang kampanye konsisten untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Juga masih ada yang berwatak sektarian. Tanpa memajukan partisipasi rakyat, parpol dipastikan sulit mendapatkan kader sehingga gampang saja comot sana-sini sejumlah figur yang populer demi ”jual tampang” dalam memenangkan kursi parlemen atau pilkada.
Ketiga, pengusaha dan buruh adalah dua kelompok masyarakat yang dapat memainkan peran bagi kesejahteraan rakyat. Belum ada karakter pengusaha yang berkorban untuk kepentingan ekonomi nasional. Motif mereka masih dominan pada upaya mengeruk untung sebanyak mungkin dalam tempo yang sesingkat mungkin. Sementara itu buruh adalah kelompok yang paling berkepentingan untuk memajukan kesejahteraan rakyat dan pertama-tama melalui kesejahteraannya. Dengan kebutuhan riil mereka, diperlukan penguatan serikat buruh yang berpandangan politik untuk kesejahteraan.
Keempat, lapisan mahasiswa masih dipandang sebagai elemen yang bisa menerapkan partisipasi rakyat dan menggulirkan isu kesejahteraan rakyat. Mereka bisa berpartisipasi bukan saja pada persoalan korupsi, tetapi juga penggusuran penduduk dan tingkat upah buruh yang masih rendah. Kelima, memang relatif kecil, tetapi partisipasi yang ditunjukkan sejumlah ornop, baik yang bergerak di bidang HAM, pemberdayaan masyarakat dan lingkungan hidup maupun peningkatan usaha kecil atau pendapatan salah satu mata rantai yang juga patut diperhitungkan.
Hendardi Ketua Badan Pengurus Setara Institute

Opini Kompas 30 April 2010