29 April 2010

» Home » Media Indonesia » Dari Arnold Schwarzenegger sampai Jupe

Dari Arnold Schwarzenegger sampai Jupe

DENNY YA, Ketua Umum Asosiasi Konsultan Politik, secara khusus bertemu dengan Menteri Dalam Negeri, Jumat 23 April lalu. Topik yang dibahas ialah Maraknya artis mencalonkan diri dalam Pilkada. Usai bertemu Menteri Dalam Negeri, Denny berucap keras, "Biarkan masyarakat yang menilai dan memutuskan soal moral calon kepada daerah!" Dengan pernyataan itu, ia mengkritik Kementerian Dalam Negeri yang sedang membuat konsep untuk menjabarkan 'Memiliki moralitas yang baik' sebagai salah satu persyaratan bagi seseorang yang hendak mencalonkan diri dalam pemilu kada. Kenapa pemerintah harus mengatur soal moral?
Pertanyaan ini identik dengan pertanyaan yang tempo hari banyak dilemparkan LSM ketika RUU Pornografi sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi, akhirnya 1,5 tahun yang lalu RUU itu disahkan DPR. Masih tidak puas, sejumlah LSM dan ahli hukum menggugat UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan pertimbangan bahwa kebudayaan dan local wisdom akan hancur jika UU tersebut dilaksanakan. Di MK, Prof Mahfud dan kawan-kawan (dengan suara 8:1) menolak gugatan itu. Hanya ada 1 anggota MK yang perempuan, yaitu Prof Dr Maria Farida Indrati SH, dan dialah satu-satunya anggota MK yang mengeluarkan dissenting opinion. Ia menolak pengguguran uji materi terhadap UU Pornografi. Aneh kedengarannya memang jika perempuan menolak komersialisasi tubuh perempuan oleh kaum lelaki!


Negara jangan ikut campur soal moral? Jadi, siapa yang 'menjaga gawang' moralitas? Mereka jawab secara spontan, "Biarkan saja urusan moralitas bergulir bebas seperti bola liar yang bergulir ke sana sini. Bukankah sekarang zaman reformasi, zaman keterbukaan? Menolak kebebasan menyatakan pendapat kendati isinya berbau porno dan cabul merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Di mata mereka, porno hanya khayalan seseorang yang otaknya ngeres. Porno sesungguhnya tidak ada, teriak mereka. Gambar telanjang perempuan itu seni yang harus dinikmati oleh mata siapa pun, khususnya kaum pria. Lagi pula, seni sekali-sekali tidak boleh dibunuh. Logika yang sama dipakai sekarang, yakni menolak seseorang ikut pemilu kada dengan argumentasi moralnya cacat adalah tindakan pelanggaran HAM, walaupun si calon terkenal tukang kawin cerai atau punya hobi seks bebas. 'Syarat antizina untuk jadi kepala daerah melecehkan kecerdasan politik,' tulis sebuah harian beken. Dahsyat! Walaupun perempuan itu terperangkap basah kumpul kebo dengan pria yang sudah punya istri dan foto telanjang bulat mereka tersebar dari Sabang sampai Merauke, ia tetap berhak mengikuti pemilu kada. He He he....
Pemikiran seperti ini, menurut saya, amat berbahaya! Orang-orang yang mempunyai pemikiran dan sikap seperti itu jelas hendak membawa negara dan bangsa kita ke alam permisif, alam yang membolehkan segalanya terjadi secara bebas. Mau kasih lihat payudara atau selangkangan paha perempuan secara demonstratif, mau seks bebas, selingkuh atau jadi pelacur, semua itu urusan pribadi seseorang. Jangan Anda campuri!
Bukankah di negara-negara maju pun banyak artis yang terjun ke dunia politik? Bahkan Ronald Reagan bertahun-tahun menjadi aktor sebelum menjadi presiden. Arnold Schwarzenegger juga berjaya di dunia layar perak. Ia kemudian terpilih sebagai Gubernur California, salah satu negara bagian terpenting dalam kancah perpolitikan Amerika. Tapi, orang lupa bahwa Reagan dan Arnold, dari segi moralitas, tidak memiliki cacat. Keduanya setia dengan pasangan hidupnya. Nancy setia mendampingi Reagan sampai sang Presiden wafat. Kehidupan rumah tangga Arnold dengan Maria Shriver pun nyaris tidak pernah diwarnai gonjang-ganjing.

Kasus Clinton
Di Amerika, orang yang cacat moralnya hampir mustahil bisa meraih karier yang tinggi. Rakyat menuntut setiap calon pejabat publik untuk benar-benar bermoralitas baik. Seorang calon presiden dari Partai Demokrat, 25 tahun yang lalu, dipaksa mengundurkan diri karena sexual affair-nya dengan wanita lain terungkap. Padahal, ketika itu popularitas sang calon sedang melambung cukup tinggi. Ia menangis tatkala mengumumkan pengunduran dirinya dihadapan ratusan wartawan. Itu berarti senator ini masih memiliki rasa malu.
Ketika Senator John Tower dicalonkan sebagai Menteri Pertahanan dalam pemerintahan Bush (Senior), ia harus menghadapi screening superketat oleh kongres. Akhirnya, diketahui bahwa kehidupan moral Tower di masa lampau 'tidak beres'. Ia terkenal dengan hobi womanizing, alias main perempuan. Bahkan di lift pun suatu hari ia ketahuan nekat meraba-raba buah dada seorang perempuan. Maka, kongres secara bulat menolak pencalonan John Tower.
Rakyat Amerika semula gusar ketika Presiden Bill Clinton akhirnya mengaku-- sambil meneteskan air matanya bahwa ia berselingkuh dengan Monica Lewinsky. Nyaris Clinton di-impeach. Tapi, sebagian besar rakyat akhirnya memberikan pardon mengingat jasa pemerintahan Clinton dalam memajukan perekonomian nasional.

Syarat pemimpin
Di buku ajar tentang manajemen atau leadership mana pun ditulis bahwa seorang pemimpin minimal harus memenuhi 3 (tiga) persyaratan dasar, yaitu integritas, moralitas, dan kemampuan. Tiga persyaratan ini bertambah penting lagi untuk pemimpin negara dan organisasi publik. Integritas adalah kunci sukses kehidupan dan kebahagiaan seseorang. Orang yang integritasnya buruk hampir dipastikan kehidupannya 'berantakan'. Moralitas terkait dengan perilaku benar dan tercela mengacu kepada ajaran agama. Pandangan yang merendahkan ajaran agama semata-mata karena kita berada di era modernisasi adalah pandangan yang menyesatkan. Tanpa tuntunan agama, kehidupan seseorang hampir dipastikan hancur. Jika seseorang tidak mampu mengelola kehidupannya sendiri, pantaskah ia diberikan kesempatan mengelola negara, atau propinsi atau kabupaten dengan rakyat berjumlah jutaan, bahkan puluhan juta jiwa?!
Maka, saran kita kepada pemerintah, jangan mau bergeser dengan syarat moralitas untuk setiap calon presiden, calon gubernur, calon bupati. Buka buku ajaran ilmu politik mana pun. Di sana pasti tertulis bahwa pemerintah memang mempunyai tugas sebagai 'penjaga gawang moralitas'. Kalau tidak, apalagi gawang moralitas dicabut dan dienyahkan, apa jadinya bangsa ini? Televisi dan film bebas mempertontonkan acara apa pun asal disenangi khalayak, termasuk adegan seks bugil atau gambar-gambar telanjang. Media cetak dan media online idem ditto. Biarkan saja. Biarkan masyarakat yang menilai dan menjadi hakimnya.
Anda ingat seorang bintang porno dari Italia yang hendak mencalonkan diri sebagai wali kota? Dia berkampanye keliling dengan berbusana setengah telanjang untuk menarik simpati rakyat. Tapi, hasilnya nihil. Warga hanya menjadikan bintang porno itu sebagai tontonan, atau obyek tertawaan.
Jika pemerintah 100% angkat tangan dalam persoalan moralitas, apalagi jika organisasi-organisasi kemasyarakatan, khususnya organisasi agama dan perempuan juga ikut-ikutan tidak peduli dengan persyaratan moralitas untuk menjaring pemimpin, negara ini akan bertambah hancur!
Memang, urusan zina bukan hanya domain kaum perempuan. Lelaki barangkali lebih banyak yang melakukan zina. Melakukan korupsi pun cermin dari moralitas yang bejat; mungkin dosanya lebih berat daripada zina. Lalu, kenapa koruptor dibiarkan mencalonkan diri dalam pemilu kada? Seharusnya calon-calon seperti ini pun ditangkal, tidak dibiarkan lolos bergentayangan menjadi pemimpin kita. Menjadi tugas kita semua untuk mengawasi dan mencegahnya!

Oleh Prof Dr Tjipta Lesmana MA, Guru Besar Komunikasi Politik UPH 
Opini Media Indonesia 30 April 2010