23 April 2010

» Home » Republika » Revitalisasi Cendekia

Revitalisasi Cendekia

Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia diramaikan oleh berbagai peristiwa, seperti kasus Bank Century, perkara makelar kasus, hingga kerusuhan massa Tanjung Priok. Kasus-kasus itu menunjukkan bahwa bangsa dan negara memang belum terlepas dari berbagai persoalan mendasar. Kenyataan tersebut mengundang sebuah pertanyaan, yaitu di mana peran kalangan cendekiawan atau intelektual Islam dalam membantu bangsa dan negara mengatasi persoalan-persoalan mendasar itu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menengok keberadaan serta peran Ikatan Cendekiwan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang telah berkontribusi besar bagi transformasi Indonesia. Organisasi ini lahir dari sebuah kebutuhan untuk menjawab persoalan mendasar bangsa pada akhir periode 1980-an. Saat itu, pembangunan ekonomi Indonesia sedang berlangsung pesat hingga kemudian mendapat banyak penghargaan dari komunitas internasional. Akan tetapi, di balik keberhasilan tersebut, terdapat ketimpangan besar yang harus diatasi.



Umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia masih terpinggirkan dalam bidang ekonomi, politik, bahkan sosial. Kegiatan keagamaan banyak dibatasi, bahkan dicurigai. Hal tersebut bukan saja bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan, tetapi juga menghambat kemajuan bangsa. Melalui deklarasi di Universitas Brawijaya Malang tahun 1990, ICMI lahir sebagai hasil akumulasi kepedulian para cendekiawan Muslim terhadap ketimpangan tersebut. ICMI menjadi sarana untuk membawa umat Islam ke tengah arus utama (mainstream ) kehidupan berbangsa dan bernegara dengan wajah keislaman yang moderat dan terbuka.

Memimpin transformasi
Meskipun menghadapi tantangan keras dari berbagai pihak saat itu, seperti elite militer, politik, dan ekonomi, ICMI terus bergerak mengatasi berbagai persoalan mendasar bangsa. Lewat organisasi ini, kalangan cendekiawan Muslim menerobos larangan mendirikan bank syariah dengan membentuk Bank Muamalat serta membongkar monopoli media aspirasi publik dengan mendirikan surat kabar  Republika . Terobosan penting lain adalah menginisiasi pengembangan lembaga keuangan mikro  Baitul Mal wa Tamwil (BMT), menumbuhkembangkan kecendekiawanan di kalangan muda melalui Majelis Sinerji Kalam (Masika), hingga membangun model sekolah berkualitas, seperti Insan Cendekia.

Para intelektual Muslim menggarap transformasi Indonesia melalui para kader ICMI, baik dari dalam maupun luar pemerintahan. Dipelopori oleh tokoh-tokoh ICMI di Kabinet VI (1993-1998), terjadilah perubahan orientasi pemahaman dan kebijakan ekonomi dari pendekatan makro ke pendekatan mikro, dari ekonomi yang liberal ke ekonomi kerakyatan. Konsep  trickle down effect dari pertumbuhan ke kesejahteraan telah mulai dipertanyakan. Konsep ekonomi rakyat, percepatan pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat dan pendekatan keberpihakan, mulai dikembangkan dan diterapkan ke dalam kebijakan-kebijakan pembangunan.

Di luar pemerintahan, ICMI mendorong demokratisasi, antara lain melalui gerakan penegakan hak asasi manusia (HAM). CIDES, lembaga kajian yang dibentuk organisasi ini, menjadi motor penggerak diskusi-diskusi HAM yang saat itu masih tabu hingga beberapa kali mengundang pelarangan. Sementara itu, sejumlah tokoh ICMI tampil memimpin gerakan yang mendorong terjadinya reformasi hingga harus bertentangan dengan kekuasaan. Peran para intelektual Muslim tersebut diapresiasi seorang ahli Indonesia berkebangsaan Swedia, Anders Uhlin, pada 1997.

It was easy to find support for democracy within Islamic thinking as it had been a common theme for a long time among Islamic modern thinkers. Neomodernist took to step further when they try to root their ideas more firmly in the Islamic tradition . Uhlin lebih jauh mengemukakan bahwa  the consistency over a long period of time with which major Muslim leaders and intellectuals have demanded democratization, indicates true commitment .

Lahirnya pemerintahan Reformasi menjadi kesempatan berharga bagi para cendekiawan Muslim untuk berkontribusi melalui kepemimpinan presiden BJ Habibie. Pemerintahan ini berhasil secara efektif, baik dalam menangani persoalan ekonomi maupun politik. Laju inflasi sebesar 75 persen berhasil ditekan hingga mendekati nol persen serta nilai tukar rupiah yang melemah hingga Rp 16.000 per dolar Amerika dapat diangkat menjadi Rp 7.000 per dolar Amerika. Indeks Harga Saham Gabungan dapat dinaikkan 160 persen dalam waktu singkat. Ledakan pengangguran dan proses pemiskinan kembali dapat diatasi secara efektif lewat berbagai program Jaring Pengaman Sosial.

Dalam politik, 'pemerintahan cendekiawan Muslim' berhasil membangun fondasi demokrasi yang sangat solid. Pembebasan tahanan politik, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, pencabutan pembatasan terhadap pers, pemisahan kepolisian dari militer, desentralisasi, dan otonomi daerah merupakan sebagian dari langkah yang ditempuh. Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mencabut pembatasan masa jabatan presiden hingga dimungkinkannya pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung juga merupakan produk pemerintahan ini. Hanya dalam waktu satu setengah tahun, sebanyak 67 undang-undang berhasil ditetapkan.

Perlu diperkuat
Satu setengah tahun kepemimpinan presiden Habibie merupakan suatu pembuktian betapa efektif peran para intelektual Muslim dalam berkontribusi kepada bangsa dan negara. Efektivitas tersebut, baik dalam ekonomi maupun maupun membangun fondasi politik, melampaui hasil kinerja kabinet lainnya sebelum ataupun sesudah era Habibie. Dapat dikatakan bahwa transformasi Indonesia sulit mencapai tingkat seperti sekarang tanpa peran efektif para cendekiawan Muslim pada tahun 1998-1999.

Sayangnya, efektivitas kontribusi para cendekiawan Muslim tersebut berkurang secara drastis. Turunnya Habibie dari kepemimpinan nasional membuat ICMI sebagai organisasi cendekiawan Muslim harus surut ke belakang, dari posisi perancang dan pelaksana pembangunan untuk kembali menjadi 'pengamat'. Pada saat yang sama, laju pembangunan belum berjalan seperti yang diharapkan. Pelaksanaan demokrasi baru sebatas sebagai demokrasi prosedural yang berbiaya mahal dan belum menjadi demokrasi substansial yang secara nyata mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada era 2000-an, para cendekiawan Muslim sebenarnya masih banyak yang berperan dalam pembangunan bangsa dan negara. Kontribusi tersebut umumnya dilakukan secara individu dengan menggunakan kendaraan partai serta pendekatan politik masing-masing. Dengan pendekatan demikian, peran intelektual Islam dalam memberi kontribusi pada bangsa dan negara menjadi kurang efektif. Padahal, justru sekarang, saat Indonesia harus menghadapi tantangan kompetisi global, serbuan budaya asing, serta pelemahan moral bangsa, peran cendekiawan Muslim semestinya lebih diperkuat lagi.

Opini Republika 24 April 2010