23 April 2010

» Home » Republika » Hari Lahir Emas 50 Tahun PMII

Hari Lahir Emas 50 Tahun PMII

Awal mulanya, mereka masih berkumpul dalam wadah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Lalu, pada forum Konferensi Besar II (14-16 Maret 1960), mengkristal gagasan perlunya wadah yang lebih otonom dan spesifik untuk mewadahi aktivitas mahasiswa NU. Gagasan ini lahir dikarenakan sudah dinilai perlu mahasiswa berlatar belakang NU atau ahlusunah wal jamaah memiliki wadah sendiri dan bukan sebatas departemen perguruan tinggi di bawah struktur IPNU.

Lalu, dibentuklah 'panitia kecil' yang berjumlah 13 orang yang berasal dari Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, dan Makassar, yang kemudian dikenang sebagai pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sebelum PMII membesar menjadi organisasi kemahasiswaan NU, telah ada organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi dengan NU, namun dalam lingkup yang terbatas, seperti Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU, 1955) di Jakarta dan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU, 1955) di Surakarta. Akhirnya, pada 17 April 1960 (21 Syawal 1379 Hijriyah) ditasbihkan sebagai tanggal lahir PMII bersamaan dengan diberlakukannya peraturan dasar organisasi.

Ketika didirikan pada 1960, PMII telah memiliki 13 kepengurusan cabang dan masih menggunakan nama pimpinan pusat (PP). Yang menarik adalah pertumbuhan PMII ditopang oleh LP Maarif (lembaga yang membawahkan pengembangan pendidikan di bawah Nahdlatul Ulama). Sinergi ini memungkinkan PMII berkembang dengan pesat. Terbukti, pada kongres II (25-29 Desember 1963), jumlah PMII telah bertambah menjadi 31 cabang. PMII bisa memiliki cabang di pesantren-pesantren dengan anggota para santri yang sudah lulus aliyah atau tahap pengajian yang sudah sesuai.
Sebagaimana organisasi kemahasiswaan lainnya, PMII adalah anak dari zamannya. Bilangan tahun 1960 adalah tahun-tahun politik dan senja kala dari kekuasaan Orde Lama. NU sendiri, yang dipimpin oleh Idham Chalid, juga berstatus sebagai partai politik tiga besar dalam pemilu pertama tahun 1955. Dan, PMII pun tak bisa melepaskan diri dari tarik-menarik juga praktik politik praktis yang menjangkiti organisasi kemahasiswaan di zaman itu. Kita semua sudah mahfum, karena panasnya kondisi politik dan usia republik yang masih sangat muda, politik berkembang menjadi panglima di bawah presiden Soekarno.

Bersamaan dengan perjalanan dan penataan internal organisasi, dalam satu pertemuan di Bogor, ditegaskan butir-butir pemikiran yang hingga kini terus hidup dalam kesadaran kolektif warga pergerakan. Butir-butir itu adalah, pertama, bahwa warga PMII wajib mengamalkan prinsip ilmu pengetahuan untuk perbaikan masyarakat, bukan ilmu untuk ilmu. Kedua, 'pergerakan' bermakna dinamika dan 'kebebasan' karena itu harus terus diciptakan ruang bagi aktualisasi diri dan peran mahasiswa. Ketiga, bahwa pengabdian tertinggi PMII hanya pada bangsanya (Indonesia) dan organisasi hanyalah alat perjuangan semata. (dokumen historis Gelora Megamendung, Bogor, 17-25 April 1965).

Salah satu keputusan penting yang turut menandai transformasi PMII adalah deklarasi Munarjati Malang. Deklarasi Munarjati merupakan penegasan independensi PMII kelompok politik manapun. Faktor yang membuat dikeluarkannya deklarasi ini dalam Musyawarah Besar II (14-16 Juli 1972) adalah 'berkenaan dengan situasi politik nasional ketika peran partai politik dikebiri bahkan partisipasi dalam pemerintahan pun sedikit demi sedikit dikurangi dan mulai dihapuskan. Hal itu mulai dirasakan oleh NU yang notabene merupakan partai politik. Hal ini dirasakan pula oleh organisasi dependennya, termasuk di dalamnya PMII. Ditambah lagi dengan digiringnya peran mahasiswa dengan komando Back to Campus. Dalam kondisi seperti itu, PMII mencari alternatif baru dengan tidak lagi dependen kepada partai politik manapun'. (Fauzan Alfas, ke-PMII-an, 1989).

Selintas sejarah di atas menggambarkan perjalanan PMII dalam merumuskan diri, peran, relasi, dan perannya di tengah kehidupan bangsa yang sedang berbenah. Fase peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru adalah fase yang sangat krusial karena selain menyedot energi semua organisasi (kemahasiswaan) ke dalam labirin kehidupan politik, juga membawa konsekuensi perpecahan bangsa yang berujung pada kepunahan. Namun, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa PMII turut belajar dari sejarah komunitas dan bangsanya. Segenap kesalahan masa masa lalu tak perlu dijadikan kambing hitam apalagi menjadi mimpi buruk di masa depan.


Opini Republika 24 April 2010