23 April 2010

» Home » Kompas » Polandia Berduka, Polandia Bangkit

Polandia Berduka, Polandia Bangkit

Minggu malam, 18 April 2010, rakyat Polandia mengantarkan jenazah pemimpin nasional mereka yang tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat di Smolens, Rusia, pada sebuah upacara yang agung, megah, dan mulia di Katedral Krakow.
Karena bencana alam, banyak pemimpin dari Asia, Eropa, dan Amerika tak hadir. Presiden Rusia Medvedev hadir. Kehadirannya simbolis amat penting. Tak saja bagi rakyat Rusia dan Polandia, tetapi juga Eropa dan dunia, termasuk Indonesia.
Letak geografis Polandia amat jauh dari kita, juga hubungan emosionalnya, karena negeri ini berada di Eropa Timur. Karena dalam peradaban sekarang ”simbol” dapat mengalir ke seluruh dunia dan kematian itu universal, Polandia amatlah dekat. Seperti kata Obama ketika mendengar kecelakaan yang menewaskan 90 orang inti pejabat tinggi Polandia minggu lalu, ”Kita sekarang semua orang Polandia.”


Jatuhnya pesawat Tupolev ini tak dapat dipisahkan dari sejarah. Dalam Perang Dunia II, tak kurang 20.000 elite politik Polandia diambil dan dihabiskan total oleh KGB (intel Rusia). Selama ini Rusia tak mau menerima fakta sejarah itu. Mereka dihabiskan agar Polandia tak bangkit lagi dan berada di bawah Uni Soviet.
Moral dan politik
Beberapa waktu lalu Vladimir Putin mulai membuka kasus ini dan pembunuhan di Katyn, Rusia, itu diakui dilakukan KGB, bukan oleh Nazi seperti selama ini dijelaskan. Ini langkah politik amat luar biasa untuk Rusia, yang
sedang merumusulangkan nasionalisme dan posisi mereka dalam sistem dunia yang berubah. Mengakui pembantaian massal di Katyn sama dengan ketika Pemerintah Jerman mengakui adanya Clauschwitz (kamp konsentrasi), bukan seperti penolakan Turki akan pembantaian orang Armenia pada perang lalu.
Dari segi ini, politik dan moral menjadi satu bahwa genosida adalah kejahatan antikemanusiaan, yang menjadi moral politik global sekarang dengan dilembagakannya pengadilan kriminal internasional di Den Haag, Belanda. Di sini penjahat perang dari seluruh dunia diadili.
Stalin yang memerintahkan pembunuhan massal itu sudah mati. Tak perlu ada pengadilan in absentia. Namun, pengakuan Pemerintah Rusia akan kejahatan ini adalah sepenuhnya pengakuan dan penerimaan bahwa dalam politik global sekarang, moral haruslah satu dengan politik. Inilah yang mendasari proses politik bernama rekonsiliasi. Tanpa keyakinan dan kepercayaan satunya moral dan politik, rekonsiliasi sepenuhnya tak mungkin.
Karena itu, Polandia yang berduka adalah Polandia yang bangkit. Katedral Krakow adalah saksi sejarah atas kelahiran kembali watak geopolitik sekarang ini!
Kita sering dengar akronim baru BRIC: Brasil, Rusia, India, dan China. Mereka sekarang makin bersekutu, menjadi imbangan geopolitik karena dominasi Eropa/Amerika redup dalam ekonomi, militer, budaya, dan ideologi. BRIC adalah kekuatan nyata yang sedang tumbuh. Ia alternatif masa depan.
Bagi Rusia, BRIC penting demi posisinya yang mantap di Eropa Timur. Beberapa waktu lalu NATO berniat memasang sistem pertahanan balistik di negeri ini. Kenyataan itu memburukkan hubungan Rusia-Polandia. Di tengah perubahan cepat agenda militer seperti itu, yang dilakukan Vladimir Putin memang menakjubkan. Dia buka kasus Katyn, langsung pada jantung ”emosi” politik yang mencair. Maka, ketika Presiden Kaczynski bersama rombongan tewas dalam perjalanan meresmikan tugu peringatan pembantaian Katyn, kematian mereka melipatgandakan ”emosi” politik rekonsiliasi itu, seperti ditampilkan oleh kerja sama erat menyelidiki teknis kecelakaan atau hari duka yang mereka maklumkan bersama.
Ganjalan psiko-politik Rusia terletak dalam sejarah panjang: Rusia tak sepenuhnya dianggap sebagai ”Eropa”. Dengan rangkaian pengakuan, kecelakaan, kehadiran Medvedez, dan ambisi geopolitik yang ada, kita saksikan gejala yang paling mengagumkan dari dunia kita sekarang ini: moral universal diterima dan dijalani dalam politik.
Diiringi requiem Mozart yang memukau, jenazah Presiden Polandia dimakamkan di sebuah kastel. Polandia, Rusia, bahkan Eropa bersatu dalam momen spiritual. Pertanyaan bagi kita yang jauh dari Polandia, dalam karut-marut politik kita, di manakah modal hadir? Untuk pembantaian ratusan ribu manusia pada 1960-an, mengapa rekonsiliasi tetap tertutup rapat?
Emmanuel Subangun Sosiolog

Opini Kompas 24 April 2010