23 April 2010

» Home » Suara Merdeka » HET Pupuk Versus HPP Gabah

HET Pupuk Versus HPP Gabah

Satu hal yang harus dilakukan pemerintah menyusul kebijakan kenaikan HET pupuk ini adalah upaya serius dan berkelanjutan dalam hal penggunaan
pupuk organik

DOKUMEN rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2010 menegaskan bahwa pemerintah memangkas subsidi pupuk kepada petani dari Rp 18,4 triliun pada 2009 menjadi Rp 11,3 triliun. Konsekuensi logis dari kebijakan pengurangan subsidi yang cukup besar tersebut adalah harus dilakukan ”penyesuaian” harga eceran tertinggi (HET) sarana produksi terpenting bagi petani tersebut secara signifikan.


Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo merupakan salah satu sosok yang gigih memperjuangkan nasib petani sehingga ia mengirim surat kepada presiden. Orang nomor satu di provinsi ini memohon agar HET pupuk bersubsidi tetap, kalaupun terpaksa dinaikkan harus sebanding dengan kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/ beras 10 persen seperti diatur dalam Inpres Nomor 7 Tahun 2009.

Meski sebelumnya mendapatkan tentangan dari banyak kalangan, pemerintah bergeming untuk menaikkan HET pupuk bersubsidi (selanjutnya ditulis pupuk saja).  Melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 32 Tahun 2010, terhitung 9 April 2010 HET pupuk resmi naik.  Pupuk urea naik dari Rp 1.200/kg menjadi Rp 1.600, SP-36 naik dari Rp 1.550 menjadi Rp 2.000, ZA menjadi Rp 1.400 dari Rp 1.050, NPK naik dari Rp 1.586 menjadi Rp 2.300, pupuk organik naik dari Rp 500 menjadi Rp 700/kg.  Kenaikan rata-rata mencapai 35 persen.
Sepintas kalau kita baca kebijakan pemerintah memangkas subsidi pupuk tersebut kelihatan sangat heroik. Tujuan utama antara lain untuk memperkecil penyimpangan dalam penyaluran pupuk bersubsidi, mencegah kelangkaan pupuk saat petani membutuhkan, dan tetap memperhatikan kepentingan petani.
Pupuk merupakan sarana produksi terpenting bagi petani.  Karena itu kenaikan HET pupuk dalam persentase yang cukup besar tentu memberatkan petani. Sebaiknya kenaikan HET pupuk dilakukan secara bertahap, misalnya HET pupuk tunggal dinaikkan 30 persen, sementara untuk pupuk majemuk (NPK) dan pupuk organik tidak dinaikkan. Ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik, utamanya pupuk tunggal seperti urea harus segera diakhiri.  Hal itu hanya dapat dilakukan jika kampanye penggunaan pupuk NPK dan pupuk organik dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan.   

Kandungan unsur hara N,P, dan K pada pupuk NPK berbeda-beda untuk tiap komoditas tanaman. Sifat ini dapat digunakan untuk menanggulangi kebocoran pupuk NPK tanaman pangan ke perkebunan besar.  Ke depan diharapkan pupuk tunggal hanya diperuntukkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk majemuk.
Rumus Tani Kebijakan kenaikan HET pupuk ini tidak sebanding dengan kenaikan HPP gabah/beras yang hanya naik 10 persen sebagaimana diatur dalam Inpres Nomor 7 Tahun 2009.  Inpres ini menetapkan HPP gabah kering panen Rp 2.640/kg di tingkat petani, gabah kering giling Rp 3.300/kg di penggilingan, dan Rp 3.345/kg di gudang Bulog.

Penentuan besaran HPP gabah seharusnya tetap mengacu pada ”rumus tani” yang selalu dijadikan patokan petani sebagai ukuran usaha tani padi mereka untung atau tidak.  Agar petani tidak merugi, maka harga 1 kilogram gabah minimal sama dengan harga 2 kilogram pupuk urea.

Saat ini sudah waktunya ditetapkan HPP dalam dua kualitas, yaitu untuk beras medium setara IR-64 kualitas 3 dan beras premium dengan kadar patahan maksimal 10 persen.  Kebijakan HPP dengan satu kualitas (single quality) seperti yang diterapkan selama ini tidak mendorong petani dan pengusaha penggilingan padi berusaha meningkatkan kualitas gabah dan berasnya.  Penetapan HPP dengan dua kualitas diharapkan memacu petani dan pengusaha rice mill menghasilkan beras kualitas premium yang harganya lebih mahal.

Satu hal yang harus dilakukan pemerintah menyusul kebijakan kenaikan HET pupuk ini adalah upaya serius dan berkelanjutan dalam hal penggunaan pupuk organik.  Kebijakan kenaikan HET pupuk anorganik tanpa diikuti upaya mengurangi ketergantungan petani terhadap konsumsi pupuk kimia (anorganik), hanya akan menyimpan bom waktu. Pemerintah sudah semestinya membuat kebijakan yang serius dan akselerasi tinggi untuk go organic. 

Jujur kita akui, ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik ini merupakan dampak negatif dari revolusi hijau.  Inovasi pupuk buatan ini merupakan lompatan besar dalam produksi pangan.  Penemuan pupuk kimia ini sekaligus menjawab kekhawatiran Robert Malthus tentang ketidakseimbangan antara peningkatan produksi pangan dan  peningkatan jumlah penduduk dunia.

Keajaiban pupuk anorganik yang mampu meningkatkan produksi pangan berlipat ini kemudian menyihir negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.  Untuk tujuan tersebut dialokasikanlah stimulus bagi petani antara lain berupa kredit berbunga murah, serta subsidi pupuk besar-besaran.Akibat dari kebijakan itu pupuk anorganik dapat diakses petani dengan mudah dan harganya murah.  Karena mudah diakses dan harganya murah, petani cenderung boros dalam aplikasi.  Situasi itu berlangsung selama bertahun-tahun sehingga melahirkan ketergantungan pada petani.  Implikasi lebih jauh, riset-riset tentang pupuk organik nyaris tak tersentuh, bahkan terlupakan.(10)

— Toto Subandriyo, Kepala Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Tegal


Wacana Suara Merdeka 24 April 2010