TERBUKTI sudah bahwa agenda dan program penegakan hukum belum mencatat kemajuan apa-apa. Dengan terkuaknya praktik makelar kasus (markus) dan mafia pajak, kita diberi gambaran betapa dahsyatnya kejahatan yang dilakukan oleh begitu banyak oknum aparatur negara terhadap negaranya sendiri.
Kalau kejahatan-kejahatan tadi dipadukan lagi dengan cerita tentang mafia proyek dan catatan kegagalan menuntaskan sejumlah kasus besar, BLBI misalnya, kita makin tersadarkan bahwa agenda penegakan hukum kita masih di posisi minus. Karena itu, tak layak bagi siapapun untuk mengklaim ada kemajuan dalam penegakan hukum.
Kita sangat berharap bahwa Bibit-Chandra (KPK) benar-benar bersih. Seandainya terbukti ada oknum KPK memeras, akan makin sulit memosisikan agenda penegakan hukum. Kalau harus diperbandingkan dengan era sebelum reformasi, kualitas penegakan hukum sepanjang satu dekade periode transisi reformasi sekarang ini masih sama saja. Dulu kita takut mengungkapkannya, kini lebih berani. Itu saja bedanya.
Sedangkan pada aspek modus, kejahatan oknum aparatur negara sekarang mungkin lebih canggih. Melakukan kejahatan secara berjamaah atau membangun jaringan mafia.
Kita sering bertanya tentang apa yang salah dalam penegakan hukum? Apakah kita punya? Kalau memang ada strategi penegakan hukum, di mana titik lemahnya? Atau, SDM pada institusi penegakan hukum memang tak layak diandalkan karena alasan moral?
Katakanlah kita punya strategi penegakan hukum, karena ada Polri dan Kejakgung. Juga ada MA dengan instrumen pengadilan di bawahnya. institusi penegakan hukum kita normalnya sudah cukup. Ditambah lagi dengan Komisi Yudisial serta juga Mahkamah Konstitusi. Merasa belum cukup efektif karena negara ini dibebani kejahatan korupsi, dihadirkan KPK. Kalau semua institusi penegakan hukum itu berfungsi efektif dan tak kenal kompromi, agenda penegakan hukum kita mestinya mencatat kemajuan besar sepanjang periode transisi reformasi. Kemajuan besar yang mestinya bisa mengobati luka batin rakyat akibat rasa keadilan yang terkoyak selama beberapa dekade era Orde Baru.
Satu hal yang barangkali bisa membangunkan harapan dan optimisme kita adalah munculnya keberanian untuk buka-bukaan mengungkap kebobrokan di bidang penegakan hukum. Katakanlah bahwa rakyat kebanyakan merasa diuntungkan oleh keberanian Susno Duadji ataupun Agus Condro (mengungkap suap di DPR terkait pemilihan deputi gubernur BI). Kita berharap, setelah Susno dan Agus Condro, akan muncul sosok lain untuk melakukan hal yang sama, melawan dan membongkar mafia yang melakukan kejahatan terhadap negara dan rakyat.
Berseragam Birokrat
Mengapa layak menyebut posisi penegakan hukum kita masih di posisi minus? karena oknum-oknum di institusi penegakan hukum kita, bersama oknum birokrat negara, justru menjadi pemain utama dalam lakon kejahatan terhadap negara. Mereka membangun jaringan mafia untuk melakukan kejahatan berjamaah. Mereka mencuri uang pajak, mengekskalasi biaya proyek sampai memanipulasi data untuk mendapatkan dana talangan dari negara, sebagaimana modus yang digunakan dalam skandal Bank Century. Di hadapan publik, penegak hukum kita bersandiwara memburu pengemplang BLBI tetapi pada saat yang sama mereka menyembunyikan dan mengatur serta mengamankan pelarian para obligor tersebut.
Berbeda dari era terdahulu yang begitu tertutup, transisi reformasi sekarang memberi ruang leluasa bagi penegak hukum untuk mengendus praktik korupsi di semua institusi. Penegak hukum berhasil menembus dinding penutup ruang praktik korupsi yang dikuasai oknum birokrat. Sejumlah kasus terungkap, diproses secara hukum dan pelaku divonis dengan hukuman penjara.
Sayang, keleluasaan itu ternyata tidak digunakan sebagai pintu masuk penegakan hukum. Tak semua kasus besar yang dijaring penegak hukum diberi perlakuan sebagaimana seharusnya. Pada banyak kasus besar, dari BLBI sampai penggelapan pajak, sebagian penegak hukum kita gampang goyah. Tergoda ingin hidup mewah, tangan mereka pun menengadah siap menerima suap. Merasakan nikmat dari kolusi itu, penegak hukum pun masuk perangkap mafia pencurian uang negara. Polisi, jaksa, dan hakim pun mulai terbiasa berkolusi dengan oknum birokrat korup.
Ini adalah sebuah jaringan mafia yang sangat powerfull. Tak ada satu pun kekuatan di luar mereka yang bisa meruntuhkan kekuatan itu. Hanya kekuatan dari dalamlah yang bisa memorakporandakan kekuatan mafia itu. Dan, itulah yang terjadi pada kasus Gayus Tampubolon, birokrat muda di kantor Ditjen Pajak yang kini menjadi tersangka kasus penggelapan pajak dan makelar kasus pajak.
Dalam lakon penggelapan pajak oleh Gayus, kita mendapat gambaran sangat utuh tentang bagaimana oknum birokrat dan penegak hukum melakukan kejahatan terhadap negara dan rakyat. Gayus mencuri uang pajak, polisi merekayasa BAP, jaksa membuat dakwaan meringankan dan pengadilan pun membebaskan Gayus. Kalau tak diungkap Susno, uang negara dari pajak akan hilang dan pencurinya hidup mewah.
— Bambang Soesatyo, anggota Panja Pengawasan Penegakan Hukum Komisi III DPR
Wacana Suara Merdeka 27 April 2010