26 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Menguji Strategi Public Relations

Menguji Strategi Public Relations

PEMILIH telah ’’memutuskan’’ Marhen jadi pemenang Pilwalkot Semarang. Konsultan public relations (PR) masing-masing calon hanya bisa menulis separo skenario, pemilihlah yang menyelesaikannya.

Di balik survei, polling, debat, baliho, spanduk, iklan, hingga arak-arakan kampanye, ada perang yang tak terlihat untuk memenangi pilkada, yakni adu gagasan, konsep, dan strategi PR-ing.

Wajar, karena PR selalu digunakan sebagai short cut untuk meraih publisitas, popularitas, dan elektabilitas dengan tujuan akhir menjadi pemenang.  Apa arti sebuah nama? Nama mesti memorable, favourable, dan saleable. Juga menunjukkan identitas serta karakter si empunya. Manis akronim Mahfudz-Anis. Tidak berbau ideologis, cukup memorable dan favourable.


Koalisi Merah Putih untuk Harini Krisniati-Ari Purbono. Merah Putih adalah simbol dari nasionalismenya Gerindra, meskipun PKS juga pengusungnya. Akronim inisial juga dipilih oleh Bambang Raya-Kristanto yakni BK. Sengaja atau tidak, BK mengingatkan publik pada Bung Karno. Fasih untuk Farchan-Dasih, simpel, cukup artikulatif.

Pasangan nomor 5 lebih berhasil memilih nama yang bukan hanya mengidentifikasikan diri dengan basis massa pemilihnya, tapi juga menunjukkan karakternya: Marhen, singkatan dari Marmo (Soemarmo)-Hendi. Kita tahu, marhaenisme (dengan e di antara a dan n) merupakan ideologi dasar PDIP,  pengusung pasangan ini. Marhaenisme dianggap sebagai paham yang berpihak pada wong cilik.

Elektabilitas menjadi kata kunci bagi seluruh upaya pemenangan kandidat. Upaya mendongkrak elektabilitas kandidat sesungguhnya  sudah dilakukan sejak tahap penjaringan, penetapan kriteria, pendaftaran, fit and proper test maupun polling , hingga penetapan kandidat.

Publisitas adalah dampak atas diketahuinya suatu informasi. Untuk mendapat publisitas, tidak diperlukan pakar PR. Publisitas bisa diciptakan sekejap, instan. Popularitas memerlukan waktu dan usaha ekstrakeras. Publisitas itu bebas nilai, sementara popularitas bernilai positif: simpati, penerimaan, kesetujuan, keberpihakan, dan dukungan.

Pilwalkot pada dasarnya merupakan pertarungan antarfigur calon bukan pertarungan parpol pengusung. Dengan demikian, strategi PR yang tepat, harus berfokus pada personal PR sang calon sebagai political figure. Kendati demikian, menggarap citra dan persepsi parpol pengusung serta ormas pendukung, juga tidak boleh diabaikan.
Paling Kritis Langkah standar personal PR adalah membuat narasi tentang calon. Tahap ini gampang-gampang susah, merupakan saat paling kritis dalam proses pembentukan citra calon, baik sebagai individu maupun tim kerja. Bahwa antara cawali dan cawawali merupakan the dream team, yang memang kompeten, dan berintegritas.

Track record seperti profil, riwayat hidup, latar belakang keluarga, pendidikan, perjalanan karier, kisah sukses hingga filosofi hidup calon merupakan bahan bagi tim kampanye untuk mengemasnya menjadi narasi yang disajikan kepada publik, acap kali terkesan jumawa, ada juga yang narsis.

Biasanya tema (visi, misi, program) dasar pembentukan narasi bertumpu pada standing party masing-masing calon, yang secara ekstrem dapat dihadapkan secara diametral: incumbent vs challenger.

Per definisi, hanya ada 1 incumbent, yaitu Manis dan 4 penantan. Tanpa mengabaikan ketiga calon lain, Marhen adalah challenger yang sejak awal diperkirakan mampu mengimbangi incumbent. Seperti dalam buku teks, tema dasar incumbent adalah ’’lanjutkan’’, sedangkan challenger ’’berubah’’.

Manis berusaha membentuk persepsi positif dengan melakukan klaim atas keberhasilan pemerintahan, sehingga yang diperlukan adalah lanjutkan dan tingkatkan. Marhen melawan dengan disklaim secara frontal, mengungkapkan fakta-fakta di lapangan tentang penanganan banjir dan rob, kondisi infrastuktur, pengangguran. Marhen bahkan menantang pemilih: ’’Apakah akan dilanjutkan?’’

Pada tingkat individu, Manis menarasikan calonnya sebagai figur bersih. Simak saja spanduk mereka: Mahfudz resik, Anis apik. Manis to. Mahfudz mereka deskripsikan sebagai birokrat andal yang berangkat dari akrivis LSM antikorupsi. Juga, dosen dan intelektual yang memiliki kebiasaan keseharian semacam life wisdom. Cawawali Anis Nugroho digambarkan sebagai sosok pengusaha sukses yang kreatif. (10)

— Trisnadi Waskito, praktisi public relations, tinggal di Semarang


Wacana Suara Merdeka 27 April 2010