Meskipun sudah diputuskan dalam sidang paripurna DPR bahwa kebijakan pemberian talangan kepada Bank Century bermasalah, kasus Bank Century masih jauh dari selesai. Proses hukum dan penyidikan masih akan berlangsung serta dapat dipastikan bakal melelahkan dan menyita perhatian pemerintah dan masyarakat. Bahkan, sebelum proses penyidikan berlangsung, anggota DPR dari Partai Demokrat mengatakan, kasus ini akan ditolak pengadilan.
Bagi masyarakat, kontroversi kasus Bank Century sungguh membingungkan karena semakin sulit menemukan kebenaran di negeri ini. Dari sisi kebijakan, pertanyaan yang mendasar adalah apakah kebijakan pemberian dana talangan yang sedemikian besar kepada Bank Century melanggar undang-undang atau tidak?
Seharusnya pertanyaan ini mudah dijawab jika peraturan yang dipakai sebagai landasan jelas, konsisten, dan tidak multiinterpretasi.
Sebenarnya kebijakan yang tidak melanggar undang-undang atau peraturan belum tentu benar. Artinya, kebijakan yang keliru tidak harus melanggar hukum atau perundang-undangan. Kebijakan yang keliru juga tidak selalu terkait dengan integritas pembuat kebijakan. Kualitas kebijakan ditentukan oleh kemampuan dan aspek nonlegal lainnya. Tekanan politis, data tidak akurat, kegentingan, suasana psikologis, dan intuisi adalah faktor-faktor yang tampaknya dominan dalam pengambilan keputusan bail out Bank Century.
Kriteria lain yang sering dipakai menilai kualitas kebijakan adalah keberhasilan mencapai tujuan. Adakah manfaat yang diperoleh negara ataupun masyarakat, baik secara langsung maupun jangka panjang?
Jika pemberian talangan untuk menyelamatkan Bank Century, jelas tujuan tersebut tidak tercapai karena Bank Century ternyata tidak terselamatkan.
Tujuan lain yang sering dikemukakan adalah menyelamatkan perekonomian nasional. Tujuan inilah yang bagi banyak orang dianggap kurang meyakinkan. Penyelamatan ekonomi masih menjadi ruang abu-abu untuk dapat dilihat secara ”tangible” ketika data dan fakta untuk mendukung pernyataan ini tidak disajikan secara jelas dan sederhana sehingga terlalu abstrak ditangkap oleh publik.
Kendati orientasi pengambilan kebijakan di sektor publik dan swasta berbeda, ukuran-ukuran konvensional, seperti efisiensi dan efektivitas, tetap menjadi tolok ukur penilaian kualitas kebijakan publik.
Sayang, institusi publik di negeri ini tidak pernah mengenal ”policy failure”. Meski ada lembaga-lembaga yang ditugaskan menangani keluhan masyarakat terkait kegagalan kebijakan publik, fungsinya belum optimal. Masyarakat yang dirugikan.
Kecuali proses politik seperti yang saat ini tengah berlangsung, mekanisme lain untuk menangani kasus-kasus kebijakan yang keliru belum optimal. Selain itu, belum ada satu pejabat pun yang mau mengakui bahwa kebijakan yang dibuat telah gagal mencapai tujuan.
Masyarakat pun seolah tidak berdaya ketika kehidupan mereka semakin terpuruk akibat pejabat publik membuat kebijakan yang keliru. Melalui sidang paripurna, Pansus DPR kasus Bank Century telah menjatuhkan sanksi politis. Terlepas dari segala kekurangan dan kelemahan selama pelaksanaan hak angket, keputusan DPR telah memberikan pelajaran berharga bagi pemerintah. Tidak hanya terhadap pemerintahan saat ini, tetapi juga pihak ”eksekutif” secara umum.
Mereka di semua tingkat pemerintahan diingatkan untuk cermat membuat kebijakan. Membuat kebijakan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan menuruti ”SOP” adalah hal wajib. Akan tetapi, perumusan kebijakan yang semata-mata didasarkan pada undang-undang atau peraturan yang berlaku cenderung mengurangi rasa tanggung jawab pembuat kebijakan karena pada akhirnya rakyat akan bertanya apa manfaat konkret kebijakan itu bagi mereka.
Yang perlu diwaspadai adalah manuver politik dan konflik internal dalam kelompok yang berpusar pada perebutan kekuasaan. Dominasi pengaruh menjadi ancaman terpenting yang dapat membelokkan arah kebijakan.
Sanksi politis yang diberikan oleh DPR mungkin belum terlihat konsekuensinya dalam jangka pendek. Namun, ketika rakyat semakin paham akan hak-haknya dalam konteks kehidupan demokratis, rakyat dapat menerjemahkan sanksi politis dalam sebuah ekspresi konkret pada saat pemilu.
Rakyat dapat menghukum para pembuat kebijakan yang buruk dengan tidak memberikan suara mereka pada saat pemilu. Dalam kerangka ini tidak ada cara lain bagi siapa pun yang ingin terpilih melalui pemilu kecuali membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang benar. Kebijakan-kebijakan yang tidak hanya menguntungkan kelompok, partai, atau golongan tertentu, tetapi yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Para pembuat kebijakan harus siap menghadapi konsekuensi demokrasi yang semakin berkembang. Di sinilah mungkin tesis Amartya Sen akan memperoleh pembenaran bahwa ada hubungan positif antara demokrasi dan pembangunan. Demokrasi membuka ruang untuk koreksi dan evaluasi kebijakan pemerintah. Perkembangan ini perlu terus didorong agar kultur politik otoriter, di mana kebijakan hanya menjadi domain elite dapat dihapuskan.
Sejarah dan pengalaman telah menunjukkan bahwa sistem politik otoriter dengan perumusan kebijakan yang otoriter terbukti telah menimbulkan krisis ekonomi di berbagai negara—termasuk Indonesia—akibat kebijakan publik yang keliru. Sistem tersebut perlu digantikan dengan kultur pluralis yang menekankan kontribusi banyak pihak dalam proses perumusan kebijakan.
Pendekatan di atas perlu dibangun agar semua institusi publik, termasuk lembaga-lembaga yang merupakan output politik seperti DPR, dapat menghasilkan kebijakan yang transparan dan akuntabel. Jika tidak, vonis dan sanksi dari masyarakat yang akan berlaku.
Peningkatan pendidikan rakyat secara umum, peningkatan pendidikan politik masyarakat, dan terbangunnya kesadaran masyarakat bahwa merekalah sebenarnya pemegang kekuasaan tertinggi menjadi kunci penting bagi penataan demokrasi yang dewasa dan sekaligus memberi kesejahteraan kepada rakyat.
Dalam kerangka itu modal sosial yang memfasilitasi tumbuhnya dan peran sosial masyarakat untuk mendorong pelaksanaan demokrasi lokal, terutama dalam memperkuat terciptanya ruang kemitraan antara masyarakat dan pemerintah.
Opini Kompas 27 April 2010