08 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Mega, Oposisi, dan Marhaenisme

Mega, Oposisi, dan Marhaenisme

TAK berbeda dari kongres sebelumnya yang memutuskan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bertekad menjadi partai oposisi agar ada check and balance, mengontrol kebijakan pemerintahan lewat kritik konstruktif-realistis, kongres III di Bali akhirnya juga memutuskan partai itu tetap mengambil posisi sebagai oposisi.

Sebelumnya, di partai tersebut ada dua mainstream yang saling bertolak belakang. Mainstream pertama dipelopori Taufik Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu), yang kini menjadi Ketua MPR, dan berulangkali dalam pernyataannya, cenderung mendorong partainya menggalang koalisi dengan pemerintah.


Suami Megawati Soekarnoputri itu beberapa kali melobi para petinggi partainya agar bergabung dalam koalisi dengan iming-iming diberi beberapa pos menteri. Pramono Anung pun pernah menilai beberapa petinggi partai itu mulai lelah menjadi oposisi.
Pramono yang kini menjadi salah satu Wakil Ketua DPR menyatakan, selama 5 tahun partai itu berada di luar pemerintahan, tidak bisa memetik manfaatnya.

Mengamati perkembangan dan dinamika dalam partai sebelum kongres III berakhir, Megawati, yang dalam kongres di Bali kemarin kembali terpilih sebagai ketua umum berpendapat, bahwa kini ada sementara kader berpikir pragmatis.

Mengibaratkan dirinya sebagai kapten kapal tanker, Mega mengatakan dirinya bisa menggerakkannya tangker itu lurus ke depan, atau berbelok. Diingatkannya, bahwa Ketua Deperpu itu memang punya hak bicara, tapi ia tak punya hak suara.

Sebelum konres Mega secara eksplisit memang tidak mengatakan perlunya ada oposisi, tapi menyebutnya perlunya penyeimbang agar ada check and balance terhadap pemerintahan. Arus bawah atau akar rumput partainya sebagian besar ingin tetap melaksanakan oposisi.

Mainstream kedua inilah yang menjadi obsesi Megawati yang bertekad mempertahankan PDI-P sebagai partai ideologis.
Apa ideologi partai itu? Mengenai hal ini patut disimak pernyataan Taufik Kiemas, ketua Deperpu PDI-P dalam wawancara di ”Save our Nation” Metro TV beberapa waktu lalu.

Dikatakan oleh Taufik, bahwa sesuai keputusan kongres II di Bali tahun 2005, ideologi yang dianut partainya adalah Pancasila dan ajaran-ajaran Bung Karno. Sayangnya, dalam wawancara itu tak didalami yang dimaksud dengan ajaran Bung Karno, yang diadopsi menjadi ideologi partai. Yakni ajaran secara utuh secara keseluruhan tanpa reserve atau tidak seutuhnya dalam arti hanya pokok-pokoknya, disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman alias ajaran-ajaran yang ompong.

Petani Miskin

Seperti diketahui, semasa rezim Orde Baru berkuasa, banyak ajaran Bung Karno dikebiri hingga banyak yang bodong. Misalnya mengenai marhaenisme. Ajaran itu berawal ketika Bung Karno di masa mudanya bertemu Marhaen, petani miskin di Desa Cigelereng selatan Bandung, sedang menggarap sebidang tanah dengan cangkulnya.
Setelah ditanami, padi akan menjadi miliknya. Petani itu memiliki sebuah gubug reot.

Setelah itu, Bung Karno menyebut orang-orang lemah  (wong-wong cilik) yang miskin itu dengan istilah marhaen, termasuk nelayan kecil, tukang gerobak, kusir, pemulung, pedagang kaki lima kecil-kecilan, pedagang keliling, tukang bangunan, tukang bengkel kecil-kecilan dan lain-lain..
Bagi Bung Karno mereka itu bukanlah kaum proletar. Menurut Karl Marx, seorang proletar tidak memiliki alat produksi karena hanya menjual tenaga dan pikirannya saja pada orang lain.

Marhaenisme, menurut Bung Karno adalah suatu cara perjuangan revolusioner untuk mengikis habis kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme. Kaum marhaen adalah rakyat Indonesia yang dimelaratkan oleh sistem kapitalisme dan kolonialisme. Dalam perkembangannya Bung Karno mendefinisikan Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia (Het in Indonesia toegepaste Marxisme). Bung Karno adalah Bapak Marhaenisme.

Ajaran ainnya ialah mengenai Manifesto Politik (Manipol) USDEK.
Jika memang ideologi partai itu Pancasila dan ajaran-ajaran Bung Karno, apakah partai dan anggotanya secara konsisten dan konsekuen melaksanakannya dengan penuh keberanian dan kesadaran, serta siap pula menghadapi berbagai rintangan? Sejauh manakah kesiapan kader untuk membela ideologinya? Saat ini banyak kader partai tersebut dan pendukung Bung Karno lupa, bahwa Bung Karno, tokoh  proklamator masih ”tercemar” nama baiknya dengan adanya Ketetapan (Tap) MPRS Nomor XXXIII/MPRS Tahun 1967 yang mencabut kekuasaan pemerintah Presiden Soekarno.

 Tragisnya setelah di-impeachment Bung Karno dijadikan tahanan politik dikurung di Batutulis dan Wisma Yaso. Kongres III di Bali kali ini seharusnya bulat mendukung pemulihan nama baik Bung Karno, Bapak Marhaenisme, proklamator. (10)

— Go Sien Ay, pengagum Bung Karno dan ajarannya, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 9 April 2010