08 April 2010

» Home » Kompas » Kepemimpinan Tak Tergantikan

Kepemimpinan Tak Tergantikan

Kongres PDI Perjuangan di Bali, 5-9 April 2010, menghasilkan keputusan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum kurun waktu 2010-2014.
Keputusan itu merupakan perwujudan pandangan 33 DPD PDI-P di seluruh Indonesia. Dalam reportase Kompas (6/4) tertulis, ”Apa jadinya PDI-P tanpa Megawati. Ia akan menjadi partai nasionalisme yang pas-pasan yang banyak beredar belakangan ini.” Di balik optimisme itu, pertanyaan paralel laik diajukan: apa jadinya bila kepemimpinan harus terus-menerus dengan Megawati? Pertanyaan lebih mendasar: adakah sebuah kepemimpinan tanpa regenerasi alias tak tergantikan mampu menjawab tantangan? Bagaimana solusi kepemimpinan tanpa penerus ini sebagai pelajaran kita terhadap pembelajaran model kepemimpinan bangsa?
Kita perlu menjawab pertanyaan itu. Lima tahun lagi kepemimpinan bangsa tak terlepas dari cara pandang sekarang. Tahun ini, partai-partai besar menjalankan mekanisme kepemimpinan mereka. Model yang dikembangkan jelas sangat berpengaruh terhadap perkembangan bangsa. Tulisan ini memperlihatkan kelemahan model yang sedang berkembang dan menawarkan jalan keluar yang paling bisa diterima.
Kajian pelbagai disiplin ilmu sosial dan humaniora memberi petunjuk dasar tentang mekanisme kepemimpinan. S Camini (psikologi kepemimpinan): ”Kepemimpinan bangsa bukanlah sesuatu yang alamiah, diteruskan berdasarkan garis darah, tetapi sesuatu yang perlu dipelajari dari kesalahan, kejatuhan, bahkan kepahitan” (Fortune, 1995: 934).


Karena harus dipelajari, kepemimpinan dalam disiplin filsafat kepemimpinan haruslah didasarkan pada seni pelestarian nilai bersama. Sebagai sebuah seni, kajian pandangan mazhab Frankfurt dan pragmatisme Amerika menuai sintesis: kepemimpinan harus didasarkan pada pilar kebenaran dan keadilan. Kebenaran, khusus dalam kebenaran politik pandangan John Dewey (1986: 65) dan Habermas (1986: 234), berarti ”sesuai dengan rasionalitas publik” dan keadilan dalam pandangan John Rawls (1992: 45) berarti ”memberi keuntungan terhadap semua instrumen yang hidup di dalam kelompok bangsa”.
Kita boleh keberatan sebab kenyataannya, rasionalitas publik sering dimanipulasi melalui model transaksi yang tak beda dengan aktivitas jual beli dalam proyek pemilihan kepemimpinan. Contoh paling baru adalah perhelatan kepemimpinan partai besar tahun lalu yang kental dengan isu dangkal: uang. Contoh lain, rasionalitas publik dalam mekanisme kepemimpinan sering terjerumus pada pemenuhan kepentingan sesaat, harta, dan kedudukan. Keputusan memilih posisi sebagai partai ideologis sesungguhnya menjauhkan diri dari manipulasi rasionalitas sebab ideologi akan melampaui pertimbangan rasio dan mendudukkan diri pada wilayah keyakinan. Kepemimpinan dimunculkan melalui legitimasi ideologis yang dipercayai sebagai benar.

Tidak realistis
Persoalan kemudian, legitimasi kepemimpinan yang didasarkan pada jalur ideologi itu tak melulu membawa keadilan. Kepercayaan yang terlampau besar pada legitimasi spekulatif itu akan jatuh pada kenyataan semu. Tak realistis! Antara pengikut dan pemimpin tak ada kemampuan melihat kenyataan secara jernih dan nalar. Prinsip keadilan yang ditambahkan dalam kepemimpinan berbasis ideologi akan membimbing kita pada pemahaman tentang pengakuan adanya kenyataan yang plural. Hipotesis John Rawls tentang keadilan mengajarkan betapa penting transformasi nilai ideologi kepada kader lain, bahkan kepada unit terkecil dalam kelompok yang merasa paling tak diuntungkan.
Jika hipotesis ini benar, menjadi tak relevan pernyataan tentang adanya regenerasi dalam partai ideologi oleh Megawati. Katanya, ”Kemunculan tiga anak saya (dalam partai PDI-P) adalah sesuatu yang menggembirakan. Hal itu sekaligus menjadi bukti regenerasi tengah berjalan” (Kompas, 6/4). Dari situ tak sulit menarik pernyataan bahwa regenerasi tak dimaksudkan sebagai penggantian kepemimpinan berdasarkan ahli waris, melainkan pada perwujudan keterbukaan terhadap kader lain membuktikan diri.
Kepemimpinan yang berdasarkan garis kekerabatan hanya akan menimbulkan pergunjingan berkepanjangan. Kiranya tak perlu diperdebatkan adanya pertimbangan garis kekerabatan dalam penyusuan daftar caleg, struktur kepengurusan partai politik, hingga ”regenerasi kepemimpinan” dalam berbagai partai politik di Indonesia yang dibesarkan atas nama Pancasila dan kebinekaan. Dalam penjelasan sosiologi, kepemimpinan yang mengandalkan ikatan darah (Gemeinschaften) hanya efektif dalam masyarakat yang memelihara legitimasi supranatural.
Kita butuh pemimpin ideologis yang sanggup terbuka menjawab pluralitas bangsa. Ideologi perlu ditafsirkan ulang sebab figur pemimpin adalah manusia fana yang akan mati, sementara ideologi akan terus hidup. Saifur Rohman Dosen Universitas Semarang

Opini Kompas 9 April 2010