08 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Problem Sistemik Pilkada

Problem Sistemik Pilkada

PUTARAN kedua pilkada langsung mulai kembali bergulir pada April ini. Model pemilihan kepala daerah yang diterapkan sejak Juni 2005 tersebut, tahun ini berputar lagi di 244 daerah (7 provinsi dan 237 kabupaten/ kota) di seluruh Indonesia.

Termasuk di antaranya 17 kabupaten / kota di Jawa Tengah. Setelah lima tahun berjalan, sistem pemilihan langsung itu mulai banyak dikritik dan dipersoalkan efektivitasnya.

Pemilihan langsung di tingkat provinsi bahkan sudah diantisipasi untuk diubah melalui draf RUU Pemilihan Gubernur oleh DPRD. Alasannya, gubernur merupakan wakil pemerintah pusat dan pilgub menelan anggaran yang sangat besar.


Memang landasan konstitusional pilkada langsung tidak seperti pilpres yang diatur dalam amandemen UUD 1945. Pilkada langsung diadakan berdasarkan kesepakatan pemerintah dan DPR atas amanat UUD, yaitu agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis dan jurdil (jujur dan adil).

Dari komitmen bersama itu kemudian disusun regulasinya. Terbitlah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian mengalami dua kali perubahan. Perubahan pertama melahirkan UU Nomor 8 Tahun 2005 dan perubahan kedua diwujudkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2008. Peraturan pemerintahnya juga mengalami perkembangan, dari PP Nomor 6 Tahun 2005 ke PP Nomor 17 Tahun 2005, PP Nomor 25 Tahun 2007, hingga PP Nomor 49 Tahun 2008.

Kedudukan, fungsi, dan kewenangan KPU dan panwas sebagai penyelenggara pilkada kemudian juga diatur dalam perundang-undangan tersendiri, yaitu UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Belakangan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 93, 94, dan 95 sebagai jawaban atas judicial review yang diajukan Badan Pengawas (Bawas) Pemilu.

Tak Sinkron

Persoalan pilkada muncul dari sejumlah faktor yang saling terkait dan terakumulasi, sehingga menjadi problem sistemik yang akut. Faktor-faktor itu secara garis besar mencakup aspek regulasi dan penyelenggaraan, anggaran dan logistik, serta kualitas kandidat dan perilaku pemilih.

Awal kekisruhan muncul dari regulasi pilkada yang tidak sinkron, overlapping, dan multitafsir. Satu saja diktum regulasi tidak sinkron dengan peraturan lain sudah cukup untuk membuat kekacauan di beberapa sektor. Misalnya perbedaan ketentuan cara pemberian suara dalam Pemilu 2009 dan pilkada. Pemungutan suara dalam Pemilu 2009 dilakukan dengan cara mencontreng, sementara UU Nomor 32 Tahun 2004 masih mengintroduksi cara mencoblos.

Mencontreng dipilih sebagai cara yang dianggap lebih maju dan beradab, karena mencoblos sudah ditinggalkan oleh banyak negara. Mencontreng juga terbukti lebih menghemat waktu dan biaya. Indeks harga barang untuk mencoblos (paku dan bantalan) bisa tiga kali lebih tinggi daripada harga alat tulis untuk mencontreng.

Contoh lain adalah perbedaan ketentuan mengenai identitas pemilih. Dalam Pemilu 2009, pemilih cukup membawa surat undangan, bahkan MK membolehkan dengan KTP untuk memenuhi hak konstitusional warga negara sekaligus menyelesaikan kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Tetapi UU Nomor 32 Tahun 2004 masih mensyaratkan pemilih menggunakan kartu pemilih.

Perbedaan ketentuan ini bukan saja berimbas pada biaya pilkada yang menjadi lebih mahal, tetapi juga memengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Di lain pihak, sistem administrasi kependudukan kita masih belum tertib, sehingga DPT selalu berpotensi menimbulkan masalah. Single identification number (SIN) sebagai basis pembuatan KTP elektronik baru ditargetkan mulai diproses tahun depan.

Di tingkat implementasinya pun, regulasi pilkada sering bermasalah. Misalnya, beberapa peraturan KPU Pusat dianggap tidak mampu menjabarkan pasal-pasal sumir dalam undang-undang atau bahkan menimbulkan multitafsir. Kasus kegagalan calon perseorangan dalam Pilkada Kota Semarang diakibatkan oleh persoalan ini.

Sengketa antara KPU dan Bawas Pemilu juga dipicu oleh pemahaman yang tidak sama terhadap regulasi pilkada. Dua institusi penyelenggara ini memberikan contoh yang kurang baik dalam soal konsultasi dan koordinasi. Mereka seharusnya berkonsolidasi agar perbedaan persepsi tidak menggoyahkan sistem, mekanisme, dan aparat di bawahnya.

Problem berikutnya yang melekat dalam pilkada adalah kesan biaya penyelenggaraan yang mahal. Di Jawa Tengah misalnya, anggaran pilkada di 17 kabupaten / kota tahun ini bervariasi antara Rp 7 miliar dan Rp 30 miliar.

Anggaran Rp 7 miliar diperlukan KPU Kota Pekalongan sebelum pengunduran jadwal pilkada pada Juni mendatang karena hanya ada satu pasangan calon. Penundaan dipastikan menambah biaya karena pertambahan logistik pemilih, akomodasi, dan honorarium petugas. Sedangkan anggaran Rp 30 miliar dipatok KPU Kota Semarang. (10)

— A Zaini Bisri, wakil ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI dan penulis buku Pilkada Langsung: Problem dan Prospek (2006) - katalog Australian National University (ANU)


Wacana Suara Merdeka 9 April 2010