PERBINCANAN yang hangat pada Muktamar Ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar, yang resmi dimulai hari ini, tak hanya menyangkut konstelasi bakal calon ketua PBNU tetapi ada yang jauh lebih penting, yaitu menyangkut masa depan organisasi Islam terbesar itu.
Menariknya, di antara mereka yang angkat bicara, tidak hanya dari tokoh NU, namun ada orang luar, pemerhati sosial keagamaan, dan bahkan elite partai politik. Pertanyaannya, sebegitu penting dan menarikkah NU sehingga menjadi perhatian banyak orang?
Hal itu mungkin karena dua hal. Pertama, NU aset berharga bangsa mengingat selain mempunyai andil besar dalam proses pendirian NKRI, NU menjadi ujung tombak dalam memajukan bangsa hingga detik ini.
Kedua, saat ini NU terjebak dalam kubangan politik kekuasan yang dimainkan oleh kepentingan kader-kadernya sehingga seolah-olah tidak sah membicarakan NU kalau tidak dikaitkan dengan politik.
Mencermati realitas perkembangan NU kekinian, anggapan pada poin kedua ada benarnya di satu sisi tapi juga mengandung persepsi yang salah di sisi lain. Sejatinya tidak benar jika eksistensi NU ditentukan oleh faktor politik kekuasaan. Ormas itu akan tetap ada walaupun tanpa politik, bahkan tanpa negara sekalipun. Meminjam istilah KH Idham Chalid, NU sebenarnya merupakan isme, suatu paham yang telah menyatu dalam budaya dan tradisi.
Artinya, NU sebagai organisasi mungkin saja bubar atau dibubarkan, tetapi sebagai isme, paham, yang telah melembaga dalam budaya dan tradisi tidak mungkin dibubarkan. Soalnya isme tersebut yang telah menyatu dalam masyarakat tidak mementingkan struktur dan organisasi formal.
Selama pesantren tetap ada, dan para ulama serta kiai tetap menjalankan peran mereka menyiarkan paham ahlu sunnah wal jamaĆah serta melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, selama itu pula NU sebagai isme tetap hidup. Pesantren menurut Idham Chalid merupakan miniatur NU dalam skala kecil, dan NU merupakan pesantren dalam skala besar (Haidar, 1998).
Aspek Sekunder
Itu sebabnya, khitah 1926, yang diteguhkan kembali dalam Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jatim pada 1984, menegaskan bahwa NU adalah organisasi yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan, bukan politik praktis sebagaimana terjadi saat ini. Artinya, sebagai jam’iyyah kemasyarakatan, dan politik merupakan aspek sekunder.
Politik yang dikembangkan oleh NU merupakan apa yang disebut sebagai politik kebangsaan atau politik kerakyatan. Tipe politik ini berbeda dari politik kekuasaan atau yang lebih populer dikenal politik praktis.
Politik kebangsaan atau politik kerakyatan terejawantah secara taktis lewat pemberdayaan yang mengembangkan potensi-potensi lokal yang dimiliki masyarakat, baik pada level SDM maupun SDA-nya, sehingga tercipta kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Inilah visi NU yang telah digariskan dalam Anggaran Dasar 1926, yang salah satu pasalnya menyebutkan: ”memerhatikan ikhwal anak-anak yatim dan para fakir miskin; dan mendirikan badan-badan usaha untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syariat Islam”.
Tetapi sayangnya, apa yang menjadi idealisme dan cita-cita sosial tersebut justru terbengkalai karena para elitenya larut dalam permainan politik praktis. Padahal, warga nahdliyin masih diyakini oleh banyak kalangan mempunyai modal sosial yang kuat dan masif, jika itu diberdayakan untuk memajukan masyarakat agar keluar dari bayang-bayang kemiskinan, pengangguran, dan kesengsaraan lainnya.
Masyarakat NU setidaknya memiliki empat modal sosial yang cukup berarti untuk menatap masa depan dari komunitas kaum sarungan ini. Pertama, adanya keyakinan dasar yang masih terpatri dalam anggaran dasar tentang perjuangan paham kerakyatan. Kedua, lahirnya elite-elite muda NU yang bisa memahami sosiologi imperialisme zaman, atau setidaknya mampu mengawinkan ajaran kitab kuning dengan teori-teori perubahan sosial.
Ketiga, memiliki jaringan cukup luas. Keempat, memiliki sejarah kemandirian dalam pergumulan sosial. Hal ini setidaknya dicontohkan dalam awal pendirian dan keberlangsungan pesantren di masa lalu (Ridwan, 2008).
Karena itu, dengan melihat kondisi riil dalam internal NU sekarang sejatinya ada iktikad baik dari semua pihak, terutama para elite, dari kalangan ulama atau kiai yang terlibat dalam politik praktis, dan juga para politikusnya, agar tidak menjadikan NU sebagai komoditas politik. Peran NU ke depan harus dikembalikan pada fungsi sosialnya, yang melibatkan diri secara aktif lewat politik kebangsaan, yaitu dengan memerhatikan nasib kaum buruh, petani, nelayan, pedagang kecil dan sebagainya.
Harry J Benda dalam karyanya yang terkenal, The Crescent and The Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese Occupation (1958), menggambarkan masa itu sebagai masa disintegrasi sosial yang terus meningkat sebagai akibat dari landasan ikatan-ikatan tradisional petani semakin mengambang dan di sisi lain nilai-nilai priayi mulai surut di bawah pengaruh westernisasi, maka ulama mengambil peran menempati posisi sentral sebagai pusat protes.
Pertanyaannya, bagaimanakah peran ulama atau kiai di masa modern, dalam hubungannya dengan perhatian terhadap masyarakat pedesaan, kaum tani, dan kelompok marginal? Tak dapat disangkal lagi, bahwa banyak di antara tokoh-tokoh ulama (NU) kita disibukkan dengan kekuasaan dan kepentingan politik sesaat. (10)
— Abdul Ghaffar Rozin, aktivis muda NU di Pati, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam MathaliĆul Falah (Staimafa) Pati
Wacana Suara Merdeka 23 Maret 2010