22 Maret 2010

» Home » Solo Pos » NU sebagai jam’iyyah dan jamaah

NU sebagai jam’iyyah dan jamaah

Setelah diundur, akhirnya tanggal 22 Maret 2010 Nahdlatul Ulama (NU) menggelar muktamar yang ke-32. Acara ini tentu sangat sakral. Selain dilangsungkan dengan meriah, juga sebagai tonggak awal, apakah NU ke depan akan semakin membaik atau sebaliknya, semakin tak karuan. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bukan siapa yang terpilih namun seperti apa pemimpin yang terpilih.

Secara pribadi, penulis tidak mempermasalahkan; siapa saja yang terpilih menjadi ketua umum. Hanya saja sebagai sebuah organisasi (jam’iyyah) besar, NU harus bisa mengurus warganya (jamaah) di manapun tempatnya. Selama ini kita lihat NU sibuk mengurus kepentingan negara hingga masuk ke kancah politik. Pun begitu, bukan kesuksesan yang diraihnya melainkan ketiadaannnya.



Memang tidak dapat disalahkan jika NU mengurus partai (baca: orang-orang NU mengurus partai). Dalam memahami isi khitah NU tentang hubungan NU dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan pun banyak yang berbeda pendapat. Dalam alinea kelima butir delapan tertulis Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisasi tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyrakatan manapun juga.

Dalam penafsiran kata “tidak terikat” ada yang berpendapat bahwa NU tidak boleh berhubungan. Namun ada pula yang memaknainya sebagai kata “independen”, yang berasal dari “in” dan “dependen”. Dari sini NU dapat diartikan tidak selalu menjaga jarak sama dengan seluruh organiasi politik dan kemasyarakatan.

Hanya saja, meski penafsiran tentang khitah NU sangat beragam, agar NU tetap menjadi NU, harus mengetahui asal mulanya. Dari sini, secara tidak langsung akan mengetahui, apa tujuan dari para pendirinya. Latar belakang berdirinya NU adalah karena niat kuat para ulama pesantren yang ingin menyuarakan pendapatnya yang berbeda dengan pemerintah Arab Saudi yang bermazhab Wahabi.

Kala itu tindakan Wahabi sangat bertentangan dengan pandangan para ulama pesantren. Saat itu Wahabi ingin memurnikan agama Islam namun terasa sangat keras. Tradisi-tradisi yang telah berkembang pada umat muslim, temasuk di luar Arab Saudi, semisal dziba, tahlil dan lain sebagainya ingin dimusnahkan. Bahkan petilasan para pejuang Islam pun dihancurkan. Alasan yang dijadikan dasar adalah, karena dengan adanya petilasan dan lain sebagainya akan menjadikan umat Islam mengultuskan individu.

Sementara bagi para ulama pesantren, semua itu adalah keragaman budaya yang tidak harus dimusnahkan. Menurut mereka, untuk memurnikan agama Islam tidak harus sekeras itu. Ulama pesantren cenderung mengikuti masyarakat yang ada. Mereka memegang prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi (tasamuh) kepada masyarakat. Dalam praktiknya, mereka mengajarkan agama Islam kepada jamaahnya yang terdiri dari para santri dan kaum awam (baca: abangan) tak lepas dari budaya setempat yang ada. Jika memang bisa digabungkan keduanya, maka digabungkan. Jika memang budaya yang ada bertentangan dengan syariat Islam, maka syariat Islam tetap dimenangkan namun dengan cara yang lunak.

Saat itu ulama pesantren bermaksud mengikuti muktamar khilafah. Hanya saja ternyata cita-cita tersebut tidak terkabul karena para ulama pesantren tak mempunyai wadah berupa organisasi. Berawal dari sinilah karena niat kuat para ulama pesantren untuk datang ke muktamar khilafah, demi menyampaikan pendapatnya, maka para ulama pesantren membentuk Komite Hijaz. Komite ini dapat dikata berhasil karena bisa mengumpulkan dana besar, juga segala uba rampe sebagai bekal menjadi organisasi.

Karena keberhasilannya, maka Komite Hijaz segera menunjuk delegasi yang akan diutus untuk mengikuti muktamar khilafah. Tidak berhenti di situ. Sebelum keberangkatan delegasi yang ditunjuk, para ulama pesantren segera menetapkan nama permanennya, sebagai organisasi permanen. Maka disebutlah nama Nahdlatul Ulama (baca: NU) atau kebangkitan ulama sebagai nama organisasi yang dipilih.

Organisasi dan anggota

Berakar dari sinilah, dapat diketahui bahwa awal mula dibentuknya NU adalah untuk kebutuhan jamaah. Artinya, para ulama pesantren membentuk NU sebagai jam’iyyah keagamaan dan kemasyarakatan yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam mengurus jamaah. Kepentingan jamaah lebih utama daripada kepentingan jam’iyyah.

Sehingga harapan ke depan, setelah terpilihnya Ketua Umum PBNU pada muktamar tahun 2010, diharapkan NU bisa mengurus jamaah. Sementara jam’iyyah hendaknya diposisikan atau dijadikan sebagai kendaraan. Caranya, dalam menjalankan jam’iyyah, NU meskinya menyesuaikan kepentingan jamaahnya.

Lihatlah jamaah yang notanebe NU tulen belum tersentuh jam’iyyah. Mereka tidak terdaftar sebagai warga NU namun tetap menjalankan segala kegiatan yang merupakan ciri NU. Di desa-desa masih kita jumpai kelompok-kelompok shalawatan, mauludan, yasinan, tahlilan dan semacamnya. Mereka rutin melaksanakan ibadah-ibadah tradisional secara berjamaah ini dengan ikhlas tanpa ingin mendapatkan apapun dari orang lain. Mereka khusuk karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Pada lini yang lain, sebagai jam’iyyah yang kelihatan lebih mentereng (dibandingkan jamaah), tak terlihat lagi tradisi-tradisi NU yang mestinya menjadi ruh. Bahkan tak jarang jam’iyyah NU lebih mementingkan urusan partai atau negara dari pada mengurusi jamaahnya. Hanya saja kadang mereka tidak sadar dengan apa yang dilakukan, dan merasa benar terhadap apa yang dilakukannya karena memeng tidak mengetahui bahwa di desa-desa masih ada jamaah NU yang mestinya lebih diprioritaskan. Alhasil, semoga dengan adanya reformasi pengurus, jam’iyyah NU bisa paham dan mengurus jamaahnya. Wallahu a’lam. - Oleh : Anton Prasetyo Ketua Jam’iyyah Qurra’ wal Huffadz PP Nurul Ummah Yogyakarta

Opini SoloPos 23 Maret 2010