22 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Susno dan Efek Kejut

Susno dan Efek Kejut

Oleh Muradi

Pernyataan Susno Duadji berkaitan dengan adanya praktik penyimpangan dan korupsi di Bareskrim Mabes Polri, mengawali babak baru perseteruan dan konflik di tubuh Polri. Bahkan, mantan Kapolda Jawa Barat ini tunjuk hidung beberapa panglima tinggi (pati), yang diduga terlibat kucuran dana penggelapan pajak. Langkah ini terbilang di luar kelaziman dan keluar struktur hierarkis kepolisian, karena seharusnya Susno melaporkan hal tersebut ke Kapolri dan berharap ada penyelesaian. Bisa jadi, apa yang dilakukan Susno merupakan respons dari perlakuan pimpinan Polri, yang dianggap tidak bijak dengan memberhentikannya dari Kabareskrim dan dibiarkan nonjob. Perwira tinggi nonjob di lingkungan Mabes Polri, biasanya akan pensiun atau menunggu penempatan pada pos berikutnya.



Korupsi di lingkungan Polri seumur dengan usia Polri sendiri. Hal yang membedakan hanyalah pada motif dan situasi yang dihadapi. Pada era Kapolri pertama Soekanto, pimpinan Polri di daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah setempat. Upaya sentralisasi Polri dengan adanya penyatuan Polri ke dalam angkatan bersenjata sejak 1959, dengan seluruhnya bertanggung  jawab kepada Mabes Polri, baik administrasi maupun politik, membuat praktik korupsi juga bergeser ke tingkat pusat.  Pencitraan Polri makin redup pada era Kapolri Widodo Budidarmo. Meski sejumlah perwira menengah dan tinggi ditangkap dan dipenjarakan pada era Kapolri Widodo Budidarmo, tetapi langkah  lebih efektif dilakukan Awaludin Djamin dengan menangkap deputinya sendiri Letnan Jenderal Polisi  Siswadji, bersama sejumlah perwira tinggi dan menengah lainnya. Dengan kata lain, apa yang diungkap  Susno hanya penegasan, praktik-praktik penyimpangan tersebut masih tumbuh subur dan manifes.

Terlepas apakah yang dilakukan Susno merupakan langkah menebus dosa, terkait dengan idiom cicak versus buaya yang pernah dilontarkannya, tetapi hal itu tetap harus diapresiasi. Dengan catatan, apresiasi publik juga merupakan bentuk dukungan kepada Polri untuk memperbaiki dan membersihkan Polri dari praktik-praktik penyimpangan dan korupsi. Sebab, selama ini berkembang asumsi di internal Polri bahwa Polri telah lebih baik pascapemisahan dengan TNI. Dan bila masih ada suara-suara yang mengatakan citra Polri belum baik, itu karena tidak senang dengan kondisi Polri. Sikap tersebut ditunjukkan berulang-ulang oleh pimpinan Polri yang selalu menganggap, lembaga atau individu yang mengatakan citra Polri belum baik sebagai subyektif dan tidak mendasar. Dan sekali lagi hal tersebut dilakukan saat Susno mengungkapkan ada praktik makelar kasus, yang menganggap Susno tidak pada tempatnya melontarkan pernyataan tersebut.

Akan tetapi, dalam kasus dugaan penyimpangan, setidaknya akan memberikan efek kejut yang harus disikapi pimpinan Polri secara bijak. Ada lima efek kejut bagi Polri yakni pertama, cepat atau lambat pemerintah, dalam hal ini Susilo Bambang Yudhoyono akan memikirkan ulang untuk mengganti pimpinan Polri segera. Meski Bambang Hendarso Danuri dalam waktu dekat akan pensiun, tetapi pergantiannya akan meninggalkan jejak yang kurang baik bagi dirinya.

Kedua,  melakukan respons positif terkait dengan tuntutan publik, dengan melakukan pembersihan besar-besaran internal Polri dari praktik korupsi. Langkah ini bisa saja dilakukan Bambang Hendarso, sebelum diganti dengan membentuk tim pencari fakta atau penyelesaian. Akan tetapi, hal tersebut sulit dilakukan karena kemungkinan diintervensi sangat kuat. Kecuali Bambang Hendarso mencontoh Kapolri Soetjipto Joedodihardjo, yang melibatkan instansi lain seperti TNI AD dan unsur Polisi Militer (PM) untuk membersihkan Polri dari unsur-unsur simpatisan PKI dan Badan Intelijen Pusat (BPI) pimpinan Subandrio setelah Peristiwa G 30 S/PKI. Bisa saja Bambang Hendarso mengajak KPK untuk bersama-sama membersihkan Polri dari praktik-praktik penyimpangan dan korupsi.

Ketiga, makin menguatnya konflik di dalam tubuh Polri. Sampai saat ini, Susno cenderung sendirian dalam menggulirkan berbagai informasi terkait praktik penyimpangan. Bisa jadi, dalam perjalanannya akan muncul simpati dan dukungan dari berbagai perwira menengah dan tinggi yang frustasi dengan mekanisme di internal, serta ada yang menyalip di tikungan.  Untuk yang pertama, bisa saja Susno mendapat simpati dari rekan-rekan angkatannya. Sementara terkait dengan kemungkinan kelompok perwira yang menyalip di tikungan, hal itu berhubungan dengan permintaan Bambang Hendarso agar pati angkatan 1975 hingga 1977 secara ikhlas menyerahkan kepemimpinan Polri kepada yang lebih muda.

Keempat, turunnya citra Polri. Selama ini menguat anggapan, Polri relatif sarat dengan sejumlah prestasi, khususnya pada pemberantasan terorisme. Namun, agaknya Polri lupa publik terus mengingat praktik penyimpangan di Polri masih sangat tinggi. Dengan demikian, efek prestasi yang dilakukan dalam pemberantasan terorisme tidak cukup efektif mengangkat pencitraan Polri. Apalagi, asumsi dan pengalaman masyarakat yang bersentuhan dengan Polri makin dikuatkan dengan testimoni Susno.

Kelima, perubahan status Polri. Hal ini bisa saja terjadi, mengingat amanat UU No.39/2008 Tentang Kementerian Negara memungkinkan untuk menggabungkan Polri ke dalam kementerian terkait dan atau membentuk kementerian baru. Perubahan status ini bisa disebabkan presiden merasa Polri membutuhkan payung politik agar lebih tertib. Tuduhan korupsi di tubuh Polri menjadi pembelajaran bahwa dibutuhkan mekanisme kontrol lebih efektif bagi Polri agar dapat mewujudkan kepolisian yang professional.***

Penulis, dosen Ilmu Pemerintahan, FISIP Unpad, Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 23 Maret 2010