03 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Revitalisasi Ebeg dan Calung

Revitalisasi Ebeg dan Calung

DUA tahun lebih meninggalkan Banyumas karena keperluan tugas belajar di Negeri Sakura, penulis kaget ketika suatu sore di perumahan tempat tinggal penulis di Purwokerto, anak-anak kecil sedang mengolok-oloh kelompok pengamen jalanan yang sebagian besar laki-laki dan perempuan paro baya.

Anak-anak perumahan itu asyik mengolok-olok sajian ebeg dan calung Banyumasan yang dimainkan para laki-laki dan perempuan tersebut. Pada saat bersamaan, para bapak dan ibu-ibu perumahan juga terpingkal-pingkal menyaksikan betapa kumuh dan kedel  para pemain ebeg dan calung tersebut.


Dengan peralatan musik dan kostum yang setengah compang-camping itu, keluarga ebeg dan calung yang mengaku namanya Pak Sarkum cs, berpeluh keringat keliling dari satu kampung ke kampung lain, dari satu perumahan ke perumahan lain. Entah berapa kilometer mereka berjalan berkeliling sambil menggendong calung dan kendang banyumasan ala kadarnya.

Tak hanya peralatan ebeg dan calung yang lusuh, belepotan peluh keringat dan rewelnya anak-anak mereka ketika ayah-ibunya memainkan peran sebagai pengebeg dan penabuh calung, mereka juga ditertawakan di mana-mana dan menjadi tontonan lucu anak-anak kecil.

Menyaksikan nasib sang pelakon ebeg dan calung, mungkin tak terlalu mengharukan lantaran jejeran pengemis dengan berbagai jabatan yang melekat padanya, bukanlah pemandangan asing di Banyumas. Nasib serupa dan bahkan jauh lebih tragis juga sudah jamak disaksikan di pinggir-pinggir jalan, di sepanjang jalan raya dan keleleran di trotoar.

 Justru yang menjadi perhatian dan perlu mendapat apresiasi adalah perjuangan dan kejuangan para pelakon seni lokal itu (terlepas muatan politis pribadi dan kelompoknya untuk mengeksploitasi seni lokal itu untuk kepentingannya-Red), sebagai wong Banyumas penulis trenyuh.
Garda Depan Jangankan untuk medapat apresiasi (dan penghargaan), untuk tidak menjadi bahan lelucon warga sekitar karena kekumuhan para pelakon seni lokal itu sudah untung. 

Padahal mereka adalah garda depan penerus keberlanjutan seni lokal di era materialisme-kapitalisme yang kian menyeruak di setiap relung kehidupan warga Banyumas khususnya.

Seperti juga nasib pelakon seni lokal lainnya, tragis- quo vadis juga menjadi tradisi yang kian kuat dalam ranah budaya banyumasan. Persoalannya adalah mungkinkan merevitalisasi seni lokal banyumasan umumnya dan ebeg serta calung khususnya?

Dalam ranah budaya banyumasan, calung dan ebeg merupakan produk seni lokal Banyumas yang menjadi the ultimate heritage of Banyumas District.

Antropolog dari UGM, Agus Cakraningrat dalam artikelnya di www.oxford.uk.com (3/11/09), menyebutkan bahwa daerah Banyumas memiliki produk seni lokal yang menjadi ciri utama sebuah klaster budaya khas di Jawa Tengah bagian selatan.

Salah satu yang disebutnya adalah ebeg dan calung. Dengan kata lain, menjadi tak pantas apabila kesenian yang sudah berusia lebih dari 300 tahun itu justru justru menjadi lawakan yang tak lucu di daerahnya sendiri

Agus bahkan melakukan investigasi komprehensif terhadap produk seni lokal tersebut. Bukan sekadar untuk memenuhi kepentingan pribadi disertasinya di negeri Ratu Elisabeth tersebut melainkan juga menunjukkan bahwa nilai budaya dan karakter wong Banyumas identik dengan calung dan ebeg.

Karena itu, sungguh ironis jika nasib kedua produk seni lokal itu kini semakin  tidak penting di mata siapa pun, termasuk wong Banyumas.

Penulis teringat ketika tinggal di Jepang. Pemda setempat justru menjadikan semua produk seni lokal tersebut menjadi sumber pendapatan daerah.

Dengan kolaborasi komprehensif yang melibatkan para seniman, budayawan, ekonom, birokrat, dan wakil rakyat, seni lokal berhasil dikemas dalam balutan the local art di bawah koordinasi dan tata kelola organisasi kepariwisataan setempat.

Untuk kepentingan tersebut, seni lokal diperlakukan secara visioner oleh berbagai pihak terkait. Lembaga semacam Dinas Pariwisata, misalnya, menjadikan seni lokal itu dipajang dan dipertontonkan di semua tempat wisata dengan penghasilan yang dapat menjadi sumber hidup bagi para pelakunya sendiri.  (10)

— Tasroh, SS MPA MSc, penikmat seni lokal Purwokerto dan alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
Wacana Suara Merdeka 4 Januari 2009