03 Januari 2010

» Home » Kompas » FTA dan UU Perjanjian Internasional

FTA dan UU Perjanjian Internasional

ASEAN-China Free Trade Agreement bukanlah perjanjian perdagangan bebas pertama yang dilakukan RI dengan negara lain—baik secara bilateral maupun multilateral.
Sebelumnya, sejumlah perjanjian perdagangan bebas telah di- tandatangani pemerintah, di antaranya ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-Australia-New Zealand FTA, ASEAN-Korea Selatan FTA, dan Indonesia-Japan Partnership Agreement.


Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas itu seringkali dilatarbelakangi ketakutan pada dampak trade diversion. Artinya, kalau antara Malaysia dan Thailand di satu pihak dan Jepang di pihak lain melakukan perjanjian perdagangan bebas (FTA), impor Jepang akan lebih banyak dilakukan oleh kedua negara tersebut. Akibatnya, negara lain, seperti Indonesia, akan mengalami kerugian karena kehilangan potensi ekspor ke Jepang. Namun, yang perlu dicatat, trade diversion hanya berlaku terhadap dua negara atau lebih yang memiliki produk yang sama dengan tujuan pasar yang sama.
Dengan kata lain, ketakutan kehilangan potensi pasar ekspor seharusnya tidak menjadi alasan bagi sebuah negara merasa terasingkan sehingga akhirnya tanpa kesiapan yang matang nekat menceburkan diri masuk dalam perjanjian perdagangan bebas meski dengan risiko pasar di dalam negeri akan diserbu oleh berbagai macam produk luar yang dapat mengancam kelangsungan produsen lokal. Ketakutan semacam ini tampaknya juga yang menghantui pemerintah ketika memutuskan untuk melibatkan Indonesia dalam berbagai FTA dengan negara lain.
Sebagai sebuah perjanjian, FTA mengandung prinsip take and give, yakni jika Indonesia menginginkan suatu konsesi atau fasilitas, Indonesia juga harus bersedia menawarkan suatu konsesi. Dan bila setiap konsesi diberikan, pemerintah harus menghitung kerugian yang akan diderita rakyat Indonesia, terutama terkait dengan pengaruh jelek ekonomi pasar (yakni kesenjangan antara yang berhasil di pasar dan yang gagal).
Rakyat sekonyong-konyong dihadapkan kepada perdagangan bebas. Mereka dipaksa bersaing dengan pemain-pemain besar dari luar negeri di pasar domestik tanpa ada perlindungan lagi dari pemerintah. Ini tentu akan memberikan dampak yang luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Mengingat luasnya dampak yang akan ditimbulkan oleh FTA, berbagai perjanjian perdagangan bebas seharusnya terlebih dahulu dikonsultasikan kepada publik dan musyawarah pihak-pihak yang berkepentingan, untuk selanjutnya mendapatkan ratifikasi dari DPR sebelum ditandantangani pemerintah.
Namun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian ekonomi internasional tidak termasuk dalam kesepakatan yang harus mendapat ratifikasi oleh DPR. Akibatnya, berbagai perjanjian perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan negara lain dianggap berada dalam domain eksekutif, yang pengesahannya cukup melalui keputusan presiden.
Perlu direvisi
Kondisi ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara lain mitra dagang Indonesia yang mengikatkan diri dalam perjanjian perdagangan bebas. Di negara-negara lain setiap perjanjian perdagangan harus terlebih dahulu diratifikasi parlemen mereka sebelum ditandatangani pemerintahnya.
Sebagai perbandingan, sebelum ditandatangani Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, perjanjian perdagangan bebas Indonesia Jepang (IJEPA) terlebih dahulu diratifikasi oleh parlemen Jepang. Sebaliknya, Indonesia, pengesahan IJEPA didasarkan atas keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam kaitan itu, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010, DPR perlu menempatkan revisi atas UU No 24/ 2000 tentang Perjanjian Internasional sebagai prioritas utama pembahasan, terutama menyangkut Pasal 10, dengan menambahkan poin bahwa perjanjian ekonomi internasional harus diratifikasi DPR.
Ratifikasi penting dilakukan dalam setiap perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan Indonesia agar pemerintah tidak lagi dalam posisi dilematis sebagaimana yang dihadapi saat ini, ketika perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) dipersoalkan banyak pihak.
Pada satu sisi pemerintah menyadari tekanan dari pelaku-pelaku usaha dalam negeri yang meminta pemerintah menunda pelaksanaan ACFTA karena dinilai merugikan dan mengancam kelangsungan industri nasional, di sisi lain penundaan pelaksanaan ACFTA akan berdampak diwajibkannya Indonesia membayar kompensasi kepada setiap negara yang terlibat dalam perjanjian. Ini tentu akan memberikan tekanan pada APBN yang terlalu dibebani oleh angsuran pembayaran utang dan subsidi yang sangat besar. Akhirnya, pemerintah akan senantiasa teran- cam (precarious) banyak kritik. 

Edy Burmansyah Peneliti Institute for Global Justice
Opini Kompas 4 Januari 2009