03 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Antara Ruang Wacana, Fakta, dan Ekspektasi

Antara Ruang Wacana, Fakta, dan Ekspektasi

TAHUN 2009 telah kita tinggalkan dengan mencatat berbagai pemikiran dan keluh kesah di bidang pendidikan. Selama tahun itu, wacana yang muncul tentang dunia pendidikan berkembang sangat bagus. Ini bisa dilihat dari partisipasi semua lapisan masyarakat memberikan pandangan-pandangan secara sangat konstruktif. Sedikitnya ada tiga hal besar yang berkembang dan muncul sepanjang tahun 2009 sebagai sebuah wacana dan perlu kiranya kembali digarisbawahi memasuki tahun 2010.


Pertama, berkait dengan pelaksanaan ujian nasional (UN) yang kembali diperbincangkan setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi pemerintah berkait dengan gugatan pelaksanaan ujian nasional (UN) 2005-2006. Bagi pemerintah, persoalan UN bukan lagi untuk diperdebatkan, tapi untuk dilaksanakan secara kredibel dan bertanggung jawab. Disiapkannya UN ulangan adalah hal yang paling signifikan dan merupakan jalan keluar bagi peserta didik yang menempuh pendidikan formal untuk mendapatkan ijazah formal. Sebelumnya mereka yang tidak lulus UN dapat menempuh ujian kesetaraan. Maka tahun 2010 mereka bisa mengikuti UN Ulangan. Karena itu, saatnya kita melakukan desakralisasi terhadap UN, agar tidak perlu ada kekhawatiran terhadap UN, karena memang faktanya UN sama saja dengan ujian-ujian lain yang dilakukan di sekolah.

Kedua, di bidang perundangan yang berkait dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Pro-kontra terhadap UU No 9 Tahun 2008 tentang Badan Hukum Pendidikan, sepertinya belum juga mereda. Mereka yang kontra berpandangan antara lain, UU itu kurang disemangati oleh pengakuan atas eksistensi swasta, sehingga ada pasal-pasal yang diibaratkan seperti 'pedang achilles' yang memotong urat kaki sekolah swasta. Lainnya, beranggapan, UU itu merupakan upaya untuk melakukan liberalisasi kebijakan pendidikan (education policy).

Sementara itu mereka yang pro berpendapat, UU BHP merupakan bagian dari upaya untuk melindungi masyarakat atau peserta didik dari jerat para penyelenggara lembaga pendidikan yang diselenggarakan dengan semangat bisnis semata dan dalam rangka reformasi penyelenggaraan pendidikan, sebagai badan hukum nirlaba yang profesional.

Sedikitnya ada empat alasan yang dapat disampaikan untuk memperjelas bahwa UU BHP tidak akan meliberalisasi lembaga pendidikan. Pertama, sebagai badan hukum nirlaba, BHP tidak boleh mengambil keuntungan (laba) dari penyelenggaraan pendidikan (Pasal 4). Seandainya BHP mendapatkan keuntungan dari hasil kegiatannya, keuntungan dan seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan (Pasal 37 ayat 6, Pasal 38 ayat 3, Pasal 42 ayat 6), jika ini dilanggar, diancam baik dengan sanksi administratif (Pasal 60, 61, dan Pasal 62) maupun sanksi pidana (Pasal 63).

Kedua, BHP menjamin dan membantu kalangan tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, dan perguruan tinggi (Pasal 40 ayat 3). Bahkan, BHP menanggung seluruh biaya pendidikan dasar tingkat SD/MI dan SMP/MTs yang diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 41 ayat 1). Adapun untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, BHP menyediakan paling sedikit 20% peserta didik mendapatkan pendidikan gratis bagi yang tidak mampu secara ekonomi (Pasal 46 ayat 2).

Ketiga, dalam UU BHP ada ketentuan, BHP wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik (Pasal 46 ayat 1 dan 2).

Keempat, BHP pendidikan menengah dan pendidikan tinggi tidak boleh memungut dana berlebihan dari masyarakat, maksimal 1/3 (satu pertiga) biaya operasional (Pasal 41 ayat 8 dan 9). Selain peserta didik yang memperoleh beasiswa, peserta didik lainnya hanya membayar sesuai dengan kemampuan dalam pembiayaan (Pasal 41 ayat 7). Ini karena seluruh biaya investasi, infrastruktur, alat, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan untuk pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, dan perguruan tinggi semuanya ditanggung pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 41 ayat 1, 3, dan 5).

Dari empat alasan itu, dapat disimpulkan, ketentuan dalam pasal-pasal UU BHP sesungguhnya menggambarkan BHP sangat menghindari terjadinya komersialisasi dan kapitalisasi dalam pendidikan. Artinya, sangat berlebihan jika ada anggapan di sebagian masyarakat kita yang menyatakan bahwa UU BHP akan menjadikan lembaga pendidikan menjalankan praktik-praktik liberalisasi.

Hal ketiga yang juga cukup menjadi masalah besar sepanjang tahun 2009 adalah adanya keinginan lembaga pendidikan dalam hal ini di lingkungan perguruan tinggi, untuk masuk, diperhitungkan dan bersaing di tingkat internasional. Memang sudah ada beberapa jurusan yang masuk ke peta perhitungan dan persaingan internasional, tapi jumlahnya masih sangat sedikit. Karena itu, ke depan upaya dan keinginan itu harus terus ditumbuhkembangkan. Semua itu memberikan gambaran bahwa masyarakat telah menempatkan urgensi pendidikan sebagai sesuatu yang memang harus diperjuangkan dan terus disuarakan.

Nondiskriminatif
Semua wacana yang berkembang tersebut sesungguhnya telah mengikuti pola pikir dalam kerangka based society yang mengikuti hierarki struktural dalam data dan informasi sebagai sebuah knowledge understanding. Persoalannya tinggal bagaimana menyikapi semua wacana dan fakta yang berkembang itu selanjutnya? Ada banyak hal bisa dilakukan untuk menyikapinya. Yang pasti kita berharap, semua itu tidak dijadikan hanya sekadar data mentah, yang berkembang di tingkat wacana dan diskusi akademis, tetapi harus lebih dari itu, bisa diwujudnyatakan sebagai sebuah kebijakan atau wisdom.

Dalam soal kualitas misalnya, kita masih merasakan wacana yang berkembang masih sebatas pada knowledge understanding, sehingga tiap kali kita memperbandingkan kualitas dengan Singapura dan Malaysia, misalnya, kita selalu mencari pembenar, bahwa mereka bisa lebih berkualitas dan melakukan semua itu, karena jumlah penduduknya relatif sedikit dan kecil. Seolah ketika jawaban itu disodorkan untuk memberikan argumentasi, tidak ada lagi celah untuk mencari jalan keluar.

Kini bagaimana jika kemudian kita menyodorkan persoalan pendidikan di China, dengan jumlah penduduknya yang mencapai angka 1,3 miliar orang. Kenapa kualitas pendidikan mereka juga cukup baik dan diperhitungkan. Bukan hanya ditunjukkan dalam prestasi-prestasi olimpiade sains, tapi juga beberapa perguruan tingginya mampu bersaing di tingkat internasional! Jika fakta ini disodorkan, kiranya tidak ada lagi alasan untuk menjustifikasi terhadap kelemahan yang kita miliki.

Boleh jadi kesuksesan China dalam meningkatkan kualitas pendidikannya tadi dipandang sebagai sebuah wacana yang memiliki data dan informasi cukup menarik. Persoalannya dapatkah kita melakukan atau meniru cara mereka? Tentu ini persoalan lain bagaimana kita menyikapinya.

Tapi sepanjang itu hanya disikapinya sebagai sebuah wacana, data dan informasi semata, itu belum bisa memberikan dampak yang signifikan, jika memang belum dijadikan sebagai sebuah wisdom. Itu pulalah yang ingin ditunjukkan terhadap wacana dan fakta yang berkembang selama tahun 2009. Mampukah kita menjadikan wacana-wacana itu sebagai sebuah kebijakan atau wisdom?

Itulah sebabnya pertanyaan yang muncul dan perlu mendapat jawaban adalah, sudahkah kita menjadikan semua itu masuk dalam sebuah kebijakan besar yang harus selalu ditingkatkan dari tahun ke tahun. Bukankah wacana baru akan memiliki arti dan makna manakala bisa menjelma menjadi sebuah kebijakan? Karena, jika tidak, itu baru menjadi intellectual exercise.
Yang jelas, kebijakan ke depan yang akan dijalankan Depdiknas adalah kebijakan nondiskriminatif. Kebijakan pendidikan yang tidak lagi membedakan asal-usul pengelolaan (negeri-swasta), status ekonomi (kaya-miskin), kewilayahan (Jawa-luar Jawa), maupun latar belakang pengelola (keagamaan-nonkeagamaan). Kebijakan ini muaranya pada pelaksanaan education for all.

Sedikitnya ada empat hal yang diperlukan untuk menjalankan kebijakan nondiskriminatif itu. Pertama, melakukan konvergensi visi dari setiap lembaga pemerintah dan atau institusi pendidikan, termasuk di dalamnya para aktor. Kedua, memperbanyak aksi riil daripada wacana. Ketiga, merealisasikan komitmen dalam bentuk kebijakan baik menyangkut pendanaan maupun hal-hal lain yang terkait dengan kualitas, dan keempat, partisipasi publik untuk menjaga stamina.

Yang terakhir ini menjadi amat perlu, karena disadari atau tidak membangun dunia pendidikan tidak bisa dilakukan dengan sekejap dan waktu singkat, tapi butuh waktu yang panjang, sehingga dibutuhkan kontinuitas, keberlangsungan dan akuntabilitas.

Oleh Sukemi, Staf Khusus Menteri Pendidikan Nasional Bidang Komunikasi Media
Opini Media Indonesia 3 Januari 2009