13 Januari 2010

» Home » Kompas » Pudarnya Asketisme di Negeri Soliter

Pudarnya Asketisme di Negeri Soliter

Bangsa kita sedang mengalami keputusasaan multidimensional. Apakah tahun 2010 memberikan banyak harapan? Apakah negara —sebagai agen harapan—mampu melakukan perubahan sehingga kegelapan yang mengurung kita bisa terkurangi?
Harapan merupakan energi jiwa yang berpotensi meningkatkan daya hidup manusia. Sumber harapan adalah iman yang memancarkan pijar-pijar profetik. Energi harapan mengangkat mental manusia menjadi lebih tangguh dalam menghadapi setiap tantangan, baik internal maupun eksternal.


Mental yang kokoh mendorong seluruh potensi otentik manusia muncul ke permukaan. Potensi-potensi itu, antara lain, kecerdasan, kemampuan teknis, intuisi, dan insting yang menentukan lahirnya kreativitas.
Erich Fromm dalam buku Revolusi Harapan (1999) menyebut: harapan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap upaya mengadakan perubahan sosial agar manusia menjadi lebih hidup, lebih sadar, dan lebih berakal. Harapan itu bersifat paradoks. Harapan bukan menunggu secara pasif, tetapi juga bukan pemaksaan yang tidak realistis terhadap keadaan. Ia seperti harimau yang diringkus. Harimau itu akan melompat ketika waktunya melompat tiba.
Harapan keadilan
Harapan yang paling bermutu adalah yang terkait dengan perubahan nilai-nilai kehidupan yang memungkinkan lahirnya keadilan sehingga setiap manusia mendapatkan hak-haknya untuk sejahtera.
Harapan terkait dengan keadilan inilah yang kini sedang diidamkan bangsa ini. Yang menjadi masalah adalah: sering tidak sinkronnya antara harapan publik dan penyelenggara kehidupan bernegara (lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

Ketika negara meninggalkan peran dan fungsinya sebagai pelayan publik, ia telah berubah menjadi ”perusahaan” yang mereduksi kepentingan publik menjadi kepentingan domestik. Akibatnya, setiap bidang kehidupan disikapi sebagai ladang pertumbuhan ekonomi yang dieksploitasi. Negara lupa bahwa ada bidang-bidang tertentu yang memang harus disubsidi, misalnya bidang budaya (pendidikan) dan bidang sosial (lapangan pekerjaan, pelayanan kesehatan). Inilah tragedi negara: meninggalkan amanah konstitusi sekaligus fungsi-fungsi profetiknya.
Peran dan fungsi lembaga legislatif juga belum bisa diharapkan. Lembaga ini bukan hanya sering meninggalkan fungsi kontrolnya atas pemerintah, melainkan juga terjebak di dalam permainan kekuasaan dengan memproduksi undang-undang yang cenderung berpihak kepada kekuatan modal.
Dalam beberapa kasus, DPR tampak garang mengoreksi pemerintah. Namun, kegarangan itu sering kali hanya menjadi ”teater politik” sesaat. Misalnya, kasus hak angket atas kenaikan harga BBM, BLBI, dan lainnya. Apakah hak angket DPR atas Bank Century kali ini juga hanya akan menjadi ”sirkus politik”?
Di bidang penegakan hukum, lembaga peradilan dan pemasyarakatan kita belum mampu menumbuhkan kepercayaan publik. Pelaku tindak pidana ringan dihukum tak seimbang dengan bobot kesalahan mereka. Di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan ada tindakan pilih kasih yang amat mencolok.
Negara soliter
Saat ini, mayoritas masyarakat kita mengalami krisis harapan multidimensional. Di bidang ekonomi, masyarakat semakin terpuruk dan terpental dari dinamika pasar bebas yang keras dan brutal. Di bidang politik terjadi kebekuan ideologis karena hegemoni demokrasi transaksional yang berwatak materialistis.
Konstitusi mengamanatkan negara ini berwatak solider, tetapi kenyataannya negara ini cenderung berwatak soliter (tertutup, terasing, dan terkucil dari publik). Negara soliter sulit memberikan harapan perubahan bagi warganya. Untuk itu, masyarakat perlu bertindak aktif menginterupsi negara agar bersikap solider kepada warganya.
Untuk mewujudkan harapan kolektif, masyarakat harus menjelma menjadi kekuatan penekan negara. Gerakan warga negara melalui ”koin keadilan” (kasus Prita), ”Indonesia bersih dan sehat” (kasus ”cicak-buaya” , mafia hukum/peradilan dan kasus Bank Century) terbukti efektif. Kekuatan penekan itu tidak mesti berwujud demonstrasi, tetapi juga penyikapan kritis atas arus utama politik negara yang berbuah pada perilaku publik, misalnya asketisme terhadap konsumerisme seperti yang diinspirasikan Mahatma Gandhi.
Sayangnya, Presiden SBY justru mengingkari sendiri janjinya di KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen untuk menurunkan 26 persen emisi karbon dengan mengganti mobil para menteri- nya dengan tipe yang jauh lebih mewah dan lebih boros emisinya. Sungguh tidak konsisten dan bukan teladan yang patut ditiru.
INDRA TRANGGONO Pengamat Budaya, Bermukim di Yogyakarta
OPini Kompas 14 Januari 2010